Manusia secara naluri adalah makhluk sosial, ‘al-Insan madaniyun bithabi’atihi’, demikian kata Ibn Khaldun yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi.
Oleh: Dr Ilham Kadir MA
Oleh sebab itu, manusia tidak bisa hidup tanpa seorang sahabat, dengan adanya sahabat ia akan menjadi penolong pertama dalam kesusahan, tempat berbagi kelebihan, saling menutupi kekurangan, kawan di kala suka dan duka serta teman dalam berdiam maupun dalam bepergian. Dan yang terpenting, sahabat adalah cermin diri kita, tempat berpantulnya jiwa dan raga kita.
Sahabat berasal dari bahasa Arab, dalam buku kamus “Al-Mu’jam Ma’aniy Al-Jaami'” kata sahabat berasal dari kata kerja “sahiba” atau yang menemani. Bahasa Arab memiliki banyak terminologi terkait sahabat, di antaranya, rafiiq, zamiil, khaliil, shadiiq, jaliis, dan syariik, makna dari setiap kata pada prinsipnya berbeda sesuai kondisi dan keadaan. Namun dalam artikel ini, kita akan fokos meneropong sahabat secara umum berupa orang-orang yang terdekat dalam hidup kita yang bukan dari lingkaran keluarga terdekat, namun memiliki arti penting dalam kehidupan termasuk mampu mengubah cara pikir, pola hidup, hingga kebahagian, kesuksesan atau kesengsaraan dan kegagalan.
Makna Sahabat
Rasulullah telah mengajarkan umatnya terkait pentingnya memilih sahabat. Sampai-sampai agama seseorang dinilai dari sahabatnya. “Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman,” begitu sabda Nabi yang diriwatakan Abu Dawud (4833).
Bahkan, sesama ruh hanya berteman jika saling kenal atau bersahabat. Allah menciptakan ruh dan menciptakan sifat-sifat khusus untuk ruh tersebut. Di antara sifat ruh [jiwa] adalah dia tidak mau berkumpul dan bergaul dengan selain jenisnya, ruh orang-orang baik akan berkawan dengan sesamanya dan begitu pula ruh orang-orang jahat. Rasulullah telah menegaskan dalam sabdanya bahwa, Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang berkumpul [tersusun]. Oleh karena itu, jika mereka saling mengenal maka mereka akan bersatu, dan jika saling tidak mengenal maka akan berbeda [berpisah], Al-Arwah junuudun mujannadah, famaa ta’arafa minha i’talafa, wamaa tanaakara minha ikhtalafa’, (HR. Bukhari). Sabda Nabi lainnya, Al-Mar’u ma’a man ahabba, Setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai.’” (HR. Bukhari, no. 6170; Muslim, no. 2640).
Tidak sampai di situ, Nabi bahkan telah memberi kisi-kisi cara memilih teman dengan memberi merafora sebagai berikut, “Permisalan teman duduk yang shalih dan buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi ia akan memberimu minyak wangi, atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan mendapat bau harum darinya. Adapun tukang pandai besi, bisa jadi ia akan membuat pakaianmu terbakar, atau kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari No. 2101, Muslim No. 2628).
Sahabat yang baik atau buruk tidak cukup sampai di dunia saja, tapi akan terbawa hingga ke akhirat kelak. Inilah yang pernah ditegaskan oleh Nabi, “Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidak ada seorangpun di antara kamu yang lebih bersemangat di dalam menyerukan permohonannya kepada Allah untuk mencari cahaya kebenaran, dibandingkan dengan kaum beriman ketika memohonkan permohonannya kepada Allah pada hari Kiamat untuk menolong saudara-saudaranya sesama kaum Mu’minin yang berada di dalam Neraka. Mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami, mereka dahulu berpuasa, solat dan berhaji bersama-sama kami’. Maka dikatakan oleh Allah kepada mereka, Keluarkanlah oleh kalian dari Neraka orang-orang yang kalian tahu!’ Maka bentuk-bentuk fisik merekapun diharamkan bagi Neraka untuk membakarnya. Kemudian orang-orang beriman ini mengeluarkan sejumlah banyak orang yang dibakar oleh neraka sampai pada pertengahan betis dan lututnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Berkata, Ibnu Mas’ud, Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang pendosa akan mengikuti orang fajir yang lainnya. Dan ia menambahkan bahwa seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya. Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud Alaihis Salam pernah bertitah, Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya. Suatu masa dahulu, Musa bin Uqbah Ash Shuriy tiba di Baghdad dan hal ini disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal lalu beliau berkata, “Perhatikan dimana ia singgah dan kepada siapa dia berkunjung. Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.”
Satu lagi wejangan Abdullah bin Mas’ud layak dijadikan pedoman, katanya, Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah seorang teman dengan siapa ia berteman.” (Al-Ibanah 2/479 nomor 509-510). Umar bin Khattab berkata, Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh maka pegang lah erat-erat, (Quutul Qulub 2/17). Dan, seorang teman akan terbukti kecintaannya kala kita dalam keadaan terdesak dan butuh bantuan, ‘Mawaddah ash-Shadiiq tadzharu waqta diiq’.
Seperti Setan
Tidak semua sahabat baik, ada bahkan banyak sahabat karena kedekatan kita dengan mereka justru mendatangkan malapetaka. Jenis sahabat seperti ini digambarkan dalam sebuah kata bijak, “Jika harta dan kedudukanku banyak, maka semua orang akan mendekat, ketika harta dan jabatan tidak ada lagi, semua orang akan menjauh”. Walau, kata bijak ini boleh pula diambil hikmahnya, sebab bagaimana susahnya jika orang susah didatangi oleh orang susah untuk dimintai bantuan, tentu masalah semakin susah diatasi. Maka, patut bersyukur jika kita dalam keadaan sempit dan susah lalu orang menghindar dari kita untuk meminta bantuan yang tidak bisa diwujudkan.
Bahkan ada sahabat ketika bersama akan memberikan pujian setinggi laingit yang pujian itu sesungguhnya tidak ada pada kita, ketika ia benci karena suatu hal, maka ia meceritakan kejelekan kita setinggi langit, yang mana kejelekan itu tidak ada pada kita. Maka sahabat sesungguhnya tidak hanya memuji tapi juga membimbing, mengarahkan, bahkan mengajar dan menasihati agar kita selalu ada di jalur yang benar. ‘Shadiquka man abkaaka laa man adhakaka’, Teman sesungguhmu adalah yang membuat engkau menangis bukan yang hanya membuat engkau terbahak-bahak.
Pesan inti tulisan ini terkait apa yang menimpa Gubernur Sulawesi Selatan, Prof Nurdin Abdullah (NA) yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) di Makassar, (27/2/2021). Sampai detik ini publik khususnya masyarakat Sulsel masih seakan tidak percaya, gubernurnya ditangkap, diborgol, dipakaikan rompi orange bertuliskan “Tahanan KPK” lalu diberdirikan depan umum sambil disuruh menghadap ke (tembok) belakang, dan diajari baik-baik oleh Ketua KPK, Firli Bahuri bahwa korupsi terjadi karena adanya kekuasaan ditambah kesempatan dan minus integritas. Ia menyebut soal keserakahan dan kesempatan yang juga bisa mendorong seseorang melakukan korupsi. “Bukan berarti setelah mendapat penghargaan [seseorang] tidak akan melakukan korupsi,”. Sambil disorot kamera, seluruh dunia melihatnya, lalu digiring ke mobil tahanan untuk dikerangkeng. Potret ironis, orang besar, dari guru besar diperlakukan seperti itu.
Prof Qashim Matar memberika wejangan begini, “Siapa pun kelak sebagai pelaksana tugas atau pengganti gubernur, agar terhindar dari kesalahan semacam NA, bekerjalah dengan sederhana. Pas dengan tupoksi Anda. Kalau masih sedang, maka berhentilah sekarang bersahabat dengan kontraktor. Juga jangan, atau hentikan, menyuruh orang dekatmu untuk bersahabat dengan kontraktor. Kontraktor-kontraktor itu, tidak semuanya, adalah setan berwujud manusia yang sangat nyata, yang dipikirannya bagaimana proyek diakali dengan cara menyogok penguasa dan [melalui] keluarga/karib/orang dekat [staf]nya. Jika Anda mulai terganggu dan jengkel dengan pihak yang mengingatkan bahaya pada proyek yang ada di bawah kekuasaan Anda, kejengkelan anda itu adalah jalan lurus ke perbuatan korupsi!” (Tribun Timur, 1/3/2021). Wallahu A’lam! (Aza)
Penulis: Dr Ilham Kadir MA., Kolumnis, Dosen Universitas Muhammadiyah, Enrekang.