Oleh: Anisa Tri Kusuma |
Apa yang menjadi alasan mendasar para idola dari komik ini sangat sulit untuk mendapatkan gelar film terbaik?
Indonesiainside.id, Jakarta — Momen penghargaan Academy Awards atau Oscar kembali digelar tahun ini. Ajang penghargaan tahunan untuk insan perfilman dunia ini selalu mendapatkan perhatian khusus dari seluruh kalangan, ajang Oscar menjadi apresiasi tertinggi bagi pekerja film. Film Green Book jadi pemenang film terbaik 91st Academy Awards atau Oscar 2019 kali ini. Green Book mengalahkan pesaing beratnya seperti; Roma, Bohemian Rhapsody, A Star Is Born, dan Black Panther. Film yang dibintangi oleh Viggo Mortensen ini bercerita tentang pekerja Italia-Amerika yang menjadi supir pianis Afrika-Amerika yang sedang menjalani turnya di Selatan Amerika pada 1960-an. “Film ini bertemakan cinta,” ujar Produser Film Peter Farelly dalam sambutan penerimaan penghargaannya, dilansir dari CNBC, Senin (25/2).
Film ‘Green Book’ disutradarai oleh Farelly dan mencetak penjualan US$ 128,9 juta di pasar global. Puluhan film terbaik bersaing setiap tahunnya untuk membawa pulang piala bergengsi itu. Tahun ini film yang masuk sebagai Best Picture mengusung berbagai genre. Yang paling menarik adalah munculnya “Black Panther” sebagai film superhero pertama yang mendapatkan nominasi tertinggi itu setelah 90 tahun pagelaran Oscar. Menelisik ke belakang, nampaknya film-film pahlawan super tak memiliki ‘hubungan baik’ dengan Academic of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS).
Lalu, apa yang menjadi alasan mendasar para idola dari komik ini sangat sulit untuk menyampaikan pidato kemenangan?
Kisah Dramatis Dinilai Jadi Daya Pikat Oscar
Ada tiga kategori yang dianggap paling istimewa dalam setiap pelaksanaan Oscar, yakni Best Picture, Best Director dan Best Original Screenplay. Ketiga nominasi ini biasanya saling terhubung, apabila film masuk nominasi film terbaik, maka untuk kategori produser dan naskah akan mengikuti. Hal yang cukup jarang diperoleh oleh film-fim superhero. Walau tak selalu demikian, namun seperti yang sering terjadi, AMPAS nampaknya lebih “menyukai” film dengan fiksi sejarah dan realisme kontemporer. Misalnya, “The Shape of Water” yang menjadi pemenang di 2018. Walau berupa cerita fiksi, namun penggambaran historis di 50-an masih menampilkan isu-isu di era itu, seperti prasangka dan perang dingin.
Hal yang sama juga hampir tergambar dalam cerita “Moonlight” yang memenangkan Best Picture 2016.
Dan “Black Panther” menjadi film pertama tahun ini yang masuk dalam jajaran film terbaik tanpa unsur dramatis itu. Akankah Oscar mulai melakukan pengecualian di usia yang hampir seabad ini?

Box Office Tak Pernah Jadi Jaminan
Industri perfilman harus mengakui sukses besar yang diraih “Wonder Woman” pada 2017 sebagai film dengan penghasilan terbesar. Namun, hal itu tak cukup membuat superhero wanita yang diperankan Gal Gadot ini meraih nominasi. Ada pula “Star Wars: The Last Jedi”, “Beauty and the Beast” dan “Jumanji”, tidak beruntung memperoleh nominasi di bidang peran, penyutradaan atau penulisan.
Isu Sosial dan Pengaruh Sosial
Berkaca dari kemenangan film “The Shape of Water” tahun lalu, menurut profesor dari Syracuse University sekaligus penulis buku “A Place of Darkness: The Rhetoric of Horror in Early American Cinema”, Kendall Philips, walau penampilan sosok monster tapi kesan humanis yang kuat mampu membuat film ini sejajar dengan genre drama yang biasanya langganan menang Oscar.
“Di sini kami memiliki film yang mengisahkan sebuah cerita cinta yang amat indah, tentang dua entitas yang merasa terkoneksi dan bukan bagian dari dunia, dan mereka ternyata mampu menjembatani jurang yang ada itu.” kata Phillips, sebagaimana dilansir dari E!News.
Pesan mendalam tentang moralitas, ketidakberdayaan, perjuangan keadilan dalam masyarakat adalah pesan-pesan penting yang hampir ada di film ‘selera’ Oscar. Lalu apakah Iron Man dan Captain America yang mencoba menyelamatkan dunia tak memenuhi syarat tersebut?
Visual Efek Menjadi Daya Dukung Utama Film Superhero
Pada kenyataannya, film superhero lebih banyak bersaing di kategori teknis seperti visual effects, sound mixing, make up, design dan sound editing. Tidak dipungkiri, bahwa itu semua menjadi motor penggerak utama menariknya perjuangan “Dark Knight”, “Spider-Man” dan kawan-kawan. Tahun 2015 lalu, 3 dari 5 nominasi yang lolos untuk kategori visual efek adalah film superhero, yaitu; “X-Men: Days of The Future Past”, “Guardians of The Galaxy”, dan “Captain America: The Winter Soldier”. Namun, walau demikian kemenangan juga masih sulit diraih.
Tahun ini Black Panter telah berhasil menjadi film superhero yang masuk nominasi best picture dalam ajang sekelas Oscar. Namun masih disayangkan, film dengan aktor dan aktris kulit hitam ini belum bisa membawa tagline “Wakanda Forever” ke atas panggung Oscar. (Kbb)