Indonesiainside.id, Singapura–Penelitian telah menemukan bahwa ‘kelelawar tapal kuda’ atau Rhinolophus sharmeli yang mirip dengan spesies kelelawar pembawa virus corona yang menyebabkan Covid-19, juga ditemukan di luar China. Temuan terbaru para peneliti memperkuat teori sebelumnya yang mengklaim bahwa pandemi mungkin tidak berasal dari China, melainkan mencapai Wuhan dari tempat lain.
Salah satu peneliti dari Duke-NUS Medical School di Singapura, Profesor Wang Linfa, yang terlibat dalam penelitian tentang Covid-19 juga mengonfirmasi temuan tersebut, kutip The Star.
“Untuk menentukan apakah suatu spesies pembawa virus corona, harus ada lebih dari 99 persen kesamaan genetik antara genom SARS-CoV-2 dan virus pada hewan, “ kata Linfa. “Metode ini mirip dengan yang digunakan selama penelitian virus gangguan pernapasan akut (SARS),” katanya, yang bertanggung jawab untuk menemukan spesies pembawa asli virus SARS pada tahun 2003.
Hasil studi terbaru dipublikasikan kemarin di jurnal Nature Communications, tentang penemuan virus corona pada kelelawar tapal kuda Rhinolophus acuminatus di Thailand. Virus tersebut 91,5 persen mirip dengan SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
Hingga saat ini, virus terdekat SARS-CoV-2 telah terdeteksi pada kelelawar tapal kuda Rhinolophus affinis di provinsi Yunnan, China, dengan kemiripan genetik 96,2 persen. Dalam studi pendahuluan yang dipublikasikan Januari lalu, peneliti juga menemukan virus serupa pada kelelawar tapal kuda Rhinolophus shameli di Kamboja dengan akurasi virus 92,6 persen setara dengan SARS-CoV-2.
Ketiga spesies kuda tapal kuda tersebut adalah dari spesies Rhinolophus, yang mana terdapat lebih dari 100 spesies dalam kelompok kelelawar yang banyak ditemukan dari Australia hingga Eropa. Namun, tiga spesies Rhinolophus yang telah terbukti sebagai pembawa virus corona yang terkait dengan SARS-CoV-2 tidak ditemukan di Singapura.
Sementara itu, Prof Wang menegaskan bahwa tindakan perusakan satwa liar bukanlah pilihan bijak untuk menekan penyebaran virus yang dibawanya. “Ini karena penelitian menunjukkan bahwa mengganggu habitat kelelawar dan menghancurkannya tidak mengubah perilakunya, bahkan dapat meningkatkan laju penyebaran atau perpindahan virus ke spesies lain,” katanya.
Peneliti lain di NUS, Chua, juga setuju dengan pandangan Prof Wang karena virus dapat dengan mudah bermutasi sesuai situasi.
“Yang lebih penting adalah manusia menghindari gangguan habitat satwa liar dan menjauhi satwa liar serta meningkatkan pengawasan dan pemantauan untuk mengekang penularan virus,” katanya. “Selanjutnya kelelawar memiliki peran dalam ekosistem karena merupakan predator serangga yang menjaga keseimbangan jumlah serangga dan merupakan penyebar benih yang penting,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika dibandingkan risiko peternakan skala besar yang hewannya dekat dengan manusia, kemungkinan penularan zoonosis dari hewan liar ke manusia lebih rendah. (NE)