Oleh: Arif S |
Membahas soal isi dan keaslian naskah Supersemar akan sangat sulit dan bisa jadi tak akan menemukan ujung kebenaran.
Indonesiainside.id, Jakarta — Suasana ibu kota saat itu masih mencekam, meski peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G-30-S PKI) telah lewat enam bulan. Siang itu Presiden Soekarno hendak melakukan sidang pelantikan anggota Kabinet Dwikora di Istana Negara. Tiba-tiba ada laporan dari Panglima Pengawal Pasukan Presiden (Tjakrabirawa), Brigjen Sabur, bahwa ada pergeralan pasukan yang tak terkontrol di luar istana.
Pasukan itu konon bermaksud untuk menahan beberapa orang yang berindikasi terlibat G-30-S PKI dan akan dilantik menjadi anggota “Kabinet Seratus Menteri”. Setelah teridentifikasi, pasukan tersebut diduga kuat berasal dari Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) dan di bawah komandan Brigjen Kemal Idris.
Mendapat laporan itu, Presiden Soekarno segera meninggalkan acara pelantikan. Pimpinan sidang diserahkan ke Wakil Perdana Menteri II, J Leimena, yang kemudian juga ditugaskan menutup persidangan. Presiden saat itu mengajak beberapa pembantunya untuk berdiskusi ke Istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Ada Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio, yang banyak dicurigai terkait dengan gerakan G-30-S PKI. Ada pula Wakil Perdana Menteri III, Chaerul Saleh, kemudian juga J Leimena yang menyusul usai sidang.
Soekarno juga mengutus stafnya untuk melaporkan situasi sekitar istana tersebut kepada Letjen Soeharto. Saat itu Soeharto sudah menjabat sebagai panglima Angkatan Darat (menggantikan Jenderal Ahmad Yani yang gugur saat G-30-S PKI) akan tetapi tidak bisa hadir dalam sidang pelantikan kabinet karena gangguan kesehatan.
Pada malam harinya, Soekarno membahas masalah keamanan negara di Bogor. Lantaran alasan kesehatan tadi, Soeharto juga tak bisa hadir dan mengutus tiga anak buahnya: Brigjen M Jusuf, Brigjen Basuki Rahmat, dan Brigjen Amir Machmud. Pembicaraan berlangsung hingga menjelang pukul 22.00 WIB. Soekarno ingin agar situasi tak menentu tersebut bisa kembali normal. Untuk itu dia meminta masukan tentang cara untuk menormalisasi keadaan.
Karena saat itu Soeharto sebagai panglima Angkatan Darat dan Kostrad pun di bawah AD, maka tiga jenderal itu mengusulkan agar presiden memerintahkan Letjen Soeharto untuk mengatasi kondisi dalam negeri. Ketiga jenderal ini meyakinkan Soekarno, bahwa Letjen Soeharto mampu mengatasi situasi yang tak kondusif tersebut asal mendapat surat kuasa atau surat tugas.
Soekarno langsung setuju dengan ide tersebut. Lalu pada malam itu, 11 Maret 1966, dibuatlah surat perintah dari presiden kepada Panglima AD, Letjen Soeharto, agar segera mengendalikan keadaan. Surat perintah itu kemudian dikenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Surat perintah itu pada intinya memberi kewenangan Letjen Soeharto selaku panglima AD untuk mengambil tindakan yang perlu guna memullihkan keamanan dan ketertiban.
Dari Bogor, surat perintah itu lalu dibawa ke Jakarta dan tiba sekitar pukul 00.30 dini hari. Para pimpinan AD langsung membahas agenda yang akan dijalankan. Salah satu usulan yang segera dibuatkan rumusannya adalah membubarkan PKI.
Kala itu tak banyak yang mempersoalkan keberadaan Supersemar tersebut. Ada pihak yang berpandangan, bahwa Supersemar itu esensinya tak berbeda dengan perpindahan atau pengalihan kekuasaan untuk menyikapi situasi negara yang tidak stabil dan kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang mulai menurun. Agenda reformasi (saat itu istilah tersebut belum populer) kemudian dijalankan oleh Letjen Soeharto beserta timnya.
Keberadaan Supersemar memang menjadi salah satu tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Surat penting itu pula yang kemudian mengubah wajah negara kita. Meski begitu, banyak yang menilai sumir atas keberadaan Supersemar. Apalagi hingga saat ini naskah asli Supersemar tak ada yang mengetahui. Sempat ada yang menyebutkan, naskah asli disimpan oleh Jenderal (Pur) M Jusuf. Namun, hingga M Jusuf wafat tahun 2004, tak ada penjelasan dari yang bersangkutan.
Pernah pula ada anggota TNI AD yang mengaku telah melihat, bahwa Supersemar diketik di atas surat dengan kop Mabes Angkatan Darat. Dengan penjelasan yang belum terverifikasi ini, banyak yang berpendapat, bahwa masuk akal jika kemudian naskah asli Supersemar tak ditemukan karena kop surat tertera Mabes AD. Namun, pengakuan anggota TNIA AD ini juga belum bisa menjadi pegangan.
Kontroversi tak hanya terkait keberadaan naskah Supersemar. Saat itu, salah satu pengawal di Istana Bogor, Lettu Soekardjo Wilardjito, mengutarakan bahwa yang menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor tak hanya tiga jenderal tadi. Ada satu lagi, yakni Brigjen Maraden Panggabean. Bahkan Soekardjo bercerita, saat itu M Panggabean sempat menodongkan pistol pada Soekarno agar segera menandatangani surat perintah tersebut.
Sebagai penjaga keamanan istana, Soekadjo sempat ganti menodongkan senjata ke arah Panggabean. Menurut pengakuan Soekardjo, Presiden Soekarno lalu minta agar Soekardjo menarik pistolnya. Cerita Soekardjo ini dibantah langsung oleh M Panggabean dan M Jusuf. Keduanya dengan tegas mengatakan, bahwa Panggabean tidak ada di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Kesaksian serupa disampaikan oleh beberapa pihak yang menyebutkan Panggabean tidak berada di Istana Bogor.
Membahas soal isi dan keaslian naskah Supersemar akan sangat sulit dan bisa jadi tak akan menemukan ujung kebenaran. Persoalan pertama, sampai sekarang tidak ada yang bisa menemukan naskah asli Supersemar. Permasalahan akan bisa terurai dan menemukan titik terang hanya jika naskah aslinya ditemukan. Masalahnya, sampai sekarang tak satu pun yang tahu keberadaan naskah asli tersebut. Boleh jadi, naskah itu sudah tak ada lagi alias musnah.
Hal kedua adalah tentang saksi hidup. Mereka yang menjadi kunci dari keluarnya naskah Supersemar sudah tak ada lagi. Basuki Rahmat, Amir Machmud, dan M Jusuf yang membawa (dan mungkin menyimpan) Supersemar dari Bogor ke Mabes AD juga telah wafat. Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang bisa menjadi saksi kunci pun telah tiada. Demikian juga orang-orang yang mungkin berada dekat di sekitar para tokoh itu (sehingga mungkin tahu atau mendengar langsung keberadaan dan isi Supersemar) juga tak ada lagi.
Hal ketiga adalah bukti nyata, bahwa negara lain mengakui peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ini artinya, pemerintahan yang lahir kemudian setelah Supersemar itu memiliki keabsahan yang sangat kuat di mata internasional. Pengakuan dunia internasional itu sangat penting bagi berlangsungnya suatu pemerintahan. Tanpa ada pengakuan internasional, suatu negara hanya akan menunggu untuk segera bubar karena terus terkucil dan tak akan efektif menjalankan kebijakan dan program-programnya.
Poin keempat adalah penerimaan rakyat. Jika secara mayoritas atau bahkan hampir seluruh warga negara menerima suatu rezim yang berkuasa, maka pemerintahan itu absah atau valid. Faktanya memang seperti itu yang terjadi. Praktis semua warga negara ketika itu –mungkin hanya sedikit sekali rakyat yang saat itu menolak– bisa menerima pergantian kekuasaan yang terjadi. Situasi ini berjalan hingga puluhan tahun.
Melihat fakta seperti itu, rasanya tak akan banyak manfaat yang kita petik bila persoalan berkala yang dibahas bangsa hanya seputar Supersemar. Selama belasan tahun masalah ini dibahas dan ditelaah, jawabannya tetap tak bisa ditemukan dan tidak tunggal. Membahas masalah ini terus-menerus, bak seperti mengeluarkan energi ekstra akan tetapi terbuang sia-sia. Rasanya akan terus ada pro dan kontra tiada akhir dari hasil kajian tentang Supersemar. Apalagi, jawaban dari pro dan kontra itu tetap tak dapat menjadi pijakan nyata yang benar-benar bisa menjadi pegangan.
Apa pun yang terjadi kemudian, Supersemar adalah bagian nyata dari perjalanan sejarah dan tata pemerintahan negara kita. Memanipulasi kesimpulan baru yang berupaya diciptakan terkait keberadaan Supersemar –apalagi menghilangkan jejak tersebut– sama maknanya dengan ingin mengubah kenyataan dalam sejarah empiris perjalanan pemerintahan negara kita.
Saatnya kita melangkah ke depan untuk menuju kehidupan yang jauh lebih maju, sejahtera, berkeadilan, dan berperadaban. Supersemar adalah bagian nyata dari sejarah perjalanan bangsa kita. Mari kita tinggalkan segala bentuk pro dan kontra yang tak berujung atas keberadaan Supersemar. Saya pun percaya ada hal-hal positif maupun negatif dari lahirnya Supersemar tersebut. (AS)