Kurang lebih 93 tahun lalu, para pemuda Indonesia membuat keputusan besar yang diabadikan dalam lembaran emas sejarah melalui Sumpah Pemuda. Sebagai sejarah, memang sudah berlalu, tapi Sumpah Pemuda dan relevansinya tetap terasa hingga saat ini.
Pada dinding Museum Sumpah Pemuda, masih tertulis dengan jelas isi Kongres Pemuda Kedua (27-28 Oktober 1928 di Batavia: sebagai cikal-bakal negara Indonesia). Intinya, para pemuda bersepakat untuk menuangkan idealismenya, berkomitmen pada satu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Menariknya –melalui pengamatan intensif sejarah-, para pemuda memang menjadi tonggak penting setiap perubahan . Tokoh-tokoh besar dikemudian hari seperti Soekarno, Moh. Hatta, H. Agus Salim, M. Natsir, M. Yamin, dan Buya Hamka ketika masih muda aktif berjuang mewujudkan mimpi-mimpinya. Terbukti, mereka diabadikan sejarah sebagai Pahlawan Nasional.
H.O.S Cokro Aminoto ketika di Peneleh, Surabaya, menyadari betul bagaimana pentingnya pemuda dalam perjuangan. Soekarno, Semaoen, Kartosuwiryo adalah buah dari tangan dinginnya dalam mendidik para pemuda.
Lembaran emas sejarah Islam pun mengafirmasi. Perjuangan keras Nabi Muhammad S.A.W, -selama dua puluh tiga tahun lamanya- sebagian besarnya didominasi pemuda.
Sahabat muda seperti: Utsamah bin Zaid (18), Zaid bin Tsabit (13), Mu`adz bin `Amru bin al-Jamuh (15), Mu`awwid bin al-Afra` (16), Ali (10), Utsman bin Affan (35), Umar bin Khattab (31), Sa`ad bin Abi Waqash (17) Zubair bin al-Awwam (15), Thalhah bin Ubaidillah (16), Ibnu Umar, Ibnu Abbas, sebagai gambaran jelas pentingnya generasi muda pemuda.
Lebih dari itu, Pahlawan Kawakan macam Imaduddin Zanki, Shalahuddin Al-Ayyubi, Dhahir Baybars, Syaifuddin Quts, Muhammad al-Fatih adalah gambaran konkret bagaimana generasi muda mampu menunjukkan peran pentingnya dalam belantika sejarah.
Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu -yang dikenal karena keadilannya dalam bidang kepemimpinan- ternyata memiliki kebiasaan unik; setiap kali menghadapi urusan pelik, ia ajak para pemuda bermusyawarah.
Sepeninggal Abu Ubaidah bin al-Jarrah, para sahabat –utamanya Umar- sangat berduka cita. Dikumpulkanlah para sahabat. Khalifah yang dijuluki al-Fāruq (pembeda antara hak dan batil) itu pun dengan seketika memberi perintah unik pada mereka, “Berangan-anganlah!”. Dengan lekas masing-masing menyampaikan angannya.
Ada yang berangan emas, permata, mutiara sepenuh rumah kemudian diinfakkan di jalan Allah, ada juga yang bungkam lantaran tidak mengerti.
Uniknya, Umar memungkasi dengan pandangan briliannya, “Justru aku berangan rumah yang dipenuhi pemimpin sekaliber Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Mu`adz bin Jabal, Salim Maula Abu Hudzaifah, dan Hudzaifah bin al-Yaman.” (Aṣhābur Rasūl, Mahmud al-Mashri, 1/285).
Dalam sejarah Islam keempat pemimpin yang disebut Umar, adalah para pemuda yang mempunyai andil besar dalam sejarah perjuangan. Maka tidak berlebihan jika pemimpin sekelas Umar, menginginkan para pemuda untuk menyertainya. Karena beliau tahu betul peran penting mereka.
Ada beberapa alasan mendasar –melalui pembacaan sejarah- mengapa generasi muda menjadi sangat penting dalam dinamika perjuangan.
Pertama, tenaganya masih kuat. Bagaimanapun juga memang perjuangan membutuhkan tenaga-tenaga kuat. Para tokoh yang menahkodai kemerdekaan Indonesia didominasi oleh para pemuda kuat (dengan makna yang luas). Maka tak berlebihan jika Bapak Proklamator RI, Soekarno pernah berujar, “Beri aku sepuluh pemudah niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Kedua, idealismenya tinggi. Pada umumnya, para pemuda memang memiliki mimpi-mimpi yang ingin diwujudkan. Ketika idealisme ini diarahkan pada perubahan yang lebih baik, maka akan menjadi potensi dahsyat yang banyak membantu roda perjuangan.
Ketiga, semangatnya masih menyala-nyala. Usia muda dikenal dengan ambisi yang bergelora. Pantang menyerah, dan tak gentar terhadap tantangan apa pun. Tentu masih segar dalam catatan sejarah, bagaimana Muhammad Al-Fatih muda, mampu mewujudkan mimpi delapan abad umat Islam dalam membebaskan Konstantinopel.
Mengingat pentingnya generasi muda, syogianya mereka dibina sejak dini. Tentu kita tak ingin mereka menjadi generasi yang rendah diri, hingga diperbudak oleh orang lain.
Suatu saat Buya Hamka dalam rubrik “Dari Hati ke hati” di majalah Panji Masyarakat (1967-1981) beliau menandaskan masalah ini: “Yang kerap kali dapat diperbudak oleh orang lain ialah pemuda-pemuda yang sok tahu. Pemuda yang ditimpa penyakit rendah diri,”
Sudah saatnya –bertepatan dengan momentum Hari Sumpah Pemuda- para pemuda dibina dengan baik agar Sumpah Pemuda dan relevansinya mampu bangkit memainkan peran terbaiknya. Tentu kita tidak ingin mereka menjadi kehilangan arah seperti pribahasa: “Laksana layang-layang salah teraju (berarti: pemuda-pemudi mengikuti jalan sesat)”. Melalui nilai Sumpah Pemuda -kita berharap-, mereka mampu berkontribusi untuk agama, bangsa dan negara. (MBS)