Indonesiainside.id, Jakarta – Tujuan utama disyariatkan ibadah pada bulan Ramadan adalah untuk meningkatkan ketakwaan orang-orang yang beriman (QS. Al-Baqarah: 183). Takwa adalah predikat yang paling mulia di sisi Allah, bekal hidup yang diperlukan agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat.
“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”, demikian kutipan arti surah al-Baqarah ayat 197.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjelaskan bahwa kata “tattaqun” cenderung dipahami sebagai hadiah yang akan didapatkan oleh orang yang telah berpuasa. Seringkali “takwa” dijelaskan sebagai pangkat, gelar, dan identitas yang melekat pada diri orang yang berpuasa. Padahal ungkapan “tattaqun” adalah proses berkelanjutan dari perilaku takwa.
“Yang ingin hendak dicapai dari puasa supaya kita menjadi orang-orang yang bertakwa. Jadi bukan ‘al-muttaqun’ tapi ‘tattaqun’, sebuah proses untuk menjadi bertakwa. Bukan identitas tapi agar kita terus membentuk diri orang yang bertakwa dengan penuh kesadaran. Kesadaran yang terus menerus itulah yang sesungguhnya sebagai transformasi kita berpuasa,” terang Haedar dalam Pengajian Ramadan bersama civitas akademik UMSU, Medan, dilutip dari Muhammadiyah.or.id, Senin (19/4).
Penjelasan Haedar ini ingin menjabarkan bahwa “tattaqun” adalah fiil mudlari, salah satu turunan kata bendanya adalah “muttaqun”. Kedua kelas kata ini mengindikasikan makna yang berbeda. Fiil mudlari menginginkan konteks aktual sebuah pekerjaan, sementara ism atau kata benda mengindikasikan makna kemapanan.
Dengan demikian, “tattaqun” bukanlah pangkat, gelar, atau identitas, yang mungkin lebih dekat kepada kata “muttaqun”. Sementara “tattaqun” mensyaratkan aktualitas riil dari sebuah perbuatan takwa. Karenanya, bila selepas Ramadan tindak takwa tidak dilanjutkan, maka “la’allakum tattaqun” tidak akan didapat; sepadan dengan kembali ke kondisi sebelum Ramadan.
Inilah yang disayangkan Haedar, di mana banyak yang berbuat baik di bulan Ramadan, tetapi setelah bulan suci itu berakhir, tidak sedikit dari kaum muslimin kembali ke titik nol. Akan tetapi di alam media sosial, Haedar mencotohkan, banyak sekali pagelaran keburukan yang dipertontonkan, di samping juga banyak konten-konten yang positif.
“Contohnya hoaks atau dusta. Dusta itu tidak diperbolehkan atau disebarkan. Tapi sudah tahu itu hoaks, masih kita posting juga. Mestinya kalau sudah tahu itu hoaks, jangan dikirim. Aib orang jangan dikirim. Ketika mengirim hoax dengan penuh kesadaran, berarti kita setuju dengan isi hoax tersebut,” kata Haedar. (Aza)