Nurdin Abdullah masih menjadi pembicraan di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel). Penangkapan Nurdin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) bisa dipastikan bukan operasi tiba-tiba.
Nurdin selaku Gubernur Sulsel sebelum dinyatakan nonaktif karena menjadi tersangka kasus suap oleh KPK juga bisa dipastikan sudah menjadi target dari banyaknya laporan yang masuk ke KPK. Tak hanya kasus dugaan suap atau korupsi. Nurdin juga ternyata dilaporkan beberapa pihak terkait pengangkatan 193 pejabat, pemberhentian pejabat, serta buruknya manajemen aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemprov Sulsel.
Berdasarkan data, KPK menerima dugaan penyimpangan pada pengangkatan 193 pejabat, pemberhentian pejabat, serta buruknya manajemen ASN di Pemprov Sulsel. Belum lagi kasus pemakzulan oleh DPRD Sulsel. Salah satu poin rekomendasi Pansus Hak Angket untuk pemakzulan Nurdin Abdullah, menyangkut kontroversi SK pengangkatan 193 pejabat. Pada poin ini, Nurdin diduga melawan hukum, perbuatan penyalahgunaan wewenang, pelanggaran prosedur, pemberhentian jabatan pimpinan tinggi pratama, dan manajemen ASN yang berbau KKN dalam penempatan jabatan tertentu.
Banyak pihak tidak percaya atas penangkapan KPK terhadap Nurdin. Soal dugaan ini, mungkin penyidik KPK pun tak menyangka demikian. Namun faktanya, memang ada masalah sebagaimana diketahui dari fakta-fakta penangkapan mantan bupati Bantaeng dua periode ini.
Nurdin diduga menerima total Rp5,4 miliar dari kontraktor yang juga orang dekatnya Agung Sucipto. Dugaan kasus suap ini melibatkan Edy Rahmat, orang dekat Nurdin yang juga Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel. Kemudian, KPK kembali mengamankan uang sekitar Rp1,4 miliar, 10 ribu dolar AS, dan 190 ribu dolar Singapura, dari penggeledahan empat lokasi terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi terhadap Nurdin.
Sampai di sini, Nurdin tetap menyangkal dirinya menerima suap dan gratifikasi. Dia mengaku sejumlah uang yang diamankan dalam penggeledahan itu adalah bantuan masjid. “Itu kan uang masjid ya, uang masjid. Itu bantuan masjid, nantilah kami jelaskan,” kata Nurdin di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (5/3).
Praktisi hukum Rahmat Abdullah SH juga menilai banyak kejanggalan saat penangkapan Nurdin. Menurutnya, penangkapan itu tidak sesuai prosedur dan bukan bagian dari OTT. Diketahui, Nurdin ditangkap dalam rangkaian OTT dan ditetapkan tersangka terkait dugaan suap dan gratifikasi pada Sabtu (27/2/2021).
Uniknya, setelah Nurdin ditangkap, muncul berbagai masalah di masa kepemimpinan Nurdin. Ada proyek Masjid 99 Kubah di Kawasan Center Points of Indonesia (CPI) yang hingga saat ini belum juga rampung. Kemudian proyek pelebaran jalan di kawasan Metro Tanjung Bunga, dan proyek pembangunan Makassar New Port (MNP).
Terkait dengan proyek MNP itu, Forum Komunikasi Lintas (FokaL) NGO Sulawesi megklaim telah melaporkan Nurdin ke KPK terkait adanya dugaan korupsi di megaproyek tersebut. Koordinator Fokal NGO Sulawesi Djusman AR mencurigai proyek strategis MNP sarat unsur KKN karena melibatkan orang-orang dekat lingkaran Nurdin Abdullah.
Yang paling tragis lagi adalah “pembongkaran dan pemangkrakan” Stadion Andi Mattalatta. Tulisan ini membahas masalah stadion yang menyisakan masalah dari berbagai sisi.
Dari Sejarah Gemilang Jatuh dalam Kubangan
Perhatian Nurdin Abdullah terhadap olahraga memang diragukan sebagian kalangan. Khususnya di kalangan Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS) atau manajemen Stadion Andi Mattalatta, yang sebelumnya dinamai Stadion Mattoanging. Keraguan banyak pihak itu terbukti dengan rekam jejak Nurdin di bidang olahraga semasa menjabat sebagai bupati Bantaeng dua periode. Selama sepuluh tahun memimpin Bantaeng, tidak ada bangunan monumental berupa stadion di daerah itu.
Alih-alih memajukan persepakbolaan atau olahraga Sulsel, Nurdin malah membongkar Stadion Andi Mattalatta dengan kekuatannya selaku gubernur. Seteah dibongkar, bangunan mercusuar yang diimpikan malah jadi kubangan air saat hujan tiba. Hingga kini, itulah faktanya di lapangan yang tak hijau lagi tersebut.
Pada tanggal 9 September 2019, Nurdin selaku gubernur Sulsel memerintahkan kepada Kepala Satpol Provinsi Sulsel untuk menertibkan dan mengosongkan kawasan olahraga Andi Mattalatta Makassar. Nurdin berdalih akan membangun dengan anggaran Rp200 miliar. Kemudian, tertunda dengan alasan pembangunannya butuh Rp1 miliar.
Kisah pengambilalihan Stadion Andi Mattalatta dari pihak YOSS pun disertai drama “penggusuran”. Polemik pengelolaan stadion Andi Matttalatta berujung bentrok, Rabu (15/1/2020). Sengketa kawasan stadion Andi Mattalatta Mattoanging antara YOSS dan Pemprov Sulsel menyita perhatian publik.
Wakil Ketua DPD Golkar Sulsel, Muhammad Risman Pasigai, bahkan menilai Nurdin arogan karena merebut kawasan stadion bersejarah tersebut. Pihak Satpol PP tiga kali mengirim surat teguran secara berturut-turut yang intinya meminta kepada pihak YOSS agar mengosongkan stadion. Namun, pihak YOSS menolak karena dua alasan.
Pertama, tanah dan bangunan Komplek Olahraga A.Mattalatta–Mattoanging berasal dan dibangun oleh (alm) Mayjen TNI Purn H Andi Mattalatta yang ketika itu adalah Panglima KDMSST/Penguasa Perang daerah Sulselra, yang dikuasai dan sebagai (Bezitter) sejak tahun 1957 sampai dengan sekarang.
Kedua, YOSS telah menempuh langkah-langkah hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar dan putusan Majelis Hakim telah memenangkan gugatan perkara dengan amar putusan Nomor: 119/G/2019 PTUN-MKS tanggal 11 Mei 2020 bahwa Kompleks Olahraga Andi Mattalatta-Mattoanging secara sah dan tetap dalam pengelolaan YOSS.
Dua fakta itu pun dilanggar Nurdin. Saat proses hukum masih begulir di persidangan PTUN dan Pengadilan Negeri (PN), Pemprov Sulsel malah memerintahkan Satpol PP untuk memasang papan bahwa lahan Kompleks Stadion A Mattalatta adalah milik Pemprov SulSel. Kemudian disusul upaya paksa untuk menduduki dan menguasai stadion tersebut dengan mengerahkan Satpol PP dari Makassar dan Pemprov Sulsel.
Daripada melawan pemerintah, pihak YOSS memilih mengalah. Jalur hukum dianggap paling tepat untuk mempertahankan keberadaan YOSS sebagai pengelola Kompleks Gelora Andi Mattalatta sebagaimana amanah dari Mayjen (Purn) H Andi Matttalatta, pendiri dan yang memprskarsai berdirinya Stadion tersebut tahun 1957.
Pemprov yang dipimpin Nurdin Abdullah membongkar bangunan Stadion pada 21 Oktober 2020. Stadion pun menjadi rata dengan tanah sejak itu hingga sekarang. Di musim hujan, stadion bersejarah ini berubah menjadi kubangan air. Jauh panggang dari api. Nasib Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging kini dalam kubangan sejarah di era Nurdin.
Setelah Nurdin ditangkap KPK, Plt Gubernur Andi Sudirman Sulaimin menyatakan tidak akan meneruskan pembangunan stadion tersebut. Pahit benar. Stadion sebagai benteng kemenangan PSM dari masa ke masa itu kini punah oleh zaman dan keserakahan.
Cita-cita Nurdin memang tinggi. Mimpinya menjulang ke langit. Kepada media lokal Makassar, Fajar.co.id, dia memperlihatkan desain artistik Stadion Andi Mattalatta bertaraf internasional. Nurdin membanggakan beberapa gambar perencanaan stadion, lengkap dengan videonya.
Lebih artistik dengan kapasitas stadion 40.000 penonton. Jauh dari kapastitas bangunan saat ini yang hanya 15 ribu orang. Fasilitasnya pun bintang lima, layaknya stadion bertaraf internasional tanpa meninggalkan kesan hijau di sekitarnya. Meski hanya punya Rp200 miliar, Nurdin inginkan bangunannya berbiaya Rp1 triliun. “Kalau Rp200 miliar itu baru rehab saja. Keingingan kita stadion bertaraf internasional, itu tentu butuh dukungan pusat,” katanya kepada FAJAR di Hotel Mulia Jakarta, Senin, 9 Desember 2019.
Satu tahun lebih sudah berlalu. Mimpi Nurdin meleset. Stadion Andi Mattalatta malah jadi kubangan air. Setelah ditinggalkan Nurdin, pengelolaan seluruh aset Ex-PON antara YOSS kini kembali ke pihak YOSS. Pihak YOSS menang melawan Pemprov Sulsel di PTUN/PTTUN dan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Setelah dibongkar dan dikuasai, lalu ditinggalkan Nurdin, masihkah mimpi itu akan menjadi kenyataan atau tinggal kenangan? (Aza)