Indonesiainside.id, Jakarta – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan ‘Vision 2020 ‘ sebagai harapan terwujudnya penduduk dunia yang terhindar dari masalah gangguan penglihatan dan kebutaan pada tahun depan. Visi ini tentu menggembirakan namun fakta di lapangan tidak semudah yang diharapkan.
Masalahnya, pada peringatan Hari Penglihatan Dunia 2019, Oktober kemarin, WHO merilis bahwa sekitar 2,2 miliar orang di dunia mengalami gangguan penglihatan atau kebutaan. Dari angka tersebut, sebanyak satu miliar kasus masalah penglihatan, masih bisa dicegah.
WHO menambahkan, dari satu miliar orang yang mengalami gangguan penglihatan, umumnya dikarenakan mereka tidak mendapatkan perawatan yang memadai. Hal ini karena kondisi negara mereka yang berada dalam kategori ekonomi rendah, terbatasnya akses ke fasilitas kesehatan, juga adanya ketakutan bahwa tindakan medis sesuatu yang mengerikan, padahal tidak demikian adanya.
WHO juga memperingatkan, pertambahan populasi dari tahun ke tahun, perubahan gaya hidup dan terbatasnya akses perawatan mata di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, menjadi salah satu pendorong utama meningkatnya angka orang dengan gangguan penglihatan.
“Ada keterbatasan akses sehingga tidak terobati. Hal ini menjadi masalah umum gangguan penglihatan,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengutip laman resminya, diakses Jumat(13/12) kemarin.
Ditambahkannya, sekitar 65 juta orang di dunia menjadi buta atau memiliki penglihatan yang buruk padahal penglihatan mereka bisa diperbaiki dalam semalam, khususnya melalui operasi katarak. Hal ini karena, kebanyakan kebutaan disebabkan oleh katarak, begitu pula yang terjadi di Indonesia.
“Itu bukanlah sesuatu yang bisa kita maklumi. Karenanya, setiap orang harus mendapatkan perawatan mata yang berkualitas tanpa hambatan, termasuk soal keuangan. Perawatan mata harusnya masuk dalam rencana kesehatan nasional dan paket perawatan dasar karena menjadi bagian penting dalam perjalanan setiap negara menuju cakupan kesehatan semesta,” ungkapnya.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Kementerian Kesehatan melansir hasil Survei Kebutaan Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) tahun 2014 –2016 oleh Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) dan Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan. Survei itu dilakukan di lima belas provinsi. Masing-masing adalah Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua Barat.
Survei yang menyasar populasi usia 50 tahun ke atas tersebut membuka mata kita, bahwa angka kebutaan di Indonesia mencapai 3%. Dan, katarak merupakan penyebab kebutaan tertinggi yaitu 81%.
“Sebenarnya 80 persen gangguan penglihatan termasuk kebutaan dapat dicegah dan ditangani,” kata Ketua PP Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) dr. M. Siddik, Sp. M, di Gedung Kemenkes, Jakarta, pada peringatan Hari Penglihatan Dunia, seperti dirilis dalam laman resmi kemenkes, (7/10) lalu.
Dilanjutkannya, jika kondisi ini dibiarkan maka akan rawan terjadi tsunami katarak. Tsunami yang dimaksud adalah dengan bertambahnya Usia Harapan Hidup (UHH), maka diperkirakan pada tahun 2030 itu semua penduduk di atas usia 50 tahun akan banyak, sekitar 25%. Padahal, katarak saat ini bukan hanya menyerang lanjut usia tapi juga mulai bayi hingga dewasa.
“Itu usia dimana seseorang rawan menderita katarak. Jadi jumlah penderita katarak pasti bertambah banyak,” ucapnya.
Perlu diingat, selain lanjut usia, dewasa ini katarak juga menyerang segala usia, bahkan bayi dan balita juga merupakan salah satu kelompok berisiko terhadap gangguan penglihatan. Karenanya, perlu meningkatkan kepedulian terhadap ancaman gangguan penglihatan terutama kebutaan yang dapat dicegah. Skrining dan deteksi dini kunci utama menemukan kasus sedini mungkin dengan intervensi yang tepat.
Mengantisipasi Tsunami Katarak
Katarak menjadi penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan yang terjadi di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Merujuk survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) pada 2014-2016, Indonesia menempati posisi pertama kebutaan akibat katarak. Bahkan, kasus kebutaan oleh katarak di Indonesia mencapai 78 persen dari jumlah kasus di Asia Tenggara. Artinya yang tertinggi ada di sini.
Katarak atau kekeruhan lensa mata merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak di Indonesia maupun di dunia. Diperkirakan, penderita katarak bertambah 0,1% setiap tahunnya atau dengan kata lain, dengan jumlah penduduk 260 juta orang maka setiap tahunnya diperkirakan terdapat 260.000 orang penderita baru katarak.
Dari sisi geografis, masyarakat Indonesia juga lebih rentan menderita penyakit ini. Penduduk di wilayah tropis lebih cepat 15 tahun mengalami katarak dibandingkan penduduk di daerah subtropis. Sekitar 16 hingga 22 persen penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55 tahun.
Berikut data prevalensi kebutaan dan katarak per provinsi hasil pemeriksaan petugas enumerator dalam Riskesdas 2013.

Sementara itu, prevalensi katarak dari hasil pemeriksaan petugas enumerator dalam Riskesdas 2013 adalah sebesar 1,8%, tertinggi di Provinsi Sulawesi Utara dan terendah di DKI Jakarta. Angka ini bukanlah angka mati, karena ibarat fenomena gunung es, masih banyak penderita katarak yang tidak mengetahui jika menderita katarak. Di sisi lain, dengan jumlah kepulauan sebanyak Indonesia, potensi penderita yang tidak masuk dalam laporan juga makin besar.

Dari hasil survei Riskesdas 2013, ada tiga terbanyak alasan penderita katarak belum melakukan operasi yaitu 51,6% karena tidak mengetahui menderita katarak, 11,6% karena tidak mampu membiayai dan 8,1% karena takut operasi.
Padahal, operasi katarak tidaklah semenakutkan yang dibayangkan.
Operasi Katarak Tidak Perlu Ditakuti
Katarak adalah penyebab utama kebutaan nomor satu di Indonesia. Posisi Indonesia dalam kebutaan terkait katarak bahkan menduduki nomor satu di Asia Tenggara, merujuk RAAB 2014-2016.
“Kebutaan akibat katarak bisa dicegah, melalui operasi. Dengan fasilitas dan perkembangan dunia kedokteran yang makin modern, tentu tidak ada alasan bagi pasien untuk takut. Ini yang perlu diedukasi kepada masyarakat,” kata dr Rien Widyasari, SpM, salah satu dokter spesialis mata yang menangani operasi katarak di Klinik Mata Nusantara (KMN EyeCare), di Jakarta, Ahad(15/12).
Dijelaskannya, penanganan katarak kini sudah sangat modern dan tidak perlu ditakuti lagi. Karena dengan kemajuan dunia kedokteran dewasa ini dan ditunjang dengan teknologi peralatan kedokteran, tindakan medis atas penderita katarak lebih optimal. “Bila seseorang menderita katarak, tindakan satu-satunya untuk menanggulanginya adalah operasi. Itu saja satu-satunya solusi. Obat ataupun vitamin apapun tidak akan membantu,” jelasnya.
Menurutnya, fakta ini perlu diluruskan kepada masyarakat agar tidak terjebak pada iming-iming bahwa obat dan vitamin sudah cukup mengatasi katarak. Padahal itu tidak benar. “Jadi, sekali lagi tidak perlu takut, operasi katarak merupakan tindakan yang tidak dapat dihindari oleh para penderita penyakit mata ini. Tak perlu takut lagi untuk operasi karena sebenarnya sudah tidak seperti dulu lagi,” lanjutnya.
Dr. Yuni Astuti, MARS, Direktur RS KMN menambahkan, kebanyakan orang memang masih memiliki rasa ketakutan terhadap prosedur yang berkaitan dengan pembedahan. Namun, Katarak adalah penyakit yang tidak dapat dihindari oleh siapapun.
“Katarak adalah proses terjadinya kekeruhan pada lensa mata yang menyebabkan gangguan fungsi penglihatan dan biasanya terjadi pada orang-orang berusia di atas 40 tahun atau paruh baya,” ujar dr Yuni lagi.
Katarak yang terjadi seiring bertambahnya usia tersebut merupakan bagian dari proses penuaan. Sama halnya seperti rambut yang menjadi putih seiring lanjutnya usia. Katarak tidak dapat dihindari dan pasti akan terjadi di hidup semua orang yang semakin tua. Yang sering jadi masalah adalah ketika lensa yang sudah mengeruh tersebut dibiarkan begitu saja.
“Jika terjadi terlalu lama, katarak dapat semakin mengeras dan bahkan dapat mengakibatkan kebutaan,” katanya.
Menurutnya, terkait adanya yang memandang operasi menakutkan, memang diperlukan adanya edukasi dari semua pihak untuk menghilangkan anggapan bahwa pembedahan katarak itu menakutkan. KMN EyeCare juga melakukan kegiatan edukasi ke masyarakat dalam upaya mengatasi kebutaan akibat penyakit katarak.
Salah satunya dengan memutar testimonial salah satu selebritis yang pernah menjadi pasien di tempatnya, yakni artis Widyawati tentang pengalamannya menjalani operasi katarak. Istri dari mendiang Sophan Sophiaan bahkan bukan sekali saja menjalani operasi katarak, tapi sebanyak dua kali dan hanya dalam waktu kurang lebih dua minggu. Pertama pada mata kanan dan disusul operasi mata kiri.
“Operasi katarak memang tidak dapat dilakukan pada kedua mata secara bersamaan. Mata pertama yang dioperasi harus menunjukkan hasil yang baik dulu sebelum mata kedua dapat dioperasi. Karenanya, operasi kedua mata dapat dijalankan dengan lebih aman. Tidak hanya itu, prosedur keamanan operasi katarak bahkan sudah seharusnya dipastikan dari sebelum pasien masuk ke ruang operasi,” jelas dr. Yuni Astuti.
Ditambahkannya, setiap pasien katarak juga diharuskan untuk menjalani sederetan pemeriksaan komprehensif sebelum menjalani operasi. Selama proses operasi, keadaan umum pasien dipantau oleh dokter spesialis anestesi, sehingga pasien akan selalu merasa nyaman saat proses operasi berjalan.
“Selain tentunya keselamatan pasien akan lebih terjaga,” ungkapnya.
Dijelaskannya, saat ini operasi katarak didukung dengan teknologi canggih yakni dengan menggunakan metode fakoemulsifikasi dengan alat mutakhir salah satunya seperti Centurion dari Amerika Serikat. Melalui alat ini, sayatan yang dibuat jadi teramat kecil. “Sehingga proses penyembuhan pasien lebih aman dan cepat. Juga menggunakan lensa tanam berkualitas tinggi untuk menggantikan lensa yang mengeruh (katarak) yang diambil dengan perlindungan terhadap sinar ultra violet. Kami sudah didukung peralatan ini,”ujarnya.
Karena sudah sedemikian canggih, operasi katarak yang dijalani pun tidak berlangsung lama dan lebih nyaman karena tidak ada suntikan di mata, lanjutnya. Juga tidak ada jahitan dan mata tidak perlu ditutup sebelah setelah operasi. “Bahkan, dapat langsung pulang ke rumah di hari yang sama,”katanya.
Yang pasti, kebutaan akibat katarak memang harus dicegah. Edukasi ke masyarakat perlu dilakukan agar penderita tidak menerima informasi yang salah dan takut melakukan tindakan medis. “Karena kebutaan akibat katarak itu bisa dicegah. Ini menjadi kewajiban bersama untuk melakukannya, salah satunya dengan memberikan edukasi yang benar ke masyarakat,” tutupnya. (EP)