Bahaya minuman keras (miras) sudah diketahui secara umum. Tidak hanya bagi peminumnya, masyarakat pun terkena imbasnya. Terlebih dalam Islam, keharaman miras sudah sangat jelas.
Oleh: Dewi Murni
Miras menghilangkan akal sehat seseorang, sehingga mabuknya seseorang bisa menimbulkan keonaran, pertengkaran, saling benci, kecelakaan, KDRT bahkan zina dan pembunuhan. Pantaslah bila miras disebut sebagai biang kerusakan.
Bagi umat muslim, miras merupakan perkara dosa dengan keharaman yang tidak bisa ditoleransi. Sedikit atau banyak (takaran yang diminum), hukumnya tetap haram. Saking tegasnya, yang menuangkan dan mengantarkan miras pun ikut menanggung dosanya. Selain itu, tertolak ibadah shalatnya selama 40 hari. Naudzubillah min dzalik.
“Khamar adalah induk berbagai macam kerusakan. Siapa yang meminumnya, shalatnya selama 40 hari tidaklah diterima. Jika ia mati dalam keadaan khamar masih di perutnya, berarti ia mati seperti matinya orang Jahiliyyah.” (HR. Ath-Thabrani. Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1854 menyatkaan bahwa hadits ini hasan)
Maka tak perlu heran, bila umat mendadak ribut. Ramai-ramai tolak investasi miras saat Presiden Joko Widodo mengizinkan dibukanya investasi minuman keras atau miras di empat provinsi di Indonesia. Izin tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken Jokowi pada 2 Februari 2021.
Aturan tersebut menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak. Sejumlah kalangan yang menolak bersikeras bahwa rencana tersebut dapat meningkatkan kriminalitas dan tidak sesuai dengan ajaran agama.
Ormas-ormas keagamaan menjadi pihak yang sangat lantang menolak aturan tersebut. Di antaranya datang dari PBNU, PP Muhamamdiyah hingga MUI. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj menilai seharusnya pemerintah melarang peredaran miras karena sudah ada larangan dari agama. Namun, pemerintah sempat membuka investasi untuk industri miras (yang saat ini perpresnya sudah dicabut). Sementara Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad menegaskan bahwa miras merupakan barang haram bagi umat Islam, baik yang memproduksi, mengedarkan, bahkan yang meminumnya.
Selain itu, Pemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua turut menolak aturan tersebut. Penjabat Sekretaris Daerah Papua Doren Wakerwa mengatakan Perpres tersebut bertolak belakang dengan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 13 Tahun 2015 tentang Pelarangan Miras di Papua (CNN Indonesia, 2/3/2021).
Setelah didesak sejumlah pihak, Jokowi langsung mencabut lampiran Perpres yang mengatur pembukaan investasi miras. Padahal aturan itu baru diteken di lampiran III, tepatnya pada butir 31, 32, dan 33. “Bersama ini saya sampaikan, saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri miras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut,” kata Jokowi dalam siaran pers virtual, Selasa (2/3/2021). (DetikFinance, 3/3/2021)
Alhamdulillah wa syukurillah. Meski begitu, kita tidak boleh mencukupkan diri sampai di situ. Dakwah tetap dilanjutkan sebab meski lampiran Perpres tersebut dicabut, tapi akar masalahnya yakni sistem kapitalisme belumlah dicabut. Sistem kapitalisme sekuler adalah cara pandang yang saat ini dijadikan standar hukum. Dengan akidah sekulernya itu, agama bukanlah pertimbangan pertama dan utama. Justru manfaat yang jadi asasnya.
Tidak dipungkiri, investasi miras memang mendatangkan manfaat besar. Bagi para kapital ini peluang bisnis yang menggiurkan, tidak peduli bagaimana status hukumnya dalam agama. Tidak peduli seberapa besar mudhoratnya, ancamannya dalam syariat. Lagi pula, jika diteliti lagi, yang dicabut bukan Perpres-nya, tetapi hanya lampirannya. Itu pun hanya lampiran Bidang Usaha No. 31 dan No. 32. Adapun lampiran Bidang Usaha No. 44 tentang Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol dan No. 45 tentang Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol tidak dicabut.
Hanya investasi (industri) baru yang dicabut, sementara industri miras yang sudah ada tetap berjalan. Perdagangan eceran dan kaki limanya juga tetap berjalan. Apalagi tidak ada sanksi yang tegas terhadap pelaku yang terlibat dalam investasi miras ini. Sehingga tidak ada sanksi tegas di tengah-tengah bolehnya produksi, distribusi dan konsumsi miras.
Jadi terbukti selama sistem kapitalisme sekuler masih mengakar dan tumbuh di suatu negeri, selama itu pula umat hidup bersama pintu-pintu dosa yang terbuka secara sistematik. Cepat atau lambat kewarasan umat sebagai hamba perlahan hilang. Yang haram menjadi halal. Yang halal menjadi haram. Akhirnya aturan-aturan Tuhan hanya bacaan semata.
Lain halnya sistem Islam. Tidak ada kompromi atau jalan tengah antara yang haq dan batil. Sanksinya pun tegas. Hadd (hukuman) bagi peminum khamr adalah cambuk 40 kali, apabila diperlukan hakim boleh menambah menjadi 80 kali cambukan. Hadd itu bisa meningkat lagi jika pelakukanya masih mengulanginya lagi, yakni boleh dibunuh.
Namun, sebelum sampai pada tahap sanksi Islam punya tahapan pencegahan. Misalnya, penerapan sistem pendidikan yang berasakan akidah Islam. Penerapan sistem ekonomi yang menjaga produksi, distribusi dan konsumsi berjalan atas ruh ketaatan. Penerapan sistem sosial yang melahirkan corak masyarakat yang peduli, aktif saling nasehat menasehati. Semua itu dilaksankan hingga titik maksimal.
Karena itu, sebagaimana kita wajib menolak investasi miras, wajib pula mencabut kapitalisme sekuler dari negeri kaum muslimin. Lalu mengambil seluruh sistem Islam sebagai standar hukum kehidupan, menerapkannya secara kaffah.
Sistem Islam telah terbukti 13 abad lamanya berjaya, dijadikan rujukan segala hukum perbuatan. Bukan hanya terbukti menciptakan kesejahteraan, namun sukses membangun peradaban mulia. Peradaban yang generasinya, pengusahanya, industrinya, lingkungannya, jauh dari miras, narkoba, zina dan segala bentuk maksiat. Masya Allah. (Aza)
Penulis: Dewi Murni, Balikpapan, [email protected]