Oleh: Ady Amar
Indonesiainside.id, Jakarta–Upaya mengganjal Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, untuk menjabat dua periode, tampak diupayakan terencana dan dengan cara sistemik.
Itu setelah partai Gerindra, Ahad (31/1), memutuskan menolak atas revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang Pemilu. Meski dimungkinkan adanya revisi itu.
Maka partai yang menolak perubahan undang-undang pelaksanaan pemilu serentak 2024 di parlemen suaranya menjadi mayoritas. Itu artinya, Anies yang jabatannya berakhir 2022, akan digantikan dengan Plt Gubernur.
Karenanya, hampir mustahil Anies yang masa jabatannya sampai 2022, itu bisa mencalonkan lagi sebagai gubernur untuk periode keduanya. Itu jika ia lalu didorong untuk mengikuti kontestasi Pilpres.
Dengan menghentikan Anies cukup sampai tahun 2022, berpikir bahwa selama dua tahun, itu sampai tahun 2024, ia akan menganggur dan namanya tidak akan menghias lagi pemberitaan. Anies akan sepi dari pemberitaan.
Anies memang dianggap lawan paling berat untuk Pilpres, maka upaya nganggurkan dirinya dua tahun tanpa jabatan, itu dianggap langkah strategis kubu penolak revisi undang-undang Pemilu.
Dengan jabatan yang berakhir sampai tahun 2022, maka panggung untuk mengekpresikan kerja-kerjanya itu seolah dihentikan. Namanya ingin ditenggelamkan.
Segala cara ditempuh untuk menghentikannya. Itu sah-sah saja, jika itu atas nama undang-undang. Tapi publik melihatnya kasat mata, itu upaya penjegalan, bahkan dengan mengorbankan hak warga Jakarta untuk bisa memilihnya kembali pada periode keduanya.
Dua tahun, jika itu dianggap waktu yang cukup untuk menenggelamkannya, tentu bukanlah waktu lama untuk bisa melupakan prestasi yang diukir Anies Baswedan.
Konsolidasi Lintas Wilayah
Justru menghentikan kiprahnya, dengan cara-cara “kotor”, meski atas nama undang-undang, akan menjadi catatan yang sulit dilupakan publik.
Potensi Anies pantas diperhitungkan, bahkan ingin dihentikan dengan segala cara. Menganggap seakan publik buta mata tak mampu melihat itu semua. Justru dukungan pada Anies akan makin meluas melintasi batas teritorial Jakarta.
Menganggur dua tahun itu justru kesempatan buatnya untuk konsolidasi lintas wilayah. Dua tahun waktu ideal mencipta pendukung militan diseluruh negeri.
Maka mengganjalnya, itu upaya sia-sia. Tanpa disadari, itu sama dengan memberikan “panggung raksasa” padanya untuk memainkan lakon “Raja yang dinanti”.
Menyikapi Anies menjadi lawan, justru menguntungkannya. Tanpa Anies membuat dan menampilkan diri sebagai oposan, label itu sudah ia dapatkan. “Memusuhinya” bahkan “mengeroyoknya” atas nama undang-undang dan kekuasaan, justru akan menguntungkannya.
Anies diuntungkan oleh sikapnya yang tenang, tidak grusa-grusu, penuh perhitungan, tidak mengumbar statemen… dan itu kekuatannya; kematangan emosional.
Anies lebih memilih diam dan bekerja. Para buzzerRp yang “dicipta” mengganggunya tidak dilihat sebagai sesuatu apalagi dikomentarinya. Maka yang muncul simpatisannya dari seluruh pelosok negeri membelanya dengan militan.
Anies Baswedan hanya konsen pada kerja yang terukur dalam diam. Tiba-tiba hasilnya dapat dirasakan warga Jakarta, yang itu bisa dilihat dari seabrek penghargaan yang diraih DKI Jakarta. Tidak saja penghargaan tingkat nasional tapi juga internasional.
Bahkan mengganggunya dengan Tri Rismaharini (Risma), Menteri Sosial, yang menemukan gelandangan di kawasan Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman, dua jalan elit di Jakarta, itu tampak sia-sia. Seperti drama tanpa skenario yang dipersiapkan dengan matang.
Mencoba mengorek-ngorek kekurangan Anies, yang muncul justru sikap simpati. Pada peristiwa “drama gelandangan” itu, lagi-lagi Anies tidak mengomentrai. Justru yang muncul suara netizen memperolok drama settingan itu.
Tidak berlebihan jika muncul pengamat, yang menyatakan sikap obyektivitasnya, jika Pilpres 2024 itu diadakan saat ini, maka Anies lah pemenangnya. Elektabilitas Anies yang tinggi, yang coba dikecil-kecilkan oleh lembaga surveiRp, tidak mampu menyurutkan namanya.
Tampaknya rezim tidak belajar dari kasus pencopotan Anies selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Justru dengan dicopotnya Anies, maka ia memenangi kontestasi Pilkada DKI Jakarta, 2017, mengalahkan petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Maka, mengganjal Anies untuk nganggur, bisa jadi bentuk perulangan saja dari kasus sebelumnya, pencopotan dirinya selaku Mendikbud. Sejarah terkadang kerap dilupakan, tidak dijadikan pelajaran untuk tidak berulang.
Anies Baswedan tidak mustahil akan mencatatkan namanya pada sejarah yang dilupakan itu, sejarah yang malas dibaca dengan baik. Mengandalkan keyakinan hanya pada ilmu siasat, yang dirancang seolah rapi, tapi akan kedodoran pada saatnya.
Alhasil, Gusti Allah ora sare.
Kolumnis, tinggal di Surabaya