“Republik Sentilan Sentilun”, meski kisah rekaan, tapi itu kisah yang dibangun akan femomena yang ada. Akhir-akhir ini, fenomena itu makin tampak jelas meski versi barunya tidak perlu dihadirkan
oleh: Ady Amar
Indonesiainside.id–INGAT tokoh Sentilan Sentilun, tentu itu tokoh rekaan yang dihadirkan melihat demokrasi dan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka gugatan-gugatan pada keadaan yang ada dimunculkan lewatnya.
Adalah Agus Noor, seniman- sastrawan, yang awalnya menulis naskah drama “Matinya Sang Kritikus” dengan tokoh perannya Sentilan dan Sentilun. Dan dramawan Butet Kertaradjasa, memainkannya secara monolog. Ia berperan sebagai Sentilan dan sekaligus Sentilun.
Lalu Metro TV menangkap peluang mengangkatnya di televisi, tidak sebagaimana judul asli drama itu. Sebagai satire komedi judul perlu disesuaiakan. Dipilihlah nama tokoh perannya dengan adaptasi yang disesuaikan, “Republik Sentilan Sentilun”. Tayang sejak 2011 sampai 2017.
Tidak lagi jadi monolog, tapi peran Sentilan dan Sentilun diperankan aktor dan dramawan kawakan. Slamet Rahardjo sebagi Sentilan, dan Butet Kertaradjasa sebagai Sentilun. Dua lambang status sosial, antara juragan Sentilan dan batur Sentilun.
“Republik Sentilan Sentilun” menjadi tontonan menarik pada awal-awalnya, tapi diakhhir-akhirnya dialog kritisnya menjadi mandul karena kepentingan politik bermain di dalamnya, termasuk kepentingan politik pemilik stasiun televisi bersangkutan. Maka tayangan ini harus disudahi kehadirannya juga oleh sebab-sebab tertentu.
Namun demikian, tokoh Sentilan Sentilun tetap melekat di benak publik sebagai “suara kritis” yang memberontak, itu lewat pertanyaan Sentilun yang lebih sebagai gugatan tidak saja pada ndoro Sentilan, yang lalu dinjawabnya dengan arif.
Jangan tanyakan, kok Sentilun yang cuma seorang batur dapat mengajukan pertanyaan gugatan itu dengan begitu cerdasnya, dan sang ndoro tuan besar bisa pula memberi jawaban, yang meski menentangnya, dengan jawaban yang memuaskan dahaga Sentilun. Tepat jika melihat itu sebagai kekritisan akan pertanyaan yang disodorkan, tanpa menimbang siapa yang bertanya dan menjawabnya.
Seiring perjalanan waktu, “Republik Sentilan Sentilun”, kehilangan arah kritisnya, dan itu saat mengundang tamu-tamu kalangan politisi, bahkan Presiden Joko Widodo sebagai tamu yang diundang. Maka “sengatan” Sentilun menjadi “melemah” dari yang biasanya.
Begitu kepentingan politik menyeret “Republik Sentilan Sentilun” pada kepentingan politik tertentu, maka tayangan itu menjadi tidak menarik. Tidak ada yang lalu menjadi ‘”sesak hati” dengan dihentikan tayangan itu, menanggapinya biasa-biasa saja.
Negeri Sentilan Sentilun
Meski demikian, Sentilan Sentilun tetap diingat sebagai suara kritis mewakli suara publik. Acara semacam itu memang tidak perlu harus hadir lagi. Semua orang bisa sekaligus jadi Sentilan dan Sentilun. Publik melihat fenomena yang ada akan bisa menjawab, meski hal absurd sekalipun. Bahkan publik bisa menertawakan pemimpin pansos yang hadir tanpa canggung dan rasa malu.
Publik saat ini sudah terbiasa dengan kondisi hukum yang tebang pilih, politik pragmatis dan hal-hal lain yang dipertontonkan kasat mata, yang itu dengan mudah bisa dijawab dengan argumennya sendiri: keadilan hukum cuma isapan jempol, dan politisi busuk memfasilitasi itu semua.
Publik diibaratkan Sentilun yang bisa melihat fenomena yang dihadirkan dengan tafsirnya sendiri, dan menolak tafsir yang disodorkan penguasa. Publik melihat tafsir penguasa sebagia Sentilan dalam maknanya yang lain. Maka Sentilun akan berjalan dengan argumennya sendiri, argumen kehilangan kepercayaan pada ndoro, juragan atau penguasa.
“Republik Sentilan Sentilun”, meski kisah rekaan, tapi itu kisah yang dibangun akan femomena yang ada. Akhir-akhir ini, fenomena itu makin tampak jelas meski versi barunya tidak perlu dihadirkan. Saat ini Sentilan dan Sentilun itu bukan lagi rekaan, tapi nyata adanya.
Itu bisa dilihat, bagaimana Habib Rizieq Shihab, yang mewakili Sentilun, diperlakukan dengan tidak sewajarnya. Kasus pelanggaran prokes ditarik pada pasal menimbulkan keonaran, meski tidak bisa dibuktikan keonaran yang ditimbulkan. Hakim penuntut umum yang mengganjarnya dengan hukuman 4 tahun, itu bisa disebut Sentilan, yang mewakili penguasa.
Berpuluh kasus lainnya bisa ditemukan dan disebutkan, siapa sebagai Sentilan dan siapa Sentilun. Dan itu nyata adanya. Maka tontonan “Republik Sentilan Sentilun” saat ini bukan lagi kisah rekaan tapi nyata adanya. Ruangnya bergeser dari tontonan fiksi menjadi non fiksi. Tidak lagi ada di televisi tapi di dunia nyata, dan itu ada Di Negeri Sentilan Sentilun. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya