Wabah Covid-19 tidak hanya membunuh manusia, tetapi ia juga menumbangkan orang-orang dari pekerjaannya. Setidaknya 1,6 juta orang di PHK di Indonesia. Solidaritas sosial semua komponen anak bangsa, diuji.
Pak kasir, 45 tahun, hanya duduk termenung. Kolam renang dimana ia bekerja selama puluhan tahun di kota Depok, Jawa Barat, itu, sudah 2 bulan terakhir ini ditutup. Ia, bersama 5 orang karyawan lainnya dirumahkan, dan tidak mendapat penghasilan sebagaimana mestinya. “Tidak bekerja, ya tidak ada penghasilan,” katanya, lirih, dari suara yang terdalam.
Sudah dua bulan Kasir bersama teman-temannya tidak bekerja, tidak berpenghasilan, tetapi tetap butuh makan. Untuk makan sehari-hari, meskipun ada bantuan dari masjid sekitar, berupa sembako, belum bisa menyelesikan persoalannya seratus persen.
“Kalau untuk makan, alhmadulillah, dapat bantuan dari masjid,” akunya, dengan mata berlinang. “Tapi, kebutuhan kan bukan hanya sekedar makan-minum,” jelasnya, kali ini air matanya benar-benar berjatuhan. “Kami butuh bayar listrik, butuh bayar air, butuh bayar keperluan sehari-hari yang sifatnya cash,” lanjutnya. Ia sudah berikhtiar kesana-kemari, tetapi memang pintu-pintu pekerjaan sedang ditutup atau tertutup.
Kasirin tidak sendirian. Orang-orang yang mengalami nasib seperti dirinya itu, sampai pekan ini jumlahnya mencapai 1,6 juta. Gelombang PHK akan semakin bertambah seiring dengan panjangnya masa PSBB yang belum tahu sampai kapan akan berakhir.
Gelombang PHK itu terjadi disebabkan karena tidak jalannya roda perekonomian sebagaimana mestinya. Ketika pabrik, kantor-kantor, berbagai bidang usaha dibatasi, hal itu akan melambatkan roda perekonomian. Hampir semua sektor terhenti, masyarakat tidak bisa bebas beraktivitas sebagaimana di masa-masa normal. Tentu saja, suasana seperti ini membuat pabrik dan kantor-kantor tidak bisa berproduksi dan karyawannya tidak produktif. Para karyawan dirumahkan, dalam batas tertentu, ketika pemilik usaha tidak mampu lagi menggaji mereka, maka PHK adalah alternative yang diambil.
*
PSBB yang mulai berlaku pada 10 April lalu di Jakarta, lalu disusul dengan Kabupaten dan Kota Bekasi, Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tengerang, Kota Tengarang, serta Kota Tangerang Selatan, telah menyebabkan gelombang PHK baru. Selama pelaksanaan PSBB sepekan di Jakarta Selatan, tercatat 5.000 orang di PHK, lebih dari 10.000 tenaga kerja dirumahkan. Ini diluar angka 1,6 juta orang Indonesia mengalami PHK sebagaimana dipaparkan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, beberapa hari lalu.
Persoalan yang muncul adalah, dunia usaha bertumbangan, PHK terus memakan korban, sementara PSBB tidak jelas kapan akan berakhir. Di Jakarta misalnya, moda angkutan umum masih saja ramai dipadati penumpang. Commuter dari berbagai jurusan menuju Jakarta juga masih ramai. Lalu, ada wacana commuter tidak beroperasi. Sementara pabrik, kantor dan toko-toko yang melanggar aturan pemberlakuan PSBB akan diberi sanksi.
Meskipun sudah memakan korban PHK, rakyat miskin bertambah, tetap saja PSBB tidak terukur. Jika pilihannya lockdown, urusannya akan lain. Yang pasti, lockdown akan terukur, dengan aturan yang ketat. Konsekuensinya, pemerintah harus menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, berupa makan-minum.
Jika pemerintah tidak mampu, jangan malu-malu untuk mengakuinya, dan ajak para pengusaha dan segenap unsur masyarakat untuk ikut memberikan bantuannya. Inilah masalahnya. Pemerintah sebenarnya sudah tidak mampu jika harus menanggung beban semua rakyatnya, tetapi malu untuk mengatakannya. Lalu dipilihlah opsi PSBB yang kita tidak tahu sampai kapan akan berakhir. Baik PSBB maupun lockdown, sama-sama membuat sengsara masyarakat. Tetapi lockdown itu terukur, sedangkan PSBB (apalagi jika pelaksanaannya tidak ketat) menjadi tidak terukur, dan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan.
Mari bersama-sama mengambil sikap tegas, dan bersama-sama memikul beban untuk meringankan mereka yang kurang berkemampuan secara finansial. (HMJ)