Penderitaan rakyat akibat Pandemi Covid-19 ditingkahi dengan munculnya RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila) dimana Tap MPRS No 25 tahun 1966 tak lagi dicantumkan. Mau kemana Republik ini akan berlayar?
Sepanjang pekan ini, demo tentang penolakan pembahasan tentang RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP) terus menggurita. MUI Pusat dan MUI di 34 Provinsi dengan tegas menolak. Umat Islam pun turun ke jalan, di tengah Pandemi Covid-19 yang masih juga belum surut ini.
RUU HIP adalah inisiatif dari DPR-RI, khususnya dari PDI-P. Jika RUU itu diinisiasi oleh DPR, maka materi usulan tersebut juga disampaikan ke pemerintah. Oleh pemerintah, nanti akan dipelajari, dikoreksi, diperkaya, lalu dari hasil masukan dan koreksi itu dilemparkan lagi ke DPR untuk dibahas lebih lanjut yang berakhir pada rapat paripurna DPR-RI.
Tetang RUU HIP, menurut Menko Polkam Machfud MD, pemerintah sudah dikirimi materinya, tetapi belum pernah dibahas di lingkungan internal pemerintah. Dari sekian item yang disoal oleh umat Islam, satu yang menjadi keberatan paling berat. Yakni, hilangnya Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966, tentang: Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunis/marxisme-Leninisme.
Inilah yang memicu dan mengaduk-aduk emosi umat Islam. Peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, dimana para kiai dan santri dibantai, lalu G 30-S/PKI tahun 1965 dimana para jenderal disiksa lalu dimasukkan ke lubang buaya dalam keadaan hidup-hidp, adalah fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan begitu saja.
Siapa pun aktor dibalik penyiapan RUU HIP, mestinya diusut, karena ia telah dengan sengaja menghilangkan Ketetapan MPRS No XXV Tahun 1966 tersebut. Apa efek dari dihilangkan ketetapan MPRS tersebut? Ada dua hal yang cukup mendasar.
Pertama, dengan dihilangkannya Ketetapan MPRS No XXV/1966 tersebut, maka idiologi Komunis atau partai Komunis bisa hidup kembali di Indonesia. Jika partai Komunis hidup kembali, maka itu artinya pemerintah mengakui bahwa ada kesalahan yang telah diperbuat oleh pemerintah di masa lalu. Jika pemerintah mengakui kesalahan pemerintahan masa lalu, maka pemerintah saat ini mesti meminta maaf kepada keluarga-keluarga PKI. Karena pemerintah mengakuiadanya kesalahan masa lalu,maka para keluarga PKI berhak meminta ganti rugi, baik material maupun non-material. Inilah yang diperjuangkan oleh orang-orang komunis sejak awal Reformasi, Mei 1998. Tetapi, usaha mereka, sejauh ini selalu mengalami kegagalan.
Kedua, adanya revisi sejarah. Dihapuskannya Ketetpan MPRS XXV/1966 tersebut berdampak pada adanya revisi sejarah. Bahwa sejarah PKI, dari peristiwa Madiun 1948 sampai 1965, bukanlah pemberontakan. Maka, buku-buku sejarah di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah tidak akan lagi dicantumkannya pemberontakan Madiun dan 1965. Jika pun masih dicantumkan, maka judlnya akan diubah. Bukan pemberontakan, tetapi koreksi atas jalannya revolusi. Dan peristiwa pembantaian 30 September 1965 diberi judul adanya Dewan Jenderal. Semua akan diputarbalikkan. Pertanyaannya, apakah TNI akan menerima begitu saja revisi tersebut?
Lalu, bagaimana dengan korban-korban para kiai dan santri dalam peristiwa pemberontakan 1948? Inilah yang membuat umat Islam tidak terima begitu saja. PKI telah dua kali berkhianat kepada NKRI, pada titik inilah ia berusaha untuk memutarbalikkan fakta yang sebenarnya.
Itulah yang hendak disasar oleh kaum komunis, yang sekarang diperjuangkan oleh generasi anak-anak dan cucu-cucu mereka, untuk merebut republik ini. Di tengah Pandemi Covid-19, ketika pemerintah-rakyat sedang berjuang melawan virus yg tak nampak itu, RUU-HIP seakan-akan menusuk dari dalam. (HMJ)