oleh: Ady Amar
Panik publik jika tidak dikelola dengan baik, maka yang muncul adalah amuk massa, dan itu mencekam. Hal yang tidak kita inginkan
Suasana menjadi mencekam, dan makin mencekam dengan pemberitaan yang bak horor, menekan dan meneror psikis publik. Lebih parah lagi, pemerintah tidak menciptakan ketenangan yang seharusnya. Koordinasi gagap yang ditampakkan, seolah mengabarkan ketakmampuan mengelola persoalan jadi solusi untuk keluar dari persoalan.
Ketenangan pemimpin yang mampu memutus dan mengambil kebijakan dengan argumentasi terukur, itu yang sebenarnya dibutuhkan publik. Bukan perdebatan saling silang pendapat, yang tanpa sadar ditampakkan dalam berbagai komen yang justru tidak menyejukkan. Ibarat orkestra tanpa partitur dan dengan dirigen seadanya, maka yang keluar hanya suara-suara sumbang memekakkan telinga.
Pemimpin itu menenangkan, membuat kesejukan meski suasana sebenarnya tidak baik-baik saja, bahkan pada suasana buruk sekalipun. Ia hadir menampakkan diri mampu mengatasi persoalan yang ada. Bukan lari dari gelanggang dan menyerahkan persoalan, yang mestinya ia komandani pada pembantunya. Ia lalu memilih jadi penonton dari luar gelanggang.
Tanpa sadar ia menampakkan hal sebenarnya, atas ketidakmampuan menyelesaikan persoalan di depan mata. Tidak memiliki leadership menghadapi persoalan sesungguhnya. Ia bagai layang-layang putus yang terombang-ambing terhempas angin ke sana ke mari.
Pastilah yang dikelolanya itu akan berantakan. Dan jika pembantunya memilih jalan sendiri-sendiri dengan polanya masing-masing yang dianggapnya tepat, itu tidaklah salah. Satu dengan lainnya memiliki penilaiannya sendiri tentang makna tepat yang sesungguhnya.
Tidak ada arahan dari manajer yang sesungguhnya, itu menjadikan suasana seperti penanganan kasus Pandemi Covid-19, ini menampakkan kegagapan negara menyelesaikannya. Gagap itu lambang panik, yang tidak semestinya dihadirkan. Lalu muncul wacana mengancam-ancam, agar publik tidak bicara sembarangan dalam kasus Covid-19. Tentu sembarangan dalam versinya.
Tidak boleh ada suara lain dari publik, padahal di antara mereka sendiri tidak ada sinkronisasi pendapat yang mengarah pada kebijakan yang mampu mengatasi persoalan, dan karenanya mustahil mampu menyelesaikan persoalan. Jika publik lalu kehilangan kepercayaan, itu konsekuensi dari kebijakan acakadut yang dipertontonkan.
Pada hal-hal teknis kasat mata, yang semestinya tidak boleh abai, itu pun diabaikan, baik tunjangan bagi nakes dan tenaga PPDS, yang dipakai untuk membantu penanganan penuh risiko, tapi berbulan-bulan dana tidak cair, dan juga penyediaan oksigen yang itu kebutuhan mendasar tampak negara abai. Pada hal-hal di depan mata, itu yang tampak, negara seolah tidak melihatnya sebagai hal substantif.
Apa tidak berpikir, jika para nakes yang kerja dengan penuh tekanan, itu karena tidak mendapatkan penghargaan selayaknya, lalu memilih jalan pikirannya sendiri dengan pilihan mogok, misal. Jika itu yang terjadi, maka bisa dipastikan pelayanan pasien-pasien dengan gejala Covid-19 akan sulit dibayangkan. Tidak perlu juga sampai terjadi 63 pasien meregang nyawa, di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, yang karena kehabisan oksigen.
Suara Kritis Bermunculan
Kasus RSUP Dr. Sardjito itu membuat hati terenyuh, kasus yang semestinya tidak boleh terjadi. Hal teknis yang semestinya bisa diantisipasi. Adakah pemimpin negara lalu tampil menyatakan penyesalan dan ajukan permintaan maaf. Mustahil pernyataan permintaan maaf muncul dari pemimpin yang sebenarnya sudah memilih berada di luar gelanggang. Dan itu bisa dimaknai, seolah ia terbebas dari tanggung jawab, bahkan berpikir sudah terlepas dari tanggung jawab pengadilan akhirat.
Miris melihat negeri ini, meski lalu ada sedikit suguhan yang menghibur, munculnya pemimpin tingkat daerah yang berpikir dengan skala nasional, bekerja taktis dan terukur. Yang ambil inisiatif memenuhi kelangkaan oksigen dengan membuka depo oksigen untuk menyuplai kelangkaan oksigen di RS-RS di daerah wilayah tanggung jawabnya. Ia operkan oksigen untuk industri sementara untuk memenuhi kebutuhan pasien Covid-19. Tidaklah perlu disebut nama pemimpin daerah itu, agar tidak dianggap ada motif lain dalam tulisan ini.
Jika lalu sampai muncul ucapan pengamat politik dengan maqam filsuf, RG, meminta yang memimpin saat ini, yang dianggap sudah tidak mampu itu untuk mundur saja, dan diganti dengan pemimpin daerah yang kerjanya taktis dan lugas itu. Apa yang diinginkannya, tentu mustahil bisa jadi kenyataan, karena tidak ada pijakan konstitusinya. Tapi setidaknya ia ingin menggambarkan kesumpekkan publik pada pemimpin nasional yang ada saat ini. Menjadi wajar jika muncul pribadi-pribadi kritis yang menyuarakan suara publik. Bisa disebut RG, RR, RH, dan lainnya.
Suara-suara kritis atas suasana miris yang tanpa ujung, ini akan terus disampaikan dengan keras tapi tetap pada takarannya, dan di alam demokrasi itu hal biasa yang dimungkinkan. Gertakkan pejabat yang menerima semacam mandat “supersemar” agar tidak ada suara-suara yang mengganggu, itu pastilah dianggap angin lalu saja.
Panik publik jika tidak dikelola dengan baik, maka yang muncul adalah amuk massa, dan itu mencekam. Hal yang tidak kita inginkan. Suara protes atas ketidakadilan perlakuan di hadapan hukum, protes atas melubernya TKA Cina yang seolah mendapat privilage mendulang pekerjaan di negeri dengan tingkat pengangguran tinggi, itu menyakitkan… Semua itu menunggu waktu untuk meledak dengan ledakan yang sulit bisa diperkirakan. Negeri ini tampaknya tidak beranjak dari rasa panik menuju panik lainnya… Naudzu Billahi Mindalik. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya