Saya garuk kepala saat lihat Ichsanuddin Noorsi ngobrol dengan Helmy Yahya soal bahayanya thermogun.
Tidak percaya, bahwa dua orang terpelajar ini kehilangan akal sehat. Ichsanuddin Noorsi bahkan mengatakan dibodohi thermogun, sambil menutup obrolan itu dengan tawa. Kita tahu kualitas dua orang ini, dan pernyataan mereka viral, meskipun akhirnya pernyataan itu patah setelah banyak ilmuwan mengomentari video yang sudah viral itu.
Mengapa orang pintar sekelas mereka bisa berlaku sembrono? Ichsanuddin Noorsi pakar ekonomi, semua analisa pasti harus teliti dan jeli. Sedangkan Helmy Yahya, tanpa sadar tidak menjadi gate keeper yang baik, malah terkesan jadi produser berita itu.
Helmy, mantan Dirut TVRI, harusnya punya sense yang cukup untuk tahu bahwa peryataan itu perlu dibuktikan. Sudah lama kita ‘kumpul’ dengan hoaks, namun kita seperti menjadi bulan-bulanan berita yang model beginian.
Sikap waspada saat menerima berita harusnya sudah menjadi sikap yang nempel pada pribadi kita, sehingga tidak mudah forward hal-hal mencurigakan dan yang belum jelas.
Tapi kadang, kita juga sangat senang diprovokasi hoaks yang menganjurkan untuk diviralkan, padahal belum jelas, benar dan salahnya.
Mari kita cari masalahnya, mengapa banyak orang pintar termakan jebakan hoaks, dan publik yang di bawahnya menjadi agen sebaran yang efektif karena melihat sosoknya. Lingkaran setan inilah yang membuat hoaks susah diberantas.
Kita harus membedakan hoaks menjadi dua jenis. Hoaks yang tersebar karena memang kesalahan atau hoaks yang memang diciptakan. The Guardian pun mengetengahkan sebuah penelitian psikologis yang menyatakan bahwa orang pintar pun banyak yang dibodohi oleh berita model seperti ini.
Kadangkala, hoaks secara cerdik dirancang untuk menembus penalaran analistis yang cermat. Maka tak heran jika banyak orang tergelincir di bawah sadar mereka. Bahkan pada orang-orang pintar sekali pun.
Mereka melakukan ini dengan sikap yang miskin logika. Dan saat hoaks itu muncul di komunitas yang lebih besar, maka sikap menjadi herolah yang muncul.
Penilitian tentang betapa naifnya siswa-siswa terpelajar pun diuji. Penelitian dilakukan Norbert Schwarz dari University of Southern California. Menanyakan kepada siswa dengan pertanyaan “berapa banyak binatang yang masuk ke dalam bahtera Musa?”
Norbert hanya menemukan 12 persen responden yang menjawab benar, yakni “tidak ada” (karena memang tidak ada bahtera dalam kisah Musa, bahtera merupakan kisah Nuh). 88 persen selebihnya salah!
Banyak orang cenderung tidak fokus pada detail terutama ketika sebuah pertanyaan terasa lancar “mudah diproses.” Menurut Norbert, ini ada kaitannya dengan sifat orang-orang yang ‘kikir kognitif’, kondisi di mana individu memiliki kemampuan otak yang baik namun enggan menerapkannya.
Kognitif sendiri adalah kemampuan manusia untuk menalar logika. Tidak hanya itu, ada kondisi-kondisi tertentu yang dapat membuat banyak orang tertipu oleh hoaks.
Menurut para ahli, semakin banyak seseorang mendengarkan ide, semakin besar kemungkinan seseorang mempercayai ide tersebut sebagai hal yang benar. Dan adanya Efek Barnum dalam ilmu psikologi, efek Barnum merupakan fenomena yang terjadi ketika individu percaya bahwa deskripsi kepribadian berlaku khusus untuk orang (lebih daripada orang lain), meskipun fakta bahwa deskripsi sebenarnya diisi dengan informasi yang berlaku untuk semua orang.
Efek Barnum dapat menyebabkan orang mudah tertipu karena berpikir bahwa informasi tersebut hanya tentang dirinya. Efek barnum bekerja paling baik dalam pernyataan positif. Inilah mengapa pesan hoaks sering kali mengandung kalimat-kalimat positif untuk pembacanya.
Misalnya seperti ini; “Orang lain mungkin tidak pernah berpikir tentang hal (positif) ini, tetapi tidak dengan Anda.” Dengan efek itu, kita seakan-akan benar-benar special dan menjadi ‘pemain utama’ dalam koridor penyebaran hoaks itu.
Namun University of Liecester dalam penelitiannya yang dilansir Science Daily memberi garis bawah bahwa orang-orang yang mudah tertipu itu adalah hanya orang-orang yang hidupnya sulit.
Kesulitan itu macam-macam bentuknya, dan mereka lebih mudah mempercayai info yang salah. Jadi, dari sini kita menemukan jawaban mengapa kita mudah ikut arus hoaks? Mungkin karena hidup kita semakin sulit. (Aza)
* CEO MediatrustPR