Oleh: Arif S
Indonesiainside.id, Jakarta – Ada 10 kecamatan yang mengalami kemarau ekstrem di Kota Jakarta. Berdasarkan catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat, di 10 wilayah kecamatan di DKI Jakarta itu telah lebih dari 100 hari tanpa hujan (HTH).
Kasubid Analisis Informasi Iklim BMKG Pusat, Adi Ripaldi, Jumat (4/10), mengatakan 10 kecamatan itu tersebar di lima kota administrasi DKI Jakarta. “Untuk wilayah DKI Jakarta, yang sudah masuk kategori ekstrem atau lebih dari 60 hari tanpa hujan ada di kecamatan Istana, Angke, Kebangan Utara, Cideng, Pulogadung, Kamayoran, Rawa Badak,” tutur Adi.
Ia menambahkan wilayah-wilayah di bawah ini mengalami hari tanpa hujan lebih dari 100 hari. Wilayah paling tinggi HTH adalah Rawa Badak di Jakarta Utara yakni 136 hari tanpa hujan.
Lalu di Sunter Kodama, yakni 114 HTH, Stamar Tanjung Priok juga 114 HTH. Selanjutnya di Jakarta Timur hanya satu wilayah yakni Pulodagung 114 HTH. Di Jakarta Selatan juga terjadi di satu wilayah, yaitu Setia Budi Timur 114 HTH.
Berikutnya di Jakarta Barat ada Kembangan Utara sudah 113 HTH. Daerah terbanyak ada di wilayah Jakarta Pusat seperti Angke Hulu 107 HTH, Istana 113 HTH, Karet P 107 HTH dan Slamet Kemayoran 114 HTH.
Adi menjelaskan, BMKG memiliki 6.000 alat penakar hujan yang tersebar di 60 titik di wilayah DKI Jakarta. Alat ini berfungsi mengamati hujan untuk mengukur HTH setiap harinya di tiap kecamatan. HTH 21-30 hari masuk kriteria HTH panjang, ungkapnya, sedangkan HTH lebih dari 60 hari termasuk kategori ekstrim.
Meski kondisi kemarau ini tergolong ekstrem, namun masih lebih tinggi musim kemarau tahun 2015 yang juga memiliki HTH mencapai 100 hari. Pada tahun 2015 musim kemarau di pengaruhi oleh Elnino kuat, sedangkan tahun 2019 ada pengaruh Elnino lemah.
“Tapi kemarau 2019 lebih kering jika dibandingkan dengan kemarau 2018,” kata Adi. Ia menambahkan, BMKG telah mengeluarkan informasi peringatan dini adanya kemarau ekstrem berdasarkan jumlah hari tanpa hujan di sejumlah wilayah, termasuk wilayah-wilayah yang disebutkan tadi.
“Kami menyebutnya peringatan dini kekeringan meteorologis,” paparnya. Ia mengatakan kekeringan meteorologi ini akan berdampak bagi wilayah yang mengandalkan sumber air dari air hujan. Namun ini idak berlaku untuk wilayah yang sumber air dipasok oleh perusahaan air minum.
Jika terjadi kemarau ekstrem di wilayah yang punya irigasi juga tidak menjadi persoalan. Akan tetapi jika warga yang sehari-hari mengandalkan sumber dari sumur tanah, ketersediaan airnya tergantung dari air hujan maka akan terdampak.
“Untuk wilayah DKI yang punya air perusahaan daerah air minum, belum jadi masalah. Tapi yang mengandalkan air sumur pasti bermasalah, karena untuk penambahan air bergantung hujan, seperti di wilayah Rorotan dan Rawa Badak sudah ada warga yang kesulitan air,” kata Adi. (AS)