Konflik Partai Demokrat secara terbuka sudah berlangsung satu pekan sejak digelarnya kongres luar biasa (KLB) oleh kader yang mengusung Moeldoko sebagai ketua umum, di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3).
Sejak itu pula, kader pimpinan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terbelah dua, meski hanya segelintir pengurus yang “mbalelo”. Mereka yang mendukung Moeldoko di KLB Sibolangit juga diklaim AHY tidak sampai 10 persen sebagai pemilik hak suara dalam kongres. (Baca: AHY Jamin 93 Persen Pemilik Suara Sah Demokrat Solid dan Tidak Ikut-ikutan KLB)
Sejak ribu-ribut itu pula, AHY selaku panglima tertinggi partai terus meningkatkan konsolidasi di internal partai dari tingkatan DPP, DPD (tingkat provinsi), hingga DPC (tingkat kabuoaten/ kota). Sementara ke lingkup eksternal, AHY proaktif mendatangi dan menjelaskan posisi keabsahan partai yang dia nakhodai itu ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, serta beberapa tokoh nasional seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. (Baca: AHY Lapor ke Mahfud MD: Wah Ini Tidak Bisa, Kedaulatan Kami Direbut)
Kepada AHY, Jimly meyakinkan bahwa Pemerintah melalui menteri yang berwenang tidak akan semena-mena membubarkan, mengganti, atau mengesahkan begitu saja kepengurusan yang dihasilkan dari KLB Sibolangit yang mengukuhkan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko. (Baca: Saiful Mujani: Kalau Pemerintah Akui KLB Moeldoko, Lonceng Kematian Demokrat Makin Kencang)
Negara sudah mengatur sedemikian rupa mengenai tata cara penggantian kepengurusan melalui Undang-Undang Nomor 11/2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik (Parpol). Belum lagi mengenai aturan internal kelembagaan parpol yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Dalam hal ini, AD/ART yang sah tertuang dalam Surat Keputusan Menkumham No.M.HH-09.AH.11.01 tahun 2020 tentang Pengesahan Perubahan AD/ART Partai Demokrat.
Dua aturan fundamental kepartaian inilah yang menjadi acuan sehingga sampai saat ini, kalangan akademisi dan pihak Pemerintah, masih mengakui DPP Partai Demokrat yang sah adalah kepemimpinan AHY, putra sulung Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Hal itu bisa dilihat dari aturan berdasarkan UU Parpol, yakni:
Pasal 32 pada UU Partai Politik berbunyi:
- Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.
- Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.
- Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian. - Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari. - Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal
dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.”
Pasar 33, berbunyi sebagaia berikut:
- Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai,
penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. - Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
- Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.”
UU Parpol sangat jelas mengatur penyelesaian konflik di semua partai politik. Bahkan mengatur secara detail langkah-langkah yang harus dilalui yaitu dengan berdasarkan AD/ART dan diselesaikan di tingkat mahkamah partai secara final. Jika tidak selesai di tingkat mahkamah partai, selanjutnya diproses di pengadilan negeri, dengan status putusan pertama dan terakhir. Gugatan setelah itu diajukan di tingkat kasasi kepada Mahkamah Agung (MA).
Demikian UU Parpol mengikat tata cara penyelesaian konflik internal sehingga pihak mana pun, dari dalam atau luar partai, tidak bisa seenaknya menguasai apalagi melakukan kudeta, jika tahapan-tahapan dalam UU tersebut tidak dilalui terlebih dulu.
UU Parpol juga menguatkan AD/ART Parpol dalam tata cara penyelesaian konflik internal parpol. Dengan begitu, pengurus partai atau pihak lain yang mengklaim partai tertentu, tidak bisa sewenang-wenang melakukan perubahan, termasuk soal penggantian, pengesahan maupun, pembubaran (demisioner).
Landasan hukum DPP Partai Demokrat sudah cukup dengan kedua aturan hukum tersebut. Sementara secara administrasi, pelaksanaan KLB Sibolangit yang menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum terdapat sejumlah kelemahan dan dapat dinyatakan cacat hukum, sebagaimana pernyataan SBY selaku Ketua Majelis Tinggi Partai. (Baca: Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat: KLB Deli Serdang Tidak Sah dan Ilegal)
Berdasarkan AD/ART Partai Demokrat Pasal 81 ayat 4, KLB dapat diadakan:
- Atas permintaan Majelis Tinggi Partai Demokrat
- Diusulkan sekurang-kurangnya 2/3 DPD Partai Demokrat
- Diusulkan sekurang-kurangnya 1/2 dari jumlah DPC Partai Demokrat
- Usulan DPD dan DPC tersebut harus disetujui Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
“Mari kita uji, apakah KLB ini sah secara hukum? Majelis Tinggi Partai Demokrat yang saya pimpin terdiri dari 16 orang, tidak pernah mengusulkan pelaksanaan KLB sehingga syarat pertama gugur,” ujar SBY.
Syarat kedua adalah KLB diusulkan 2/3 dari 34 DPD Demokrat namun tidak ada satu pun yang mengusulkan KLB sehingga syarat kedua tidak terpenuhi. Syarat ketiga, KLB adalah diusulkan 1/2 dari 514 DPC Partai Demokrat, namun hanya 34 DPC yang mengusulkan atau hanya 7 persen sehingga syarat ketiga tidak terpenuhi.
“Usulan DPD dan DPC itu harus mendapatkan persetujuan Ketua Mejelis Tinggi Partai Demokrat. Saya sebagai Ketua Majelis Tinggi tidak pernah memberikan persetujuan KLB sehingga syarat keempat tidak bisa dipenuhi,” kata SBY.
Berkaca pada Konflik Dua Kubu di Golkar: Aburizal Bakrie Vs Agung Laksono
Kasus dualisme yang tak kalanh sengitnya pernah terjadi dalam kepengurusan Partai Golkar, antara kepemimpinan kubu Munas Bali Aburizal Bakrie dan kubu Munas Anciol Agung Laksono. Konflik berkepanjangan itu diselesaikan dengan berbagai cara mulai dari tingkat Mahkamah Partai, pengadilan negeri, hingga Mahkamah Agung (MA).
Dalam penyelesaian konflik di tingkat Mahkamah Partai Golkar (MPG), kubu Musyawarah Nasional (Munas) Ancol Jakarta dengan ketua umum Agung Laksono dinyatakan menang. Majelis Hakim MPG mengabulkan sebagian permohonan Agung Laksono terkait dualisme partai, Selasa, 3 Maret 2015.
Sebelum diselesaikan di Mahkamah Partai, Aburizal sempat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakbar, kemudian mendaftarkan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), pada Senin 2 Maret 2015. Upaya hukum itu dilayangkan lantaran putusan PN Jakbar menerima eksepsi para tergugat, yaitu kepengurusan Golkar Munas Ancol. Dalam putusannya, Selasa (24/2) PN Jakbar, menolak menjadi pengadil dalam kisruh partai. Hakim dalam amarnya mengembalikan penyelesaian sengketa itu agar diselesaikan lewat Mahkamah Partai (MP). (Baca: AHY Anggap Ilegal, DPD Menolak, KLB Jalan Terus, Moeldoko Jadi Ketua Umum)
Meski begitu, Aburizal Bakrie atau dikenal Kubu Munas Bali, menggugat hingga ke Mahkamah Agung (MA). Selasa, 20 Oktober 2015, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi kubu Aburizal Bakrie dan menyatakan sebagai pengurus Partai Golkar yang sah. Atas kemenangan itu, kubu Agung Laksono legawa dan menerima sebagai proses hukum terakhir dan mengingat.
“Kami dapat menerima dan menghormati putusan Mahkamah Agung. Kami tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali karena itu hanya memperpanjang masalah, kasihan partainya,” kata Ketua DPP Golkar versi Musyawarah Nasional Ancol, Leo Nababan, Selasa (20/10). (Kontan.co.id)
Pengalaman dari Golkar tersebut, penyelesaian konflik atau dualisme kepemimpinan partai berlangsung selama hampir satu tahun. Pihak yang kalah akhirnya menerima dengan lapang dada karena menghormati proses hukum dan kasihan kepada partai yang dilanda konflik selama hampir satu tahun. Begitalah salah satu penyelesaian konflik internal partai yang telah diatur dalam UU Parpol. (Dikutip dari berbagai sumber pemberitaan)
Kudeta Partai
Konflik di Partai Demokrat berbeda dengan kasus dualisme yang pernah terjadi di partai lain. Setiap masa, beda corak dan rasanya. Misalnya, dari konflik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) antara Gus Dur dan Mathori Abdul Jalil lalu berlanjut pada konflik antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar. Kemudian di Partai Golkar, salah satunya, kubu Aburizal Bakrie vs Agung Laksono, konflik PDI yang akhirnya menjadi PDI Perjuangan.
Di internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pernah terjadi beberapa kali konflik antardua kubu. Misalnya, pada 17 April 2009, terjadi konflik antara kubu Suryadharma Ali dan kubu Bachtiar Chamsyah. Namun, selesai dengan fatwa Majelis Pertimbangan dan Syariah PPP. Pernah juga terjadi konflik antara kubu Suryadharma Ali (SDA) dan kubu Romahurmuziy (Romy)-Emron Pangkapi, pada 2014 silam. Kemudian, pada 2016, PPP pecah dua lagi antara kubu Romy vs kubu Djan Faridz. (Baca: Jhoni Allen: Moeldoko Ketua Umum Demokrat, AHY Dinyatakan Demisioner)
Konflik demi konflik yang terjadi di internal partai menjadi proses pembelajaran dengan tingginya dinamika partai. Tak hanya partai-partai yang lahir di era reformasi, Partai Golkar sebagai partai paling lawas pun besar dengan konflik. Namun, dari sejarah konflik partai-partai tersebut, berbeda dengan apa yang terjadi di Partai Demokrat dengan konotasi terjadinya “kudeta” partai oleh pihak eksternal, di mana Ketua KSP Moeldoko juga masih melekat dengan institusi pemerintahan dan dekat dengan lingkungan istana.
Inilah yang dikhawatirkan banyak kalangan, jika akhirnya Moeldoko benar-benar menjadi ketua umum yang sah berdasarkan pengakuan pemerintah melalui Kemenkumham. Meski sepertinya berat dan tidak masuk akal, namun tidak ada yang tidak mungkin. Di sinilah sikap bijak pemerintah dibutuhkan, atau malah membunyikan lonceng kematian demokrasi. (Aza)