Indonesiainside.id, Manado – Hasil fermentasi dan distilasi air nira dari pohon Aren (pinnata) menghasilkan minuman beralkohol yang disebut dengan Cap Tikus. Minuman tradisional Minahasa ini sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat Minahasa, dan umumnya dikonsumsi para bangsawan atau oleh masyarakat umum dalam acara adat dan juga para petani saat mulai bekerja.
Kadar alkohol pada cap tikus tergantung pada teknologi penyulingan. Petani sejauh ini masih menggunakan teknologi tradisional, yakni saguer dimasak kemudian uapnya disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesan-tetesan itulah yang kemudian dikenal dengan minuman cap tikus.
Pada mulanya, minuman keras ini bernama Sopi. Sebutannya berubah menjadi Cap Tikus ketika orang Minahasa yang mengikuti pendidikan militer untuk menghadapi Perang Jawa sekitar tahun 1829, menemukan Sopi dalam botol-botol biru dengan gambar ekor tikus. Ketika itu, Sopi dijual oleh para pedagang Cina di Benteng Amsterdam, Manado.
Umumnya, petani Minahasa, sebelum pergi ke kebun atau memulai pekerjaannya, minum seloki cap tikus untuk penghangat tubuh dan pendorong semangat untuk bekerja. Memproduksi cap tikus membutuhkan waktu ekstra, sejak pagi hingga sore, bahkan malam.
Bahkan membutuhkan tenaga lebih, karena kebanyakan tinggi pohon aren (pohon seho) lebih dari 10 meter. Menaiki pohon aren di Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara, juga dilakukan tradisional. Hanya dengan sebuah bambu berlubang jari yang disandarkan di batang pohon.
Dengan lilang (parang) sangat tajam, mayang pohon seho diketuk untuk merangsang air niranya. Proses pengetukan sebanyak tiga sampai empat hari agar nira banyak dan bagus.
Nira yang digunakan dalam pembuatan cap tikus harus asam. Nira yang manis sering didiamkan sehari agar asam, kemudian disuling.
Proses penyulingan dilakukan di tungku yang kemudian dibakar menggunakan kayu api. Wadah untuk penyulingan nira aren adalah drum besar. Proses penyulingan membutuhkan waktu satu hingga dua jam. Enam galon nira atau sering disebut saguer, hanya menghasilkan satu galon cap tikus.
Pada saat penyulingan, dua botol cap tikus hasil penyulingan pertama memiliki kadar di atas 45%. Itu yang dinamakan cakram, karena paling enak dan paling keras kadarnya.
Beberapa botol setelahnya, kadarnya berkurang menjadi 20 sampai 30%.
Menilik kebudayaannya, dalam upacara naik rumah baru, para penari Maengket menyanyi lagu Marambak untuk menghormati Dewa pembuat rumah, leluhur Tingkulendeng. Tuan rumah harus menyodorkan minuman cap tikus kepada Tonaas atau pemimpin upacara adat naik rumah baru, sambil penari menyanyi “tuasan e sopi e maka wale”, yang berarti tuangkan cap tikus wahai tuan rumah.
Minuman keras ini bahkan terkenal hingga ke Kepulauan Ternate. Keterangan mengenai cap tikus di Ternate ditulis oleh juru tulis pengeliling dunia Colombus dari Spanyol bernama Antonio Pigafetta.
Setelah kapal mereka melalui Pulau Sangihe dan Talaud pada 15 Desember 1521, mereka tiba di pelabuhan Ternate dan dijamu Raja Ternate dengan minuman arak yang terbuat dari air tuak yang dimasak.
Kendati buku “Perjalanan keliling dunia Antonio Pigafetta” terbitan tahun 1972 halaman 127-128 tidak menjelaskan dari mana Raja Ternate mendapatkan minuman cap tikus, namun perlu ditelisik masyarakat Ternate tidak punya budaya “Batifar” hingga kemungkinan besar minuman Cap Tikus didatangkan dari Minahasa. (PS)