Media asal Korea Selatan, MBC News, memberitakan kabar pelarungan mayat di laut terhadap seorang anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang meninggal dunia dalam sebuah kapal asal Cina.
Masalah ini membuat heboh publik di Tanah Air di tengah sentimen negatif terhadap Cina sejak beberapa waktu belakangan ini. Terlebih lagi, beberapa hari sebelumnya publik “marah” atas rencana kedatangan tenaga kerja asing (TKA) ke Sulawesi Tenggara di tengah pandemi Covid-19 dan larangan mudik.
Pembahasan masalah ini tidak menyoal dua masalah tersebut. Namun, dengan peristiwa pelarungan mayat di tengah laut, mengingatkan kita pada peristiwa lebih setengah abad lalu.
Dalam kondisi yang belum secanggih sekarang ini, perjalanan laut atau pelayaran menjadi satu-satunya moda transportasi strategis yang menghubungkan antarpulau dan negara.
Salah satunya, perjalanan ibadah haji bagi kaum Muslimin ke Tanah Suci Makkah, Arab Saudi. Kala itu, calon jamaah haji harus menempuh perjalanan laut berbulan-bulan untuk sampai ke tanah yang dimuliakan, Makkah Al-Mukarramah.
Di balik peristiwa masa lalu itu, ada sebuah kisah penguburan jenazah di tengah laut, yang jarang sekali kita dapatkan dalam realita masa kini.
Cerita ini diangkat dalam kisah Hamka ketika naik haji pada 1967 silam. Dalam perjalanan laut tersebut, ada jamaah yang meninggal dunia. Kisahnya ditulis oleh Irfan Hamka pada bukunya yang berjudul “Ayah: Kisah Buya Hamka” (2016: 94-97).
Dikisahkan, pada waktu jam 9 pagi, ada jamaah dari Indramayu bernama Sumanta meninggal dunia akibat sesak napas atau asma. Saat itu, usia jamaah Indramayu tersebut sudah menginjak 65 tahun.
Setelah dimandikan, dikafani dan dishalatkan, jenazahnya dimakamkan di laut. Caranya? Disiapkan selembar papan berukuran 1×12 meter, di bawahnya diletakkan dua pasang roda.
Kemudian diangkat keranda mayat, kemudian mayat diletakkan di atas papan untuk kemudian dikerek ke bawah dan di masukkan ke laut. Pada waktu itu mayatnya berat karena di dalam kafannya dimasukkan besi 50 kilo gram agar bisa larut ke dasar laut.
Singkat cerita, orang yang meninggal dalam pelayaran itu dimakamkan di tengah laut.
Begitulah pengalaman langsung yang disaksikan oleh Irfan Hamka bersama ayahnya, Hamka, saat menunaikan haji pada 1967 silam.
Sebelumnya, dalam hukum Islam, masalah pemakaman jenazah dengan cara melarutkan di laut dibahas dalam ilmu fikih. Sejumlah Imam Mazhab berbeda pendapat mengenai tata caranya, namun intinya membolehkan. Tentu dengan berbagai syarat yang menyertainya.
Dalam kitab “al-Umm” (I/304) karya Imam Asy-Syafi, dikatakan: “Jika ada yang mati di kapal, maka dibuatkan untuknya pemakaman seperti biasa (di darat). Jika tidak bisa, makan diletakkan pada dua papan kemudian diikat dengan tali agar bisa dihempas laut ke daratan, barangkali nanti ada muslim yang menemukannya kemudian bisa menguburkannya.”
Sedangkan Mazhab Hanbali sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam “al-Mughni” (II/373), Imam Ahmad berpendapat:
“Ditunggu barangkali masih dimungkinkan menemukan tempat pemakamannya di darat. Ditangguhkan sampai satu atau dua hari, selama tak dikhawatirkan rusak. Tapi, ketika tidak menemukan tempat pemakaman daratan, maka dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan diberi beban kemudian dilemparkan ke laut.”
Dalam kitab “Mukhtashar Khalil” (52) yang merupakan madzhab Maliki disebutkan:
وَرُمِيَ مَيِّتُ الْبَحْرِ بِهِ مُكَفَّنًا إنْ لَمْ يرج البر قبل تغيره
“Mayit dilemparkan ke laut dalam kondisi berkafan, jika kondisinya tidak mungkin lagi menunggu ke darat, sebelum terjadi perubahan kondisi.”
Ibnu Majisyun dan Ashbagh dalam kitab “at-Taaj wa al-Ikliil li Mukhtashar Khalil” (III/77) berpendapat bahwa untuk memasukkan mayat ke laut agar tenggelam tidak perlu memberi beban di kedua kakinya. Supaya nanti ketika mengapung ke darat, ada yang menguburkannya. Sementara itu, Sahnun berpandangan perlu memberi beban agar bisa masuk ke laut. (Aza)
Discussion about this post