”Kesendirian di tengah keramaian,” merupakan salah satu kondisi psikologis yang sering kita jumpai di tengah masyarakat modern. Hal ini ditandai ketika seseorang merasa terasing dengan diri sendiri, lingkungan sosial, dan dunia kerja.
Beberapa dari penyebabnya Ialah sibuknya hiruk-pikuk perkotaan, alpa-nya kehati-hatIan dalam melakukan tindakan yang negatif, rasa egois yang berlebihan, selain itu juga yang lebih penting dari itu semua Ialah masyarakat kita saat ini telah menjauh dan terasing dari keidealan yang mereka miliki.
Konteks yang berbeda mungkin bisa kita lihat dalam proses ibadah haji. Ketika individu berada dalam kerumunan yang padat namun hakikatnya Ia sedang merasakan tegangan yang tersalurkan dari hubungan metafisik antara dirinya dengan Sang Pencipta. Antara dunia yang ingin Ia abdikan kepada Tuhannya.
Akhirnya Ia pun merasakan dirinya berada dalam kesendirian meski berada ditengah keramaian. Lalu, bagaimana kita bisa memahami dua kondisi ini? Masing-masing merupakan paradoksal? Mengapa perlu adanya ibadah haji? Apa saja faktor penyebab perubahan yang terjadi setelah menunaikannya? Apa pengaruh ibadah haji dalam rangka mengisi kekosongan ruh yang ada di dalam setiap individu?
Perlu ditekankan bahwa kesendirIan disini bukan berarti sendiri secara mutlak. Kondisi yang pertama merupakan hasil akhir dari pemahaman individualisme yang melampaui batas, sehingga memicu rasa ketidakamanan dan kegelisahan yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Inilah yang disebut kesendiruan secara sosiologi. Penyebabnya bisa bersumber dari hubungan antar individu yang semakin rapuh, adanya penafian dari masyarakat atau kehilangan orang-orang yang Ia sayangi.
Sedangkan kesendirian secara ontologi merupakan bentuk kesendirian yang bersumber dari rasa tanggung jawab dan kebebasan atas eksistensinya di dunia ini. Bahwa manusia seharusnya memiliki iradah untuk melakukan introspeksi diri, mendeteksi keberadaannya kemudIan mendalami kesendiriannya. Semua ini perlu dilakukan untuk mempersiapkan dirinya di hari perhitungan kelak dihadapan Sang Pencipta atas apa yang pernah Ia lakukan.
Proses yang sama juga bisa dikatakan sebagai individuasi. Proses yang harus ditempuh setiap orang agar dapat mewujudkan dan mengembangkan kepribadiannya yang asli. Terkadang mereka membutuhkan kesunyian. Karena dengan kesunyian mereka membawa dirinya kedalam kematangan dan kreativitas.
Sama halnya ketika jamaah haji berpisah dan meninggalkan tanah air. Hal ini akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk berada dalam kesendirian secara ontologi dan mendorong mereka untuk lebih memikirkan eksistensi dirinya. Di sisi lain, mereka juga mulai mendeteksi kedekatannya dengan Sang Pencipta.
“Teori Perkembangan Psiko-Sosial” yang dicetuskan oleh psikolog yang bernama Erik H. Erikson, mengungkapkan bahwa krisis yang pertama kali dialami oleh manusia adalah krisis rasa percaya. Ketiadaan dukungan dari sosok pengasuh terutama ibu, menjadikan kebutuhannya tidak terpenuhi dan akan memberikan luka yang dalam bagi perkembangan identitas sang anak.
Kondisi ini merupakan bukti bahwa secara fitrah manusia memerlukan tempat untuk bersandar agar dapat melengkapi kebutuhan ruhaninya. Krisis rasa percaya diri ini merupakan epidemi yang menjalar di masyarakat kita, sehingga tidak heran jika kini banyak psikiater menyarankan pasien yang terjerumus kedalam penyakit ruhani ini untuk menunaikan ibadah haji maupun umrah.
Inkonsisten rasa percaya yang dialami seorang individu dapat dibenahi dengan menyalurkan rasa percaya tersebut kepada pemiliknya.
Ibadah haji ataupun umrah menjadi momentum yang paling tepat ketika individu tersebut mendekatkan dirinya dan menyandarkan rasa percaya itu seutuhnya kepada Allah SWT. Merasakan bahwa dirinya berada dalam naungan-Nya dan tidak ada tempat lain untuk bersandar kecuali Dia.
Niat, tingkat kesalehan individu, motivasi untuk menunaikan ibadah haji, dan harapan yang ditunggu darinya merupakan unsur-unsur yang menciptakan adanya perbedaan efek yang terwujud pada masing-masing individu.
Disamping itu, perubahan dan transisi yang kokoh mampu terwujud jika setelah kembali pengalaman hajinya tersebut Ia gunakan sebagai motivasi sekaligus memicu ritual dan ibadah yang lain untuk Ia jadikan lebih dinamis dan mampu memberikan ruang agar dapat melanjutkan proses transisinya.
Meneguhkan niat untuk menunaikan ibadah haji, itu berarti berikrar bahwa perubahan dan transisi untuk menjadi lebih baik, khususnya dari segi agama akan Ia manifestasikan dalam kehidupannya. Ini bisa terlihat dari sikap dan perilakunya sejak Ia tahu bahwa Ia akan menunaikan ibadah tersebut.
Jika Ia merasa ada hati yang pernah disakiti, Ia akan mencoba untuk meminta maaf. Jika memang memiliki hutang, Ia akan berusaha untuk membayarnya. Mereka ingin membuat orang lain yang ada disekitarnya melihat dan merasakan perubahan tersebut, sebelum mereka berangkat.
Sama halnya wudhu merupakan syarat sah sholat, persiapan awal ini pun merupakan wudhunya ibadah haji sebagai syarat sah untuk melangsungkan ibadah tersebut.
Di saat menunaikan ibadah haji, ritual dan simbol yang ada layaknya mendorong dan membantu mereka untuk mewujudkan adanya perubahan. Ihram menandakan kesetaraan dan kembalinya mereka menuju kesucian. Tanah haram merepresentasikan prinsip untuk tidak menciderai makhluk hidup sehingga mengurungkan mereka untuk melakukan dosa sekecil apapun.
Padang Arafah mengingatkan kita sejak dini untuk merasakan adanya pengumpulan makhluk di Padang Mahsyar dan hari penghisaban. Lempar jumrah menegaskan perlawanan kepada bisikan setan dan nafsu yang selalu mengikutinya, berjanji untuk tidak tunduk kepadanya.
Tawaf menjelaskan sebuah pencarian untuk sampai kedalam tujuan dan pentingnya bertawakal dalam kondisi sulit; permohonan ampunan atas dosa yang telah dilakukan sambil mengelilingi rumah Allah SWT. Kabah sebagai simbol bahwa Ia telah menyaksikan Rabbnya dan merasakan kasih sayang dan rasa takut yang ditujukan kepada diri-Nya.
Usai menunaikannya, mereka ingin melanjutkan kembali atmosfer maknawiyah yang ditangkap dalam ritual ibadah haji tersebut. Oleh karena itu Ia akan lebih berhati-hati dalam menjalankan hubungannya dengan orang lain, bersikap lebih sensitif atas perintah agama dan larangannya. Selain itu, harapan untuk menjadi lebih baik yang ditunggu oleh orang yang ada disekitar menjadi faktor luar dari perubahan yang ada.
Sedangkan adanya intropeksi diri dan pertikaian dengan hawa nafsu menjadi faktor dalam. Yang mana pengaruhnya terlihat lebih lama dan membekas. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa seiring berjalannya waktu kemungkinan seorang individu untuk melakukan kekhilafan dapat kembali terwujud.
Dampak utama yang dihasilkan dari proses peribadatan ialah memberikan warna agama kedalam kesadaran individu tersebut. Aktivasi yang terbentuk ketika individu melakukan ibadah haji berada di tingkatan yang paling tinggi dibandingkan ibadah yang lain. Dampaknya bisa sampai berbulan-bulan atau bahkan tahunan.
Di sisi lain atmosfer kerumunan yang ada, menjadi unsur yang paling berpengaruh bagi mereka dalam meraih dampak tersebut, sehingga mereka secara tidak langsung masuk ke dalam lingkaran maknawiyah kolektif yang khas dan sulit untuk lepas darinya. Oleh karena itu banyak dari mereka yang telah menunaikan ibadah haji untuk kembali melakukannya berulang-ulang kali. Agar dapat merasakan dampak yang nyata untuk kedua kalinya.
Khususnya bagi umat muslim mengingat kematian atau hari akhirat secara psikologis merupakan titik tumpu yang sangat penting. Salah satu faktor yang menjadikan individu yang menunaikan ibadah haji memiliki motivasi untuk berubah Ialah bahwa ibadah haji mengingatkan kembali akan kematian dan kehidupan setelahnya.
Kain putih yang Ia pakai ketika ihram mengingatkannya tentang kain kafan yang akan menjadi pakaian termewahnya kelak. Wukuf di Padang Arafah mengajaknya untuk berkontemplasi bahwa suatu saat kelak akan ada tempat pengadilan untuk memperhitungkan segala perbuatan yang telah Ia lakukan. Mendorongnya untuk bersikap dalam batasan lingkaran yang telah ditentukan.
Kondisi ini dari segi kejernihan ruh akan membawanya memperbaiki kehidupan maknawiyahnya. Sebagai dampak pemikiran dan tingkah laku di masa kini yang semakin menjauhkan manusIa kedalam keidealan, membuat rasa frustasi, krisis eksistensi, alienasi, nihilisme, depresi dan hampa makna merasuk kedalam jiwa manusIa modern. Dalam kondisi ini manusIa memerlukan kesempatan untuk bisa mengisi kekosongan ruhnya.
Ibadah haji merupakan rangkaian ibadah yang paling kompleks dan melingkupi ibadah-ibadah yang lain. Di dalamnya terdapat ritual dan simbol sakral yang dapat memberikan warna agama kedalam kesadarannya.
Hal ini membawa manusIa yang ikut andil di dalamnya untuk tidak hanya merasakan ketegangan metafisik yang ada, melainkan ikut merenungkan kembali akan eksistensinya di dunia dan kesudahannya nanti di akhirat. Tidak hanya kembali kepada Tuhannya, tetapi juga kembali menuju fitrah yang sesungguhnya. Karena setiap manusia pasti memerlukan Sandaran yang Abadi sebagai titik tumpu kehidupannya.(*)