Indonesiainside.id, Houston – Bagi umat Islam di Amerika Serikat (AS), tidak ada waktu lain untuk berkumpul dalam suasana damai selain di bulan suci Ramadhan. Di setiap sudut negara, Muslim menghadiri jamuan berbuka puasa bersama kemudian dilanjutkan dengan shalat malam berjamaah di masjid.
Tapi tahun ini, Ramadhan datang di tengah pandemi global. Di AS, dengan angka kematian Covid-19 tertinggi di dunia, umat Muslim dipaksa untuk menikmati bulan suci dengan cara yang berbeda, lebih virtual, dan terkadang merayakan sendiri.
Di seluruh negeri, Muslim beradaptasi dengan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berikut kisah mereka yang dirangkum dari laman news.yahoo.com.
Di Kota Houston, Ricardo Ramirez, 28, sedang mengalami tonggak sejarah dalam perjalanan keimanannya. Ramadhan pertamanya sebagai seorang Muslim, ketika virus mengganggu ibadah dan masjid-masjid tutup.
“Ini akan sangat sulit,” katanya sebelum Ramadhan dimulai. “Saya punya banyak pertanyaan, dan ada banyak yang ingin saya amati dan tanyakan.”
Namun, dalam kesendirian, dia bertekad untuk menemukan kekuatan. “Semakin saya memikirkannya, saya pikir ini adalah jalan yang telah Allah SWT tetapkan bagi saya sebagai sebuah tantangan, untuk mengetahui bahwa agama ini adalah untuk saya.”
Sementara itu, Pada malam pertama Ramadhan di Chicago, terapis pernapasan Jumana Azam, 33, terjaga hingga sahur dan hanya tidur setelah sholat subuh. Sehari-hari dia pulang jam 2 pagi dari ICU Rush University Medical Center.
Ketika Chicago mengalami lonjakan pasien Covid-19 di awal April, hari-hari Azam dengan cepat berubah menjadi shift 16 jam, dengan sedikit istirahat untuk makan atau melakukan shalat lima waktu.
“Saya akan mengambilnya secara bertahap dan mencoba berpuasa saat saya sedang bekerja,” katanya. “Tapi jika aku merasa seperti pusing, terpaksa aku harus membatalkannya.”
Di tempat lain, Imam Mufti Mohammed Ismail, 28, adalah seorang kepala sekolah sekolah agama di Pusat Kebudayaan dan masjid An-Noor. Masjid di Lingkungan yang dianggap sebagai salah satu daerah yang paling terpukul di New York City.
Ketika kematian meningkat, Imam Ismail berusaha untuk melayani anggota masyarakat yang menderita dengan cara lain. Dengan masjid-masjid yang ditutup, para relawan dari Pusat Kebudayaan An-Noor mempersiapkan kotak makanan untuk mereka yang membutuhkan.
Imam Ismail mengatakan ini memberi kesempatan untuk memenuhi salah satu ajaran Ramadhan, yakni melayani mereka yang kurang beruntung. “Setiap kami menerima panggilan yang meminta bantuan, kami tidak pernah menanyakan tentang iman penelepon. Kami siap melayani mereka,” katanya.
Sementara itu, di Minneapolis, untuk pertama kalinya azan akan dikumandangkan melalui pengeras suara di Masjid Dar Al-Hijrah, sepanjang Ramadhan. Wali Kota Jacob Frey memfasilitasi izin setelah para pemimpin masyarakat meminta hal tersebut. Bagi Muslim yang menjalani penguncian di rumah, suara azan akan membantu mereka, kata Imam Sharif Mohamed.
“Ini menenangkan dan menyejukkan bagi mereka,” katanya. “Hubungan emosional dan spiritual, berada di luar imajinasi kita.” (CK)