Indonesiainside.id, Jakarta – Aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menilai banjir di Jabodetabek khususnya di Jakarta, tidak hanya disebabkan dampak perubahan iklim. Menurut dia, banjir di Ibu Kota dan sekitarnya juga dikarenakan infrastruktur dan fasilitas yang tidak memadai.
Infrastruktur tersebut, kata Leo, seperti saluran air yang tidak disiapkan untuk menampung curah hujan di atas 200 mm/hari. Sementara, pada saat terjadi banjir kemarin, curah hujan di Jabodetabek mencapai 377 mm/hari.
“Grafik sampai saat ini yang dipakai badan meteorologi di Jakarta, hitungannya maksimum itu 208 mm/per hari. Jadi hitungan untuk persiapan bencana 208 mm. Jauh sekali,” katanya ditemui di Jakarta, Senin (6/1).
Leo mengungkapkan, akar permasalahan curah hujan ekstrem saat ini hanya terletak pada fenomena pemanasan global. Bencana seperti curah hujan ekstrem dalam waktu singkat; kekeringan yang panjang, dan; kebakaran hutan besar-besaran yang terjadi di Australia (mencapai 3 juta hektare lahan) menjadi bukti nyata pemanasan global untuk dunia.
Leo pun mengingatkan kepada para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan agar segera berbenah, baik dari sisi ekonomi maupun pola industri. “Kemudian bagaimana menjaga lingkungan secara global. Waktu tinggal 10 tahun, dari 2020-2030,” ujarnya.
Selain persoalan pemanasan global tersebut, Leo menyebut Jakarta saat ini sudah memasuki curah hujan kategori ekstrem. Setidaknya, dia mencatat di daerah Cikeas (Kabupaten Bogor, Jawa Barat) curah hujan sebesar 300 mm/hari dan di Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta Timur) sebesar 335 mm/hari.
“Kalaupun dia membesar paling hanya 20-50 mm/hari. Di atas 100 mm masuk kategori sangat lebat. Di atas 150 mm ke atas sudah masuk ekstrem,” ujar dia. (AIJ)