Ditilik dari sudut bahasa, peta berasal dari bahasa Latin “mappa” yang berarti kain karena saat itu peta digambar di atas kulit atau potongan-potongan kain. Secara istilah peta adalah representasi simbolis bumi atau sebagiannya yang digambar pada permukaan datar.
Oleh: Dr Ilham Kadir MA
Juga dapat didefinisikan sebagai gambaran permukaan bumi pada bidang datar yang diperkecil menggunakan rasio tertentu. Isi peta mewakili area dan terdiri dari informasi geografis. Dan tujuan utama peta dibuat untuk digunakan sebagai alat navigasi, menemukan tempat, dan representasi bidang fisik dengan informasi yang selektif.
Ada pun orang yang membuat peta disebut sebagai kartografer. Seni dan ilmu pembuatan peta dikenal sebagai kartografi. Kartografer menggunakan serangkaian proses dan rumus matematika dalam mengembangkan peta. Para kartografi diyakini sudah ada, bahkan jauh sebelum bahasa tertulis, ini dibuktikan dengan penemuan lukisan dinding di Ankara, Turki, yang diyakini sebagai peta tertua, bertanggal sekitar 6.000 SM.
Kini, bahasa peta bukan saja dipakai untuk keperluan penjelajahan di atas bumi, tapi juga digunakan dalam membuat perancangan dan target-target tertentu untuk mencapai sebuah program baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kata program di sini bukan saja dalam bentuk fisik tetapi bisa pula non fisik, bahkan bisa pula masih dalam bentuk gagasan atau cita-cita yang masih tersimpan dalam benak.
Penggunaan istilah peta lebih untuk memudahkan pembaca dan pendengar mengerti bahwa ada tujuan dan target yang harus dicapai, karena itu harus ada visi, misi, program, proses, dan evaluasi. Visi di sini adalah tujuan dan target, sedangkan jalannya harus melewati program dan proses, setelah itu baru dilakukan evaluasi, apakah programnya tepat sehingga target tercapai, dan adakah proses yang telah direncanakan diterapkan dengan baik. Sebab, dengan proses yang tepat tujuan akan tercapai dengan benar. Bahkan dalam dunia penelitian kualitatit, proses lebih diutamakan daripada hasil.
Arah Pendidikan
Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia gempar, sebab Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 tidak lagi mencantumkan frasa agama dalam visi pendidikan nasional.
Tidak tercantumnya frasa agama dalam visi pendidikan sebelumnya dikritik sejumlah Ormas Islam, terutama Muhammadiyah yang diwakili Ketua Umum, Haedar Nasir. Berikut secara terang tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Nadiem Makarim. “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.”
Haedar Nasir mempertanyakan, kenapa frasa agama tidak terlihat, “Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan atau memang sengaja? Oke kalau Pancasila itu dasar [negara], tapi kenapa budaya itu masuk?” katanya dalam keterangannya yang dikutip dari laman resmi Muhammadiyah.or.id, Selasa, 9 Maret 2021.
Jika frasa agama benar-benar ditiadakan, dan pemerintah tutup telinga dan berkacamata kuda, maka tentu Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 bertentengan dengan tujuan pendidikan menurut konstitusi. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang”. Selanjutnya pada ayat (5) disebut, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Jujur saja, jika melihat tujuan pendidikan yang diinginkan oleh negara maka ada beberapa kata kunci atau frasa yang harus dimengerti dengan benar sesuai filosofi frase tersebut, di antaranya: keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, ilmu pengetahun, teknologi, nilai-nilai agama, persatuan bangsa, peradaban, kesejahteraan.
Artikel pendek ini tidak mungkin menjelaskan secara detail dan sempurna setiap kata kunci yang tertera dalam konstitusi. Cukup saya pilih tiga saja agar menjadi contoh bahwa para pendiri bangsa ini sesungguhnya telah menanamkan road map pendidikan bangsa Indonesia, tidak hanya sampai 2035 tapi sampai kehidupan setelah kematian.
Pertama, keimanan. Iman secara bahasa adalah percaya, sedangkan iman menurut istilah adalah beriman kepada rukun iman yang meliputi, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-Kitab Allah, Nabi dan Rasul, Hari Kiamat, Qadha dan Qadar. Hanya orang-orang yang beriman yang mampu menegakkan syariat agama, karena itu keimanan adalah dasar paling fundamental dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Maka, rukun Islam yang berisi dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di Bulan Ramadhan, hingga naik haji ke Baitullah, Makkah Al-Mukarramah hanya mampu diamalkan oleh mereka yang beriman. Maka, sudah tepat sekali jika tujuan pendidikan nasional adalah membentuk pribadi beriman.
Kedua, ketakwaan. Dari sudut bahasa ‘ketakwaan’ berasal dari istilah Arab, yakni waqaa-yaqii, atau berhati-hati. Sedangkan dari sudut istilah memiliki banyak definisi, tapi saya sering memilih pengertian takwa menurut Khalifah Ali bin Abi Thalib, katnya, takwa adalah takut kepada Allah, mengamalkan isi Al-Qur’an, ridha dengan rezeki yang ada [walau sedikit], dan menyiapkan bekal perjalanan yang berat di hari kiamat, “al-khaufu bil-jaliil, wal-‘amal bit-tanziil, war-rdhaa bil-qaliil, wal-isti’daad fi yaumir-rahiil”. Pengertian ini cukup jalas, dan memang selayaknya menjadi tujuan pendidikan bagi rakyat Indonesia secara umum, dan umat Islam lebih khusus.
Ketiga, akhlak mulia, secara bahasa akhlak berakar dari kata ‘khuluq’ yang berarti kebiasaan. Dari sudut istilah, Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak dalam kitabnya “Ihya ‘Ulumuddin” sebagai berikut: suatu perangai [watak, tabiat] yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau atau direncanakan sebelumnya. Apabila tabiat tersebut menimbulkan perbuatan yang bagus menurut akal dan syara` maka hal tersebut dinamakan ahklak baik. Dan apabila hal tersebut menimbulkan perbuatan yang jelek maka disebut ahklak yang jelek.
Maka tujuan pendidikan menurut konstitusi tidak bisa dipisahkan dengan agama, sebab kata kunci intinya berakar pada agama. Di sini agama adalah core alias inti segala tujuan pendidikan yang ada di Indonesia. Kecuali itu, wajib diketahui bahwa segenap program pemerintah dan masyarakat Indonesia termasuk pendidikan tidak boleh bertentengan dengan pancasila, dan inti dari seluruh sila dalam pancasila adalah sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, jelas filosofi ketuhanan hanya dimengerti dengan agama, maka agama adalah denyut nadi dan nafas negara Indonesia.
Jadi, semestinya peta tujuan pendidikan nasional adalah “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, kearifan lokal, dan Pancasila!” Wallahu A’lam! (Aza)
Penulis: Dr Ilham Kadir MA adalah Penulis Buku “Pendidikan Sebagai Ta’dib Menurut Naquib Al-Attas”