Dua anak bermasalah dengan hukum akibat memarodikan lagu Indonesia Raya. Seketika dunia maya dipenuhi dengan nada keprihatinan tentang semangat cinta Tanah Air atau nasionalisme generasi muda. Menggubah ulang lagu kebangsaan dengan lirik yang merendahkan, dinilai bagaikan dosa tak terampunkan. Keinginan untuk membawa kedua anak berumur belasan tahun itu ke ranah pidana pun deras mengalir.
Perilaku tak baik kedua anak itu memiliki kemiripan dengan perbuatan seorang remaja berusia enam belas tahun, berinisial RJ, yang tinggal di Kembangan Jakarta Barat. Pada Mei 2018 silam, di akun media sosialnya, RJ mengeluarkan ancaman akan menembak sambil menunjuk-nunjuk foto Presiden Jokowi.
Tidak hanya penyerangan verbal terhadap kepala negara, dari sudut pandang psikologi ancaman pembunuhan sedemikian rupa merupakan hal serius. Namun hingga kini tidak ada kejelasan tentang bagaimana perjalanan kasus itu berikutnya. Apa yang dilalui RJ pasca melakukan kegemparan itu, tidak pernah terberitakan di media massa.
Kelakuan memarodikan lagu kebangsaan, seperti juga tingkah laku RJ, memang tidak patut dipersepsikan sebagai lelucon belaka. Muatannya sangat tidak lucu. Para pelakunya tidak patut ditiru dan sudah sepatutnya dijatuhi tindakan. Pertanyaannya, haruskah tindakan yang diberikan kepada para pelaku berupa hukuman pidana?
Secara aneh, kecaman yang mempersoalkan sisi nasionalisme warga negara tidak pernah dikenakan kepada mereka yang berbuat pidana lainnya. Padahal, merujuk Suhaimi (2005), terdapat sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk menilai seberapa jauh rasa cinta Tanah Air telah menguap dari sanubari masyarakat, yaitu tingkat kejahatan, perusakan fasilitas publik, pembajakan musik, dan korupsi.
Jadi, ketika dua anak pembuat parodi tadi dijuluki sebagai pelaku pidana dan tuna nasionalisme, para orang dewasa yang melakukan kriminalitas dengan bobot jauh lebih serius justru disebut hanya sebatas sebagai pelaku pidana. Fakta bahwa perbuatan mereka merupakan tusukan langsung terhadap berbagai sendi kehidupan bernegara dan berbangsa, serta memorak-porandakan berbagai sumber kesejahteraan masyarakat, justru tidak pernah dinarasikan di publik sebagai kondisi tuna nasionalisme. Apalagi dijadikan sebagai unsur pemberatan sanksi pidana.
Multidimensi
Lalu, bagaimana dua anak pembuat parodi tadi sebaiknya diperlakukan? Sejumlah hasil penelitian patut dibaca seksama untuk memahami dinamika rasa cinta Tanah Air di kalangan anak dan remaja.
Pertama, terdapat ikatan erat antara kegemaran bidang studi sejarah di sekolah dan patriotisme para anak didik. Dangkalnya rasa cinta Tanah Air dialami siswa sebagai akibat kurang mampunya para pendidik, terutama guru sejarah, dalam menanamkan nilai patriotisme ke dalam diri anak didik.
Guru mengantarkan pelajaran sejarah sering semata sebagai kumpulan informasi yang disampaikan secara kronologis. Sasaran pengajaran adalah kognisi, terutama daya ingat siswa.
Karena sebatas menyasar dimensi kognisi siswa, topik bahasan sejarah cenderung menjadi linear dan peristiwa sejarah terpotret hanya satu sisi. Penyampaian materi sejarah seperti itu mengesampingkan pentingnya dimensi afeksi (perasaan) siswa. Padahal, ilmuwan menyarankan, pelajaran sejarah seharusnya diantarkan sebagai diskursus pro dan kontra.
Dengan membingkai peristiwa sejarah ke dalam sejumlah interpretasi, perasaan siswa—sebagai dimensi terpenting dalam perubahan perilaku—akan lebih terlibat. Inilah pendekatan yang sepatutnya bisa dipraktikkan agar proses penyemaian dan penyerapan nilai-nilai, bukan hanya penghapalan pengetahuan, dapat berlangsung lebih efektif pada pelajaran sejarah.
Kedua, perbedaan rasa patriotisme pada diri anak-anak ditentukan oleh latar budaya, peran orang tua (keluarga), dan pengaruh sosial yang menaungi kehidupan anak.
Pada sisi inilah, ketiga, terdapat sekian banyak faktor yang menghambat merekahnya jiwa nasionalisme generasi muda kita. Yaitu, realitas sosial yang sering tak menentu, kehidupan masyarakat di bawah standar, dan rendahnya kepercayaan pada para pendidik dan sebagainya. Terlebih di masa saat anak-anak lebih berlama-lama di dunia maya daripada di dunia nyata, pasokan informasi yang disantap anak-anak pun jelas sangat kuat pengaruhnya terhadap meredupnya kecintaan anak-anak pada nusa bangsa mereka.
Sejumlah hasil riset tersebut memperlihatkan nasionalisme tidak bersumber dari satu faktor saja. Nasionalisme merupakan perpaduan dari berbagai faktor. Dengan konteks sekompleks itu, sungguh tidak tepat apabila masalah parodi lagu kebangsaan dan peristiwa-peristiwa serupa lainnya yang dilakukan anak-anak ditangani secara hitam putih layaknya perkara pidana.
Kontraproduktif
Proses pidana, yang berujung pada vonis bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa (anak berkonflik dengan hukum), saya khawatirkan terlalu sederhana dan berisiko kontraproduktif. Disebut terlalu sederhana, karena menempatkan anak sebagai satu-satunya pihak yang menerima tudingan sekaligus satu-satunya pihak yang harus menjalani intervensi.
Selain itu, juga dikatakan kontraproduktif, karena pemidanaan dapat membuat pelaku merasa takut. Perasaan cinta mendorong manusia, tak terkecuali anak-anak, untuk mendekat. Sedangkan perasaan takut akan mendorong anak-anak untuk semakin menjauh bahkan melawan. Karena tujuan intervensi adalah menyuburkan rasa cinta Tanah Air, maka bukannya perasaan takut, melainkan perasaan cintalah yang harus semakin dipupuk.
Ladang bagi tumbuh suburnya perasaan positif tersebut, mengacu uraian sebelumnya, tersedia di rumah, sekolah, dan masyarakat. Di dunia nyata dan dunia maya sekaligus.
Pelik, memang. Namun saya yakin, pemberian intervensi multidimensional kepada anak-anak pembuat parodi akan mendatangkan hasil yang jauh lebih menjanjikan daripada mengirim mereka ke proses pidana yang justru berdampak mempermalukan, mengisolasi, mengalienasi, dan meningkatkan risiko residivisme anak-anak itu sendiri.
Semoga.
Opini: Seto Mulyadi
Ketua Umum LPAI; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma