Dalam fikih Islam, ada permasalah tentang hukum pelarungan mayat di laut. Syariat mengubur mayat di laut bisa dilakukan jika dikhawatirkan kondisinya akan berubah sebelum sampai ke darat.
Perkara ini diulas merespons kabar dan video berdurasi kurang lebih 4 menit yang dirilis oleh kanal berita MBC pada Selasa, 5 Mei 2020. Dalam video itu tampak ABK kapal “melempar jenazah” ABK WNI yang telah meninggal dunia di tengah laut.
Masalah ini kemudian ramai dan menjadi topik hangat di dalam negeri. Terlepas dari kemelut dan dugaan pelanggaran atau diskriminasi pada kapal asal Cina itu, bahasan dalam tulisan ini hanya menyoal hukum pelarungan mayat dalam hukum Islam.
Masalah pelarungan mayat di laut mendapat ragam pendapat dari ulama atau imam mazhab. Pada dasarnya, pelarungan mayat di laut diperbolehkan dengan beberapa syarat.
Yang paling utama adalah, mayat atau jenazah muslim yang akan dilarutkan harus dimandikan, dikafani, dan dishalati seperti biasa kemudian dimasukkan ke laut. Namun, ada ketentuan yang menyertainya sebelum perkara ini dilakukan.
Dalam kitab “Mukhtashar Khalil” (52) yang merupakan madzhab Maliki disebutkan bahwa:
وَرُمِيَ مَيِّتُ الْبَحْرِ بِهِ مُكَفَّنًا إنْ لَمْ يرج البر قبل تغيره
“Mayit dilemparkan ke laut dalam kondisi berkafan, jika kondisinya tidak mungkin lagi menunggu ke darat, sebelum terjadi perubahan kondisi.”
Ibnu Majisyun dan Ashbagh dalam kitab “at-Taaj wa al-Ikliil li Mukhtashar Khalil” (III/77) berpendapat bahwa untuk memasukkan mayat ke laut agar tenggelam tidak perlu memberi beban di kedua kakinya. Supaya nanti ketika mengapung ke darat, ada yang menguburkannya. Sementara itu, Sahnun berpandangan perlu memberi beban agar bisa masuk ke laut.
Ada juga yang berpendapat bahwa tidak boleh dikubur di laut. Kecuali dalam kondisi sangat terpaksa. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Anas yang menyatakan:
أن أبا طلحة غزا البحر، فمات فلم يجدوا له جزيرة يدفنونه فيها إلاّ بعد سبعة أيام، فلم يتغير
“Suatu hari Abu Thalhah menjalankan tugas perang di laut, kemudian meninggal dan mereka tidak menemukan pulau untuk menguburkannya, melainkan sampai tujuh hari. Dan waktu itu, mayatnya tidak mengalami perubahan.” Keterangan ini bisa dibaca dalam “Tarikh Dimasyq” (19: 422).
Dalam kitab “al-Umm” (I/304)imam Asy-Syafi, dikatakan: “Jika ada yang mati di kapal, maka dibuatkan untuknya pemakaman seperti biasa (di darat). Jika tidak bisa, makan diletakkan pada dua papan kemudian diikat dengan tali agar bisa dihempas laut ke daratan, barangkali nanti ada muslim yang menemukannya kemudian bisa menguburkannya.”
Sedangkan madzhab Hanbali sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam “al-Mughni” (II/373) dalam kasus orang yang meninggal di laut, maka kata Imam Ahmad, “Ditunggu barangkali masih dimungkinkan menemukan tempat pemakamannya di darat.
Ditangguhkan sampai satu atau dua hari, selama tak dikhawatirkan rusak. Tapi, ketika tidak menemukan tempat pemakaman daratan, maka dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan diberi beban kemudian dilemparkan ke laut.”
Dari beberapa pendapat ini, hampir secara subtansi sama pendapatnya. Yang berbeda hanya sedikit teknisnya. Mereka sepakat, bahwa selama dimungkinkan mayat dikubur di daratan, maka itu lebih baik. Tapi, kalau sudah tidak menemukan lagi, mengingat waktu dan kondisi yang bisa membuat mayit rusak, maka dibolehkan dimakamkan dalam laut. (Aza)