Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, mengumumkan pembatalan penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 1442/2021. Tentu ia menyampaikan alasannya.
Oleh: Ady Amar
Pertama, disebabkan masih dalam masa pandemi Covid-19. Maka, pemerintah lebih mengutamakan kesehatan masyarakat. Alasan yang disampaikan memang tampak bijak.
Sedang alasan kedua, bahwa pemerintah Arab Saudi belum memberi akses layanan penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 1442/2021. Sedang pemerintah Indonesia membutuhkan ketersediaan waktu yang cukup untuk penyelenggaraan ibadah haji.
Alasan pertama yang dipakai itu sebenarnya bisa dikatakan kekhawatiran berlebihan, bahkan mengada-ada. Pandemi Covid-19 itu bisa “ditarik keras” sebagai berbahaya, jika itu diinginkan atau dijadikan berbahaya. Dan bisa “dilepas lembut”, dengan catatan tetap mematuhi prokes, jika itu menyangkut agar ekonomi tetap bergerak.
Setelah mudik ditiadakan, sekarang ibadah haji pun “ditarik keras” jadi alasan pembenar, bahwa pandemi Covid-19 amat berbahaya. Dan itu demi keselamatan warga, setidaknya alasan itu yang dipakai.
Sedang argumen kedua, belum diberikannya akses layanan penyelenggaraan Ibadah Haji oleh pemerintah Saudi Arabia. Dengan kata lain, jika akses itu diberikan terlambat, maka pemerintah akan kesulitan menyiapkan segala sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan ibadah Haji. Itu karena waktu yang sempit. Kira-kira begitu jalan pikiran pemerintah yang diwakili Pak Yaqut.
Argumen kedua ini lebih mengada-ada dan absurd, tampak dibuat asal-asalan. Memangnya selama setahun itu, apa tidak mempersiapkan segala sesuatu berkenaan hal-hal teknis berkenaan dengan pemondokan, katering, sewa pesawat dan lainnya yang sudah rutin setiap tahun dilakukan.
Jika argumen/alasan yang dipakai karena waktu sempit untuk mempersiapkan penyelenggaraan Ibadah Haji, itu menandakan bahwa selama setahun ini tidak ada persiapan oleh pemerintah menyangkut penyelenggaraan Ibadah Haji 1442/2021.
Anehnya pula Ketua Komisi VIII DPR RI, H. Yandri Susanto, S.Pt., membuat konferensi pers bersama Yaqut Cholil Qoumas dan jajarannya, dan koor dengan apa yang disampaikan Kementerian Agama.
Pak Yandri ini hadir seperti wakil eksekutif/pemerintah, bukan mewakili rakyat/legislatif. Ia yang justru memastikan, bahwa uang dana haji tidak usah kuatir, katanya. Dana itu aman, aman dan aman. Kata aman yang diulang sampai tiga kali, itu dimaksudkan agar rakyat percaya. Pikirnya, jika diucap sekali dimungkinkan rakyat masih belum percaya. Mengapa tidak sekalian saja wakil rakyat itu bersumpah, bahwa dana itu masih ada, tersimpan dengan baik.
Parlemen tampak kehilangan fungsi kontrolnya. Mestinya dilakukan investigasi pada persiapan Ibadah Haji secara menyeluruh. Tidak menerima saja apa yang disampaikan eksekutif. Dengan tidak adanya oposisi yang kuat dan berimbang di parlemen, maka kelompok mayoritas yang berkoalisi dengan penguasa, akan selalu menjadi kekuatan penyokong apa saja yang diinginkan eksekutif.
Berkenaan dengan sikap Ketua Komisi VIII DPR RI, H. Yandri Susanto, yang berlebihan dalam konferensi pers itu, yang bak juru bicara Kemenag. Hal yang tidak selayaknya. Melihat sikapnya yang _over_ itu, pantas jika orang berspekulasi, bahwa bisa jadi itu bagian dari barter persoalan yang tengah dihadapinya. Dan ia memang tengah diperiksa KPK, tentang kasus suap Bansos Covid-19, untuk wilayah Jabodetabek 2020.
Ia, Yandri Susanto, diperiksa (30/Maret), untuk tersangka mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara. Dugaan adanya pemberian kepadanya kuota paket Bansos yang diberikan Adi Wahyono, Penjabat Pembuat Komitmen (PPK), di Kementerian Sosial. Kasus ini, dan kasus apa saja, bisa diteruskan atau bahkan dihentikan sama sekali, tergantung maunya apa. Sikap tidak wajar itu tampak, dan biasanya muncul oleh tekanan psikologis yang kuat. Maka semuanya “dilakonkan” meski tampak tidak wajar.
Surat dan Pernyataan yang Meluruskan
Seharian kemarin, Jumat (4/Juni) “surat sakti” dari Duta Besar Saudi Arabia di Jakarta, viral. Dan itu bisa membuka kotak pandora ada apa sebenarnya dengan penyelenggaraan Ibadah Haji 1442/2021, yang dibatalkan penyelenggaraannya itu.

Surat itu ditujukan untuk Ketua DPR RI, Puan Maharani. Surat itu isinya protes dan meluruskan pernyataan dari Dr. Ir. Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR RI. Dan, Dr. TB H. Ace Syadzily, M.Si, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI.
Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan bahwa pemerintah Saudi Arabia tidak memberikan kuota haji tahun 1442/2021. Sedang Ace Syadzily mengatakan, bahwa pemerintah Saudi Arabia hanya memberikan akses haji untuk 11 negara, tidak termasuk Indonesia.
Maka, surat yang ditandatangani Duta Besar Saudi, Essam Bin Ahmed Abid Althaqafi, itu meluruskan pernyataan wakil rakyat yang asal buat kesimpulan sendiri. Di surat itu disampaikan, bahwa sampai dengan saat ini, saat surat itu dibuat, pemerintah Saudi Arabia memang belum mengumumkan berkenaan dengan penyelenggaraan Ibadah Haji. Dan meminta agar diwaktu akan datang, tidak buat kesimpulan sendiri sebelum mencari tahu dari sumber resmi (kedutaan).
Surat itu wajar dibuat untuk meluruskan informasi.yang dibuat pejabat parlemen, yang itu merugikan pemerintah Saudi Arabia. Tapi menjadi aneh, jika lalu Sufmi Dasco Ahmad menjadi tidak senang hati, dengan mengatakan agar duta besar Saudi Arabia tidak perlu baper. Bukannya mengakui kesalahan dan respek pada pelurusan yang dilakukan Duta Besar Saudi, tapi menjadi aneh ia memilih sikap tidak simpatik.
Respons tidak simpatik khas pejabat pada rakyat yang suka menjawab sekenanya, itu lalu keterusan ditampolkan juga pada Duta Besar negara sehabat. Padahal selama ini, negara kita amat menjaga hubungan baik dengan Saudi Arabia.
Lalu muncul pernyataan Duta Besar Indonesia di Saudi Arabia, Agus Mahfud Abegebriel, yang menjelaskan dan mengoreksi adanya pemberitaan berkenaan dengan Indonesia tidak mendapatkan kuota haji, Jumat (4/Juni).
Cukup keras pelurusan pernyataannya itu. Ia katakan, bahwa berita (yang beredar) adalah berita bohong, jika Indonesia tidak mendapatkan kuota. Lanjutnya, karena sampai hari ini, detik ini belum ada pengumuman resmi dari kerajaan Saudi terkait pelaksanaan haji tahun 2021 ini.
Penegasannya itu bagian dari menepis berita hoax yang muncul di tanah air. Sekaligus seolah pernyataannya itu melengkapi surat Duta Besar Saudi Arabia di Indonesia.
“Soal berita hoax di tanah air, bahwa Indonesia tidak mendapatkan kuota. Bagaimana mendapatkan kuota _wong_ pengumuman haji belum ada. Jadi pengumuman haji belum ada. Setelah itu (pengumuman) sebenarnya kan baru ada kuota,” katanya.
Pintanya, “Jadi saya berharap berita-berita hoax yang ada di tanah air secepatnya dihentikan, yang merupakan fitnah pada negara,” ujarnya dengan narasi kalimat yang keras.
Spekulasi Bermunculan
Tahun lalu, 2020, pelaksanaan ibadah haji memang ditiadakan, dan itu karena pemerintah Saudi Arabia yang meniadakan Ibadah Haji disebabkan pandemi Covid-19. Tapi tahun ini, meski pandemi Covid-19 belum berakhir, tapi tampaknya Ibadah Haji tetap akan dilaksanakan. Tentu dengan pengetatan prokes yang ada. Misal, adalah para calon jamaah haji harus sudah di vaksin.

Kesiapan Saudi sebagai negara penyelenggara, tentu sudah memperhitungkan hal-hal teknis yang mesti dilakukan. Dan itu urusan mereka. Jika mereka sanggup untuk menerima jamaah haji dari seluruh dunia, maka menjadi aneh jika kita bersikap sebaliknya. Lalu jika muncul pertanyaan spekulatif bahkan sakwasangka, sebenarnya apa yang terjadi dengan sikap pemerintah meniadakan pelaksanaan Ibadah Haji 1442/2021 ini.
Pernyataan anggota DPR RI, dan juga Menteri Agama yang seolah saling melengkapi, tapi yang justru tidak memberikan informasi yang benar dan menentramkan. Dan jadi memalukan, jika pernyataan hoax itu “diluruskan” oleh Duta Besar Saudi Arabia, dan lalu dikuatkan pernyataan dari Agus Mahfud Abegebriel.
Maka pernyataan, ada apa sebenarnya dengan pemerintah kita, yang buru-buru seolah ingin tidak mendapatkan kuota haji pada tahun ini. Baik Menteri Agama maupun Komisi VIII DPR RI, saling kompak seolah membatalkan perjalanan haji tahun ini menjadi keharusan.
Umat Islam bertanya-tanya, dan belum mendapat kejelasan yang memadai. Maka spekulasi yang mengatakan, bahwa dana haji yang hampir Rp 150 triliun, itu terpakai menyeruak jadi pemberitaan yang dipercaya. Meski pemerintah menyatakan dana haji itu aman, bahkan jika mau diambil dana itu pun silahkan.
Tapi siapa yang mau ambil uang yang dikumpulkan bertahun-tahun, bahkan ada yang berpuluh tahun berharap bisa berhaji, dan jika mengambil uangnya maka kursi keberangkatannya yang sudah di plot tahun ini jadi sirna. Jika ada yang terpaksa harus mengambilnya, itu tidak akan sampai 10% dari yang tidak mengambil. Ini tawaran bagai memakan buah simalakama.
Semuanya dibuat jadi serba tidak menentu, informasi dari yang berkompeten pun tidak mampu memberi ketenangan bagi “Tamu Allah yang Terhambat” ke Baitullah.
Maka kembalikan semuanya pada Yang Maha Tahu, Allah _Robbul ‘Aalamiin_, biarlah Dia yang Menghakimi apa yang luput dari yang manusia pikirkan, itu tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan ditiadakannya penyelenggaraan Ibadah Haji jamaah Indonesia, tahun 1442/2021. Dan biarlah ini jadi catatan sejarah menyesakkan. (*)