Indonesiainside.id, Jakarta – Proses pemilihan pendamping Anies Baswedan tidak kunjung usai. Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi, sebenarnya telah mengagendakan pemilihan wakil gubernur (wagub) pada awal tahun depan (bulan Januari 2020). Kedua partai pengusung (Gerindra dan PKS) sama-sama menginginkan kursi tersebut.
Terkendalanya empat nama calon wagub yang diajukan oleh Gerindra membuktikan, bahwa PKS tidak mau begitu saja melepas kesempatan untuk memperoleh kursi wagub DKI. Hal tersebut diungkapkan oleh pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin.
“Tenggatnya itu tidak akan bergerak, tidak akan jalan ketika dua partai pengusung itu belum sepakat. Ketika PKS belum merestui empat nama yang diajukan Gerindra, itu artinya ada persoalan yang tidak tuntas, yang belum beres,” ujarnya, Rabu (18/12), di Jakarta.
Ia memaparkan, bahwa persoalan pemilihan wagub akan sangat panjang ketika DPP PKS tidak mengambil sikap atas pengajuan calon dari Partai Gerindra. Ini karena PKS menganggap Gerindra tidak menyetujui calon dari PKS yang lebih dulu diajukan dan telah masuk ke DPRD DKI.
“Kemungkinan besar menurut hemat saya tidak akan juga PKS memilih empat nama calon itu, tidak akan mungkin. Di awal kesepakatan yang dibangun dengan Gerindra, dua nama yang diajukan PKS pun Gerindra tidak mau memilih. Jadi berbalas pantunlah, kira-kira seperti itu,” paparnya.
Ia menuturkan, lambatnya pemilihan wagub DKI sebenarnya bukan kesalahan anggota DPRD DKI yang dalam hal ini dianggap mempersulit jalannya proses pemilihan. Tetapi, lambatnya proses pemilihan wagub ada di tangan dua partai pengusung, yang sampai hari ini masih belum sepakat menentukan nama calon yang akan diusung sebagai pendamping Anies.
“Iya, akan panjang, karena dalam undang-undang tidak akan berjalan kecuali kedua partai pengusung itu menyepakati bersama. Jadi kalau satu iya, satu tidak, satu tidak, satu iya sampai kapan pun panjang, tidak akan jadi-jadi, walaupun secara kelembagaan DPRD-nya sudah siap,” tuturnya.
Ia mengutarakan, PKS bakal tetap memperjuangkan kader dari partainya untuk menduduki kursi wagub DKI. Karena dalam deal politik, PKS secara tidak langsung diberikan jatah kursi wagub DKI oleh DPP Partai Gerindra.
“Jadi keinginan PKS, kadernya yang jadi. Bukan yang lain, sesuai dengan kesepakatan yang diminta oleh mereka, ketika pilpres lalu,” kata dia.
Tetapi, Ujang meminta kepada kedua partai pengusung untuk saling meredam ego masing-masing. Jika kedua partai pengusung saling mengedepankan gengsi, maka DKI sampai akhir kepemimpinan Anies tidak akan memiliki pendamping.
“Kembali kepada konstruksi awal, intinya sebenarnya, ini dua partai harus bicara lagi, duduk bareng lagi. Siapa yang akan diusung, apakah kader PKS atau kader Gerindra,” urai Ujang. (AS)