Jika Bandung punya Gedung Sate, Palembang punya Kantor Ledeng. Dua bangunan itu sama-sama peninggalan Belanda. Usianya pun nyaris sama, hampir 100 tahun. Sampai sekarang sama-sama dijadikan kantor pusat pemerintahan daerah dan menjadi salah satu ikon kota.
Oleh: Masayu Indriaty Susanto
Namun kini, Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang tengah gencar menjual Kantor Ledeng Palembang. Bangunan kuno itu ditawarkan untuk dikelola pihak swasta. Rencana ini mengejutkan dan memicu reaksi di masyarakat. Betapa tidak. Palembang sudah berkali-kali berganti walikota, tapi baru kali ini ada wacana Kantor Ledeng yang legendaris itu akan dijual ke swasta.
Tokoh sejarah dan budaya segera menyatakan penolakan. Begitu juga tokoh pemuda dan para wakil rakyat di kota tertua di Indonesia itu. Apalagi, Kantor Ledeng bukan cuma bangunan kuno. Tapi juga saksi sejarah Kota Palembang yang telah mengalami kolonialisme berganti-ganti.
Di sanalah dulu, saat kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, para pemuda Palembang dengan semangat membara mengibarkan bendera merah putih di keempat sisinya. Butuh keberanian besar mengibarkan bendera merah putih pada masa itu, apalagi di gedung yang menjadi simbol kekuasaan kolonial.
“Kantor Ledeng itu milik seluruh masyarakat Palembang. Saya jelas menolak jika aset sejarah ikon kota kebanggaan kita itu dikelola swasta. Siapa yang bisa jamin bangunan asli Kantor Ledeng tidak diubah-ubah,” tegas Ir Mgs Syaiful Padli ST, Wakil Ketua Komisi V DPRD Sumsel.
Politikus dari Fraksi PKS ini menambahkan, apa yang diwacanakan Pemkot Palembang untuk menggaet investor disebabkan defisit keuangan bukan menjadi alasan untuk menjual aset bersejarah. Apalagi Kantor Ledeng. “Pemkot Palembang harus kreatif dan melakukan inovasi mencari cara untuk mengatasi defisit. Menjual aset itu jalan pintas saja,” ujar Saiful Fadly yang juga anggota Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam ini.
Pemkot Palembang sendiri memang beralasan, kas kota yang defisit adalah salah satu alasan wacana tersebut. Selain itu, Pemkot Palembang juga berencana membangun kawasan kantor pemerintah baru terpadu, dan butuh biaya besar. Karena itulah, Kantor Ledeng pun diwacanakan akan “dilego” supaya Pemkot mendapat suntikan dana segar.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Palembang, Ahmad Mustain, seperti dilansir idntimes menjelaskan, beberapa aset Pemkot termasuk bangunan sejarah Kantor Ledeng di Jalan Merdeka Palembang, bakal ditawarkan ke pihak ketiga dalam perjanjian Build Operate Transfer (BOT).
“Tapi skema BOT itu tetap akan mempertahankan bangunan asli Kantor Ledeng. Tidak ada yang akan diubah,” katanya. Mustain menambahkan, beberapa pihak yang sudah berminat yakni pengusaha hotel dan perbankan.
Menara Air Belanda
Sejarah Kantor Ledeng memang panjang. Dibangun pada 1929 oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa pemerintahan Walikota Ir R.C.A.F.J. Le Cocq d Armandville. Gedung dengan arsitektur bergaya de stijl itu setinggi 35 meter dengan jejeran tiang berbentuk kotak dan atap datar. Bangunan didesain sebagai menara air (water torren) yang dihubungkan dengan jaringan pipa air bersih (waterleiding).
Arsitek asal Surabaya Ir S Snuijf mendesainnya multifungsi. Bagian bawah dijadikan kantor pusat pemerintahan Belanda di Palembang saat itu. Dan tingkat paling atas digunakan sebagai tempat penampungan air bersih atau air ledeng, dengan kapasitas penampungan 1.200 meter kubik.
Untuk membangun menara air ini, Belanda menghabiskan biaya setara dengan sekitar 1 ton emas. Sampai saat ini, sudah 60 tahun Kantor Ledeng menjadi Kantor Walikota Palembang.
Kehati-hatian dalam pengelolaan Kantor Ledeng juga ditegaskan oleh Tantowi Yahya, Duta Besar Republik Indonesia untuk Selandia Baru. Tantowi yang kelahiran Palembang ini menegaskan, Kantor Ledeng adalah milik semua warga Palembang.
“Kalaupun mau dialihfungsikan, misalnya menjadi hotel, saya mendukung. Namun harus sangat hati-hati. BOT yang dilakukan harus melalui Memorandum of Understanding dengan pasal-pasal detail yang mengikat. Termasuk sanksi-sanksi jika pihak ketiga melakukan pelanggaran, misalnya mengubah bentuk Kantor Ledeng,” ujar mantan anggota DPR RI daerah pemilihan Sumatera Selatan ini.
Tantowi menambahkan, Kantor Ledeng harus sama-sama dijaga dan dikawal oleh seluruh lapisan masyarakat Palembang. Karena itu, segala proses alih fungsi harus dibuka ke publik secara transparan.
Sementara anggota Komisi V DPR RI Ir Eddy Santana Putra menegaskan ketidaksetujuannya jika kantor Ledeng diserahkan ke pihak ketiga. “Bangunan itu aset sejarah. Milik semua warga Kota Palembang. Mana bisa walikota menjual begitu saja, setidaknya harus izin dulu dengan pemilik gedung. Ya semua warga kota,” ujar Eddy Santana yang pernah menjabat sebagai Walikota Palembang dua periode 2003-2013 ini.
Kehati-hatian terhadap sistem BOT juga dilontarkannya. Eddy bahkan menegaskan, Kantor Ledeng adalah salah satu bangunan bersejarah paling berharga di Palembang. Karena itu harus dijaga dan dipertahankan maksimal.
”Sistem BOT itu jangka waktunya lama, 30 tahun. Banyak yang bisa terjadi selama rentang waktu selama itu jika Kantor Ledeng dikelola pihak ketiga,” tegasnya lagi. Eddy Santana menegaskan, jika defisit anggaran yang jadi masalah, Pemkot Palembang sebaiknya mencari jalan lain.
“Menjual” Kantor Ledeng harusnya menjadi alternatif terakhir. Karena gedung itu adalah landmark kota, karenanya harus dipertahankan semaksimal mungkin.
“Kalaupun ingin menjadikannya hotel, ya tidak apa-apa. Tetapi sebaiknya pengelolanya tetap pemerintah daerah. Sehingga kelestarian Kantor Ledeng bisa terjamin,” ujar politisi dari Fraksi Gerindra ini.
Skema BOT atau Bangun Guna Serah (BGS) memang banyak digunakan dalam kerja sama pemerintah daerah demi menggaet investor swasta. Biasanya, untuk mrmbiayai proyek pembangunan dengan jumlah dana besar.
Pemerintah daerah biasanya menjadi pemilik tanah atau lahan, sedangkan yang membangun dan mengelola adalah pihak swasta. Setelah masa konsesi BGS berakhir, biasanya 30 tahun, maka aset akan kembali menjadi milik pemerintah. Tapi BGS ini bisa pula diperpanjang.
Namun, skema ini punya beberapa kelemahan yang banyak merugikan pemerintah. Banyak pembangunan yang mangkrak di tengah jalan. Atau setelah masa konsesi berakhir, aset tersebut kondisinya sudah rusak atau tidak layak.
Karena masa konsesi BGS itu mencapai 30 tahun. Pada akhir konsesi, tentulah pejabat-pejabar daerah telah berganti termasuk pemimpin daerah. (Aza)