Indonesiainside.id, Jakarta – Penamaan dan usulan perubahan nama jalan seharusnya tidak sekadar diwacanakan tanpa alasan yang mendasarinya. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan, usulan perubahan nama jalan di suatu daerah perlu kajian mengenai akar sejarah kewilayahan di daerah tersebut.
Menurut Anies, yang menjadi pertimbangan usulan perubahan nama jalan bukan hanya kelayakan nama yang diusulkan sebagai pengganti, tapi akar sejarah yang direpresentasikan oleh jalan tersebut sebelumnya. Demikian disampaikan Anies pada webinar “Perubahan Nama Jalan di Provinsi DKI Jakarta” yang diselenggarakan Komite III DPD RI, di Jakarta, Kamis (28.10).
Kajian mengenai akar sejarah ini, kata dia, diperlukan sebagai dasar yang solid untuk melakukan perubahan nama jalan, karena tidak sedikit jalan di Jakarta yang memiliki akar sejarah panjang, atau tempat terjadinya peristiwa bersejarah bagi bangsa.
Anies mencontohkan, jalan yang dibangun oleh pemerintah masa kini seperti Jalan Kanal Banjir Timur di Jakarta Timur, diberikan seiring dengan proyek Kanal Banjir Timur. Lain halnya dengan nama Jalan Cikini Raya dan Kramat Raya yang sudah diberikan sejak lama, menurut dia, tentunya ada akar sejarah di tempat itu, sehingga pandangan dari para sejarawan penting untuk didengar.
Sebelumnya, ramai diperbincangkan mengenai rencana perubahan jalan di Jakarta dengan nama Kemal Attaturk. Namun, banyak kalangan yang menolak nama itu berkaitan dengan akar sejarah Attaturk yang buruk di mata ummat Islam. Sebagaimana yang telah diulas di indonesiainsde.id, menurut catatan Maryam Jameelah, Attaturk tidak menyembunyikan dirinya sebagai seorang ateis. Tidak mengherankan ketika berkuasa, banyak sekali ajaran agama Islam diubah bahkan memusuhi para ulama. Kemal Ataturk mati pada 10 November 1938 di usia 57 tahun.
Kemal Attaturk dalam sejarahnya bergabung dengan gerakan Turki Muda yang mana telah terinfiltrasi atau terpengaruh dengan ide-ide gerakan Zionisme. Salah satu bukti bahwa infiltrasi dan pengaruh itu nyata adalah mereka kaum gerakan Turki Muda tidak menganggap masalah pandangan yang memisahkan Palestina dari Turki yang dipertahankan dengan begitu gigihnya oleh Sultan Abdul Hamid II.
Dalam pidato 2 Februari 1923 di hadapan Yahudi, Kemal menyebut Yahudi sebagai bangsa yang setia kepada Turki. Mereka akan hidup nyaman dan sejahtera baik pada masa lampau ataupun mendatang. Dia juga tidak setuju dengan ide khilafah. Dia malah memilih jalan sekularisme dan westernisasi.
Pada tahun 1925 dia berpidato di Ankara yang isinya menyatakan revolusi Turki sebagai perubahan besar menggantikan kesatuan politik lama yang sudah usang. Jika ingin selamat dan eksis, maka harus menerima peradaban Barat di masa kontemporer. Akhirnya peradaban Barat dijiplak dalam berbagai aspek kehidupan. Khususnya setelah jatuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1923. Asumsinya, dengan meniru Barat dan meninggalkan Islam, maka Turki akan menjadi negara kuat dan besar.
Penggunaan sistem ala Barat ini sampai melampau batas dengan melarang azan berbahasa Arab, pelarangan jilbab, Pengadilan Agama dibubarkan, agama Islam sudah tidak menjadi agama resmi,pakaian diubah seperti cara barat, dan seterusnya yang malah jauh dari kebebasan. Yang terasa justru sebagai rezim otoriter. Selanjutnya, baca: Kemal Ataturk, Seularisme dan Islam (Aza/Ant)