Di Negara yang demokratis, keberadan oposisi menjadi keniscayaan. Oposisi dilakukan oleh partai politik, sementara kritik-kritik, dari yang lemah-lembut sampai yang keras, acap dilakukan oleh, baik politikus maupun tokoh perorangan. Oposisi dan kritik menjadi factor penyeimbang.
Kehadiran para kritikus yang vokal, selanjutnya disebut vokalis, sepanjang data dan faktanya akurat dan bisa dipertanggungjawabkan, sejatinya adalah ikut serta menyehatkan proses demokratisasi yang sama-sama dibangun. Para pejabat yang acap dijadikan sasaran kritik, di alam demokrasi, meski siap mental. Buka mata buka telinga. Tidak perlu emosi ketika menghadapi kritikan, bahkan hujatan, dari para vokalis. Karena ini adalah konsekuensi logis dari demokrasi sebagai pilihan dalam mengelola negara.
Kran-kran demokrasi, ketika dibuka, semuanya akan berjalan secara transparan. Para pejabat Negara, mulai dari presiden, gubernur, bupati dan walikota, dipilih oleh dan digaji oleh rakyat lewat APBN/APBD. Jadi wajar jika para pejabat itu melayani rakyatnya dengan sepenuh hati. Rakyat pun berhak untuk bertanya, bahkan mengkritik para pemimpin. Mekanismenya bisa melalui parlemen, media, unjukrasa, seminar dan diskusi. Itulah saluran-saluran yang ada di negeri demokratis.
Para pejabat Negara yang jujur, sejatinya akan senang hati ketika menerima masukan dari orang-orang atau lembaga di luar pemerintahan. Mengapa, karena biasanya mereka yang berada di luar pemerintahan melakukan kritik bukan sekedar kritik, tetapi memang diniatkan untuk memajukan dan memperbaiki kinerja pemerintahan, baik pusat maupun daerah, agar bisa maksimal melayani rakyat.
Jika para pejabat itu berjalan secara lurus, tidak korup, tidak nepotisme, mestinya bisa menerima kritikan atau masukan dari masyarakat. Tetapi akan terjadi sebaliknya, jika para pejabat itu cenderung korup. Mereka akan sangat alergi jika menerima kritikan.
Di negeri yang banyak masalah ini, sebutlah kasus Asuransi Jiwasraya, Asabri, Dana Haji, dan seterusnya, karena menyangkut pengelolaan dana masyarakat, maka seyogyanya dibuka secara transparan. Begitu pula tentang penegakan hukum yang cenderung tebang pilih, ketika ada kritik bahwa hukum tajam ke bawah dan mereka yang oposan, tidak perlu membuat pihak-pihak yang dikritik merah. Cobalah introspeksi. Jika benar kritikan itu, perbaikilah, jika kritikan tersebut tidak benar, maka jawablah secara proposional.
Bagi para pejabat yang tipis telinganya, tentu mensikapi berbagai kritikan para vokalis akan merasa terganggu. Lalu, jurus-jurus pun dilakukan. Ada jurus ancaman, ada jurus membalas dengan membongkar aib para vokalis tersebut. Jika jurus memukul tidak berhasil, maka yang dilakukan adalah jurus merangkul.
Caranya, anak, istri atau kerabat terdekat dari para vokalis tersebut didekati dan diiming-imingi dengan jabatan sebagai komisaris maupun eksekutif di BUMN/BUMD, dan diberi jabatan-jabatan lain yang akan membuat si vokalis tidak lagi mengkritik kebijakan-kebijakan sang pejabat.
Jika para keluarga vokalis itu menerima tawaran-tawaran yang cukup menggiurkan secara duniawi ini, maka selesailah ke-vokal-an sang kritikus. Dan jika itu yang terjadi, maka api demokrasi di negeri ini mulai meredup. (HMJ)