Indonesiainside.id, Jakarta—Di tengah kondisi pandemi corona, berbagai arus informasi tersebar di media sosial tanpa bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut pendiri Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Harry Sufehmi, sesungguhnya para ulama jaman dahulu telah menyusun ilmu hadist untuk melawan hoaks, tatkala saat itu banyak beredar hadis palsu.
“Dasarnya simpel untuk membantah atau mendeteksi hoaks, yaitu sanad dan matan. Sanad itu sumber, matan itu konten. Jadi maksudnya, kita cek kalau kita dapat berita, sanad-nya apa nih, sumbernya darimana,” kata Harry di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (18/4).
“Kalau cuma forward-an Whatsapp yang nggak jelas sumbernya sama sekali, ya kita anggap hoaks aja sampai terbukti sebaliknya, jadi supaya aman,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Harry menjelaskan, terkait konten atau isi berita, masyarakat sebaiknya mengecek apakah konten tersebut ada yang aneh atau tidak. Apabila ada isi berita yang ketika dibaca isinya langsung membangkitkan emosi, marah, gusar atau bahkan, ketakutan, serta mungkin berlawanan dengan yang selama ini beredar di media massa, maka harus dicek atau seperti tadi saja, dianggap sebagai berita hoaks sampai terbukti sebaliknya.
“Jadi mengetahui ini hoaks atau bukan itu simpel. Kita sudah diajarkan dari zaman dahulu yaitu apakah sanad-nya jelas, gimana kontennya. Jadi kalau kita umat muslim sudah bisa berpegang kesitu, maka sebenarnya kita sudah bisa menghindari hoaks ini,” ujarnya.
Ia menyatakan, hambatan lain yang juga dihadapi masyarakat adalah adanya infodemik seputar Covid-19. Infodemik ini mengarah pada informasi berlebih akan sebuah masalah, sehingga kemunculannya dapat menngganggu usaha pencarian solusi terhadap masalah tersebut.
“Istilah Infodemik itu sudah mengglobal karena turut memperburuk situasi, kita saat ini di situasi pandemik, wabah global, bukan lokal Infodemik tidak menolong situasi yang parah ini,” katanya.
Selain itu, infodemik juga dapat berakibat fatal hingga menyebabkan korban nyawa. Fenomena itu yang sering muncul di tengah masyarakat, seperti misalnya informasi yang tidak benar mengenai salah satu obat penangkal Covid-19 yang membuat masyarakat justru merasa aman dengan adanya obat tersebut sehingga mengabaikan anjuran protokol kesehatan.
“Akibat infodemic ini bisa cukup fatal, sampai menyebabkan korban nyawa. Misalnya informasi mengenai obat tapi hoaks, jadi lengah gak papa kalau kena, tinggal kasi bawang putih, padahal sebetulnya hoaks,” katanya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai bagian dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat setidaknya infodemik berupa hoaks atau informasi yang tidak benar seputar Covid-19 di Indonesia mencapai 566 kasus. Sementara itu Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) melalui pemeriksa faktanya secara spesifik mencatat misinformasi dan disinformasi seputar COVID-19 sebanyak 301 berita hoaks hingga pukul 22.00 WIB pada Jumat kemarin. (SD)