Indonesiainside.id, Jakarta – Siapa yang tidak kenal dengan kesaktian dan keberanian Panglima Besar Jenderal Sudirman? Setiap kali menghadapi musuh di perang gerilia dahulu kala, Sang Jenderal pernah sekali pun ciut nyalinya. Ternyata, Sang Panglima yang juga guru dan ulama ini mempunyai tiga jimat sakti yang tak pernah lepas dengan dirinya.
Pertama, sang Jenderal pernah menjadi Guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan berkemah dari Cilacap ke Batur Banjarnegara. Disampaikan Endra Widyarsono, Ketua Umum Hizbul Wathan bahwa Jenderal Sudirman kala itu berjalan selama tiga hari tiga malam.
Selama perjalanan, Pak Dirman sapaannya dulu kerap berhenti di desa-desa dan melakukan pengajian.
“Kemudian anak buahnya membawakan kendi untuk wudhu. Kalau rombongan berkemah menginjak tanaman Pak Dirman menyuruh supaya dirapikan kembali,” tutur Endra, dilansir Muhammadiyah.or.id.
Ternyata inilah yang menjadi strategi jitu Jenderal Sudirman ketika menghadapi Perang Gerilya dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Wudhu, itulah jimat pertamanya yang dikenal sakti.
Kedua, Jenderal Sudirman sering dianggap tak bisa ditangkap karena punya jimat khusus. Endra mengklarifikasi bahwa bukan jimatnya yang melindungi sang Jenderal tetapi keteguhan dan kepercayaan kepada Allah SWT.
Ketiga, Jenderal Sudirman masih muda ketika menjadi anggota Hizbul Wathan dan belum pernah menua. Maka Sang Jenderal cocok untuk dijadikan panutan bagi generasi muda.
“Saat terpilih menjadi Panglima Besar TNI, Pak Dirman masih berusia 29 tahun. Usia itu terbilang masih muda dibanding rekan seniornya Urip Sumoharjo. Peran ini menunjukkan bahwa Pak Dirman layak menjadi role model sekaligus prototype (contoh) pendidikan bagi generasi muda,” katanya.
Dilansir NU Online, pada 25 Desember 1948, pasukan Jenderal Soedirman tiba di Kediri. Suasana kota sangat riuh dan bergemuruh. Sedangkan pasukan Belanda berada di puncak semangat lantaran baru saja meruntuhkan benteng pertahanan kota itu dari selatan.
Tiga Jimat
Pasukan Belanda tiba-tiba menyergap markas persembunyian Jenderal Soedirman atas petunjuk salah seorang telik sandi. Pasukan penjajah memang bersumpah akan menangkap Soedirman hidup atau mati, apapun caranya, menyusul semangat sang panglima besar menggelorakan perlawanan.
Seorang prajurit melapor kepada Jenderal Sudirman bahwa Belanda telah mengepung rapat tempat persembunyian mereka. Sejurus kemudian, jenderal besar ini mengajak para prajuritnya untuk menggelar dzikir dan tahlil. “Mari kita berdzikir agar diberi pertolongan Allah. Jangan sekali-sekali di antara tentara kita ada yang menyalahi janji menjadi pengkhianat nusa, bangsa, dan agama. Harus kamu senantiasa ingat bahwa perjuangan selalu memakan korban. Jangan sekali-kali membuat rakyat menderita,” ujar Pak Dirman yang diperankan sang cucu, Ganang Priambodo Soedirman, dalam penampilan sosio drama tentang peran Panglima Besar Jenderal Soedirman pada peringatan HUT ke-72 TNI di Dermaga Indah Kiat Cilegon, Banten, Kamis (5/10/2017).
Dalam sosio drama tersebut dikisahkan, pada 19 Desember 1948, penduduk Yogyakarta sedang menikmati kemerdekaan. Namun, semua berantakan menyusul datangnya pasukan agresor Belanda yang datang menyerang. Rakyat Yogyakarta berlarian ke sana ke mari. Aksi militer ini akhirnya sampai ke telinga Jenderal Soedirman.
Pak Dirman tahu ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda bahwa ia adalah Jenderal Soedirman. Anehnya, tentara Belanda tidak percaya bahkan menembak mati pengkhianat tersebut. Pak Dirman memang ahli strategi mengecoh lawan. Ia tak gentar menghadapi penjajah.
Ketika Belanda menyerang markasnya, mereka gagal menangkap sang jenderal. Setelah kejadian tersebut, banyak anak buah Pak Dirman yang menanyakan jimat apa yang dipakai sehingga tentara Belanda sulit menangkapnya.
Sang Panglima Besar hanya menyebut tiga hal: tidak pernah putus dari keadaan wudhu, shalat lima waktu tepat waktu, dan mengabdikan diri bukan untuk keluarga, golongan, atau partai, tapi untuk bangsa dan negara. (Aza)