Indonesiainside.id, Jakarta — Akhir-akhir ini, istilah Radikal kembali muncul ke permukaan. Mulai dari Presiden Jokowo, Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Agama Fachrul Razi, dan seterusnya, jamak dan asyik mengemukakan adanya radikalisasi di tengah masyarakat.
Bahkan, Menteri Agama Fachrul Razi berencana melarang pemakai niqab atau cadar masuk ke instansi milik pemerintah. “Bisa saja ada langkah-langkah lebih jauh, tapi kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk masuk instansi-instansi pemerintah, demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak Wiranto yang lalu,” kata Fachrul pada lokakarya “Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Tetap Masjid” di Hotel Best Western, Jakarta, Rabu (30/10).
Muncul pro dan kontra di masyarakat. Salah seorang yang memberi tanggapan adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Yaqut Cholil Qoumas. Menurutnya, cadar merupakan soal ideologi dan ranah privasi umat Islam. “Daripada ngurusin yang tampak, mending Menag itu ngurusin yang subtansial aja deh,” kata Yaqut di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (31/10).
Menurut Yaqut, radikalisme atau terorisme tidak terkait dengan yang nampak. “Bukan apa yang kelihatan, tapi ini soal ideologi, mending Menag urus soal ini dulu. Baru nanti kalo memang secara ideologi itu berkaitan antara radikalisme dan terorisme itu berkaitan dengan cadar itu, nah baru keluarkan peraturan itu,” kata dia. Pernyataan Yaqut tersebut menjadi viral di lini media sosial.
Cadar, Syariat atau Budaya?
Di era awal Islam, pakaian perempuan Muslim dan Non-Muslim sama saja. Tidak ada pembeda. Karena itu, kaum lelaki musryikin yang sering menggoda perempuan-perempuan yang sedang lewat di jalanan tidak bisa membedakan antara perempuan Muslim atau Non-Muslim. Lalu,turunlah ayat Al-Ahzab 59 dan An-Nuur: 31 yang memerintahkan agar para muslimah memakai hijab.
Istri Nabi, Aisyah, menarasikan, “Ketika turun ayat hijab tersebut, para muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seketika itu mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka. Mereka merobek selimut mereka lalu berkerudung dengannya. (HR. Imam Bukhari: 4759)
Istri Nabi yang lain, Ummu Salamah, mengisahkan seperti pemandangan sekumpulan gagak hitam. “Ketika turun firman Allah, “Hendaknya mereka (perempuan-perempuan beriman) mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS. Al-Ahzab: 59), perempuan-perempuan Anshar keluar seolah-olah pada kepala mereka terdapat burung-burung gagak karena warna (warna hitam) kain-kain (mereka).” (HR. Imam Abu Daud : 4101)
Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi, Rasulullah bersabda, “Perempuan itu aurat.” Yang boleh nampak dari perempuan adalah muka dan telapak tangan. Jika karena ada alasan syar’i dimana memakai cadar lebih aman dan nyaman, para ulama membolehkannya.
Jadi, jika ada yang berpandangan bahwa cadar adalah budaya Arab, faktanya, sebelum turun ayat-ayat tentang hijab, cara berpakaian perempuan Muslim dengan non-Muslim, sama saja. Atas dasar fakta sejarah tersebut, maka pandangan bahwa niqab adalah budaya Arab tertolak dengan sendirinya.
Radikal
Istilah radikal berasal dari kata Latin, radix, yang punya arti “akar”. Secara filosofis, radikal adalah memahami sesuatu sampai ke akar-akarnya, secara mendalam.
Dalam konteks pemahaman ajaran agama, radikal adalah memahami ajaran agama tertentu secara mendalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu arti kata radikal adalah “Secara mendasar(sampai pada hal-hal yang prinsip).”
Encyclopædia Britannica, menarasikan, kata “radikal” dalam konteks politik, pertama kali dipopulerkan oleh Charles James Fox pada tahun 1797, ketika ia mendeklarasikan “reformasi radikal” sistem pemilihan. Begitulah, kata radikal menjadi istilah yang bisa ditarik kesana-kemari: sosial, politik, filsafat, agama, dan sebagainya.
Maka, ketika kata radikal disematkan kepada sebuah komunitas atau pemeluk agama tertentu, persoalannya menjadi kabur. Islam radikal misalnya, bisa dimaknai bahwa sebuah komunitas atau seseorang menganut faham yang berlebihan dalam melaksanakan ajaran agamanya. Dan sebagai konsekuensinya, komunitas atau perseorangan itu melakukan aksi “kekerasan” dalam mengaplikasikan ajaran agama yang dianutnya. Misalnya, ingin mengubah sebuah idiologi negara dengan cara-cara kekerasan.
Andai pemahaman tersebut dinisbahkan kepada ormas, komunitas, atau perseorangan dalam Islam, tentu bias. Mengapa? Karena sebagian umat Islam memahami bahwa radikal dalam Islam itu diperlukan, sebagaimana fundamentalisme dalam Islam juga dibutuhkan. Seorang muslim bahkan dituntut untuk radikal, dalam arti, memahami ajaran agamanya secara sungguh-sungguh, sampai ke akar-akarnya.
Jika yang dimaksud dengan radikal itu adalah sebuah pemahaman atau perbuatan yang melampau batas, Islam punya istilah “Ghuluw” atau ekstrim. Pemahaman dan atau perbuatan yang ekstrem inilah sebenarnya yang perlu dicegah. Di jaman awal Islam, sifat ghuluw itu disematkan kepada kelompok khawarij yang dalam pemahaman maupun perbuatannya sungguh melampaui batas-batas syariat.
Di era modern ini, para ulama dunia menyematkan sifat ghuluw kepada kelompok ISIS yang ada di Irak(dan sebagian di Suriah). Bahkan, sebagian besar ulama Timur Tengah telah mengeluarkan fatwa bahwa ISIS adalah kelompok sesat dan jauh dari ajaran Islam yang cinta damai.
Karena itu, ketika perempuan bercadar dilarang masuk ke kantor-kantor pemerintahan, itu sama saja memvonis bahwa mereka adalah kelompok yang terlarang. Jika ingin melindungi pejabat pemerintah, caranya dengan meningkatkan kewaspadaan, keamanan, kenyamanan, dan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Bukan dengan cara-cara yang justru menimbulkan stigma dan perpecahan pada masyarakat. (HMJ)