Oleh: Masayu Indriaty Susanto
Sepuluh tahun lalu, Ustad Abdul Somad (UAS) adalah seorang dosen di UIN Sultan Syarif Kasim Riau, yang rutin mengisi tausiyah di Masjid An Nur. Sebuah masjid megah berkubah biru di jantung Kota Pekanbaru.
Kajiannya sederhana, lugas, tapi tegas. Sarat dengan humor-humor segar. Tema-tema popular disampaikan UAS dengan gaya bahasa yang membumi. Dakwahnya langsung menarik perhatian jamaah masjid.
Namun, saat itu, jamaah yang mengikuti kajian UAS hanyalah warga seputaran kota Pekanbaru. Adalah tim Tafaqquh yang kemudian membuat rekaman suara tausiyah UAS, lalu mengunggahnya di laman facebook. Rekaman suara yang hanya diambil dengan handy recorder itu, ternyata mendapat respons luar biasa.
Satu tahun kemudian, Tafaqquh membuat kanal di Youtube @tafaqquhvideo yang rutin mengunggah rekaman video tausiyah UAS. Video pendek dengan konsep tematik yang segera menjadi viral. UAS pun makin tenar.
Namun, dalam sebuah videonya, sang ustad malah mengaku iri dengan anak-anak muda yang telah mempublikasikan dakwah beliau. “Kalau saya tausiyah di masjid, jamaah yang menyimak paling hanya ratusan orang. Tetapi begitu diunggah di medsos, yang menonton tausiyah saya sampai ribuan! Jadi bayangkan saja, betapa banyak pahala mereka yang sudah mengunggah tausiyah saya di medsos itu,” ujar ustadz alumni Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, ini.
Praktik jurnalisme, menulis, melaporkan, dan menyebarkan dakwah dan pemikiran para pemikir dan pendakwah Islam, sudah digunakan sejak lama. Bahkan sejarah Islam meriwayatkan, Nabi Nuh AS lah sebagai pencari dan penyebar berita pertama. Dan bahtera Nabi Nuh sebagai “kantor berita” pertama di dunia.
Sejarah juga telah membuktikan, masa-masa kecemerlangan Islam menerobos zaman dan abad, melintasi benua dan samudera, terbangun berkat kerja keras berangkai dan berantai dari para jurnalis Islam.
Pikiran dan jiwa mereka yang disinari cahaya hidayah Islam, mendorong tangan mereka untuk “menarikan” pena di atas kertas.
Berbagai karya besar dan fenomenal pun terlahir di berbagai bidang. Filsafat, budaya, seni, sains, teknik, kedokteran, dan lainnya. Yang hingga kini masih bisa dinikmati dan menjadi sumber inspirasi umat.
Di bidang filsafat, ada nama besar AL Kindi, Al Farabi, Al-Ghazali, dan Jamaluddin Al-Afghani.
Al Farabi dikenal sebagai “Bapak Musik” dalam sejarah Islam. Bukunya “Musiqa Al-Kabir” menjadi karya musik paling fenomenal abad pertengahan, dan menjadi ciri khas musik Arab sampai sekarang.
Ibnu Sina, dengan bukunya “Alqanun Fit-Thib” yang diterjemahkan sebagai “Peraturan-Peraturan Kedokteran”, membuat Islam dikagumi dunia di bidang kedokteran. Al Bitani dan Al-Biruni adalah jurnalis islam yang terkenal di bidang astronomi.
Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni, atau dikenal dengan Al-Biruni, bahkan dijuluki “Ustadz fil Ulum” atau “guru segala ilmu” oleh banyak sarjana muslim maupun non muslim di masa itu.
Jurnal The Unesco Courier edisi 1974 memuji Al Biruni sebagai “The Extraordinary Genius of Universal Scholar”, seseorang dengan kecerdasan yang melampaui batas zamannya.
Itu karena Al Biruni adalah seorang astronom, matematikawan, fisikawan, ahli geografi, sejarawan, linguis, etnologis, ahli farmasi, penyair, filsuf, novelis, dan penulis yang sudah menghasilkan karya 180 buah judul buku.
Banyaknya jurnalis-jurnalis Islam dengan karya besarnya di berbagai bidang itulah, yang kemudian mengantarkan peradaban Islam sebagai peradaban utama dunia. Islam hadir sebagai bagian dari intelektualitas dan modernisasi pada zaman emas itu.
Dakwah Perjuangan Umat Terjajah
Di Indonesia, Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka sering disebut sebagai “Bapak Pers Islam Indonesia”.
Sastrawan, politikus, penulis dan ulama yang terpilih sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini, memang sejatinya adalah seorang jurnalis.
Buya Hamka mengawali karir jurnalistiknya pada 1920-an, di Medan. Pendiri perguruan Al Azhar ini bekerja untuk surat kabar Pewarta Deli. Hamka juga pernah menjadi wartawan beberapa surat kabar lainnya, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.
Lewat berbagai tulisannya, baik di surat kabar, buku ilmiah, maupum novel, Buya Hamka menyebarkan dakwahnya. Tulisannya juga diwarnai banyak kritik sosial, terutama tentang adat dan kebiasaan di kampung halamannya, Sumatera Barat, yang dianggapnya tidak sesuai dengan syariat Islam.
Meski berpendidikan formal hanya sampai kelas dua SD, Buya Hamka telah menghasilkan 113 judul buku. Beberapa di antaranya dicetak ulang berkali-kali. Magnum opus-nya, Tafsir al-Azhar (5 jilid) ditulisnya saat sakit dalam tahanan pemerintahan orde lama.
Universitas Al Azhar Kairo dan Universitas Kebangsaan Malaysia kemudian menganugerahi Hamka yang ideolog Muhammadiyah ini, gelar doctor honoris causa. Universitas Moestopo Jakarta mengangkatnya sebagai guru besar.
Meski telah wafat, namun sampai sekarang, berbagai pemikiran Buya Hamka masih bisa dinikmati dan dipelajari lewat berbagai tulisan, film, dan buku karyanya yang inspiratif.
Selain Buya Hamka, tokoh pers Islam yang juga popular pada masa perjuangan yakni HOS Cokroaminoto. Tokoh yang dijulkuki “Guru Para Pendiri Bangsa” dan mentor bagi Proklamator RI Ir Soekarno ini, adalah jurnalis harian Oetoesan Hindia di Surabaya.
Tulisan-tulisannya banyak menggelorakan dakwah, perjuangan melawan penjajahan, bahkan melawan feodalisme yang menjadi bagian dari keluarganya sendiri yang priyayi Jawa.
Tabayyun Itu Penting
Berkembangnya jurnalisme Islam tak lepas dari nilai-nilai islami yang menjadi ruh dari karya-karya itu sendiri. Yaitu, berdasarkan kebenaran, dan menjadikan Alquran dan hadis sebagai sumber kebenaran tertinggi.
Jurnalisme Islam juga dilaksanakan dengan metode bi al-mau’izhah al-hasanah. Yaitu pendekatan yang baik. Jurnalisme dalam perspektif Islam mengenal 4 prinsip dasar yang menjadi aturan main yang harus dipegang teguh.
Yaitu konsep kebenaran (haq), tabligh, maslahah dan wasatiyyah. Kebenaran (haq) digali dari ajaran Islam yang melarang untuk mencampurkan yang benar (haq) dengan yang salah (bathil).
Konsep kedua adalah tabligh. Menyebarkan kebenaran dan kebaikan kepada publik. Hal ini bisa disebut juga dengan positive journalism.
Sebuah karya yang mempromosikan sikap positif pada publik, dan mendorong untuk berbuat kebaikan. Prinsip ini menyatu dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar.
Prinsip ketiga adalah maslahah, yang maknanya mencari kebaikan untuk publik. Dan mengajarkan agar kita mencegah keburukan dengan tangan, lidah, atau terakhir hati, sebagai tanda selemah-lemah iman.
Terakhir adalah wasatiyyah, yang berarti moderat dan adil. Konsep ini diimplementasikan sebagai impartiality (ketidakberpihakan) dan fairness (keberimbangan), dalam jurnalistik universal dikenal dengan istilah cover both side .
Jurnalisme Islam juga sangat mengedepankan tabayyun, mencari kebenaran akan suatu berita yang akan ditulis. Dalam kode etik jurnalistik, tabayyun dikenal dengan istilah check and recheck.
Selain itu, konsep keumatan dalam jurnalisme Islam juga melampaui nasionalisme, suku, ras, kasta, maupun gender. Juga tak terbatas jarak dan waktu. Namun melayani kepentingan seluruh umat. Semua insan manusia yang berserah diri. Muslim. (aza)
* Masayu Indriaty Susanto: mantan praktisi jurnalistik