Indonesiainside.id, Jakarta – Dakwah dan syiar Islam dapat diterima di Malaysia hingga terbentuk salah satu cabang Muhammadiyah terbesar di luar negeri tak lepas dari ketokohan Buya Hamka. Kini, organisasi yang mulai berdiri pada 2007 di Malaysia itu sudah memiliki delapan ranting yang disebut sebagai Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah atau PRIM.
Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia, Ali Imran, mengungkapkan, semula pihaknya sempat mengalami kesulitan di masa-masa awal merintis gerakan PCIM Malaysia. “Tapi ranting-ranting ini masih di dua negeri yaitu di Kuala Lumpur dan Selangor,” kata Ali Imran pada siaran program DiasporaMu di kanal Youtube TvMu, dilansir Muhammadiyah.or.id, Jumat (4/2/22).
Jumlah warga PCIM Malaysia dia perkirakan sebanyak dua ribu orang dengan anggota aktif sebanyak 500 orang. Satu persen di antara mereka menurutnya adalah warga negara Malaysia. Untuk menggaet lebih banyak anggota dari warga lokal, PCIM Malaysia menggarap pembuatan badan hukum perseroan yang menjadi syarat agar warga asli Malaysia bisa ikut bergabung dengan Muhammadiyah.
Menurut Ali, PCIM Malaysia berhasil mengurai satu per satu hambatan yang ditemukan dalam perjalanan organisasi. Pada pendirian Universitas Muhammadiyah Malaysia misalnya, Ali menyebut Muhammadiyah mengalami beberapa hambatan.
Hambatan itu, di antaranya, banyak warga Malaysia yang mengira Muhammadiyah sebagai Ahmadiyah, yakni aliran yang diharamkan oleh Majelis Fatwa Malaysia. “Jadi kita harus berusaha menjelaskan bahwa beda antara Muhammadiyah dengan Ahmadiyah. Itu pertama,” ungkapnya.
Hambatan kedua, berasal dari identitas keagamaan Malaysia, yakni Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) dengan teologi Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari dan fikih Imam Syafi’i. Sementara itu Muhammadiyah meskipun sama-sama Aswaja tidak memiliki patokan khusus pada satu imam tertentu.
Ali Imran bersyukur karena Muhammadiyah memiliki nama besar Buya Hamka dan berbagai karya sastranya yang dianggap lekat dengan bangsa Malaysia sehingga gerakan dakwah Muhammadiyah secara perlahan dapat diterima.
“Jadi dengan membawa nama Buya Hamka mereka bisa menerima Muhammadiyah dengan mengatakan bahwa Buya Hamka adalah tokohnya Muhammadiyah. Atau kita mengedepankan sisi-sisi lain dari Muhammadiyah, baik dari sisi pendidikannya, program kesehatannya, produk di bidang sosialnya, menceritakan bagimana Muhammadiyah memiliki sekian universitas, sekian rumah sakit dan sebagainya. Ini mungkin lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal,” ungkap Ali. (Aza)