Musuh nyata itu ada, tapi umat manusia di negeri ini masih berdebat di ruang publik dengan tidak sewajarnya
Oleh: Ady Amar
Indonesiainside.id–Satu persatu kawan, kerabat, pegiat sosial yang lurus, dokter atau tenaga kesehatan, para da’i yang selalu menyinari sekaligus menyejukkan hati… dipanggil-Nya, dan kita hanya tergagap penuh kemusykilan, haru dan seolah tidak siap menerima kabar duka itu, tidak siap ditinggal selama-selamanya.
Dalam lebih kurang 1,5 tahun coba hitung berapa banyak keluarga, kawan, kerabat, para dokter (nakes) yang kita kenal, tokoh agama dan tokoh masyarakat, yang dipanggil-Nya oleh wabah Covid-19. Pastilah kita akan tercengang melihat jumlahnya. Itu tidak terhitung dengan para tokoh yang tidak kita kenal langsung, tapi kehadirannya selalu dibutuhkan umat.
Kita punya musuh yang sama, musuh nyata meski tidak tampak nyata. Tapi musuh itu ada, mencelakakan dan bahkan bisa membawa kematian dalam hitungan pekan atau bahkan hitungan jam, yang menyebabkan kesakitan luar biasa diseluruh tubuh para penderitanya.
Jika musuh yang menyerang itu tidak membunuhnya, maka yang selamat itu pun menyisahkan bekas. Beberapa bagian organ tubuh, khususnya paru-paru fungsinya sudah tidak sempurna sebagaimana semula. Maka ketergantungan pada tabung oksigen itu menjadi mutlak, karena sewaktu-waktu bisa sangat dibutuhkan.
Musuh nyata itu ada, tapi umat manusia di negeri ini masih berdebat di ruang publik dengan tidak sewajarnya. Maka muncul perdebatan-perdebatan tidak penting yang bukan mengharap solusi, tetapi justru sebaliknya menjadikan publik yang miskin berpikir rasional, itu makin dibuat bingung. Ditambah kesulitan ekonomi, maka tawaran-tawaran absurd yang muncul jadi pilihannya.
Rasionalitas dibangun oleh kesadaran, tidak saja intelektual tapi emosional, menempatkan diri pada posisi yang pas dan yang seharusnya. Menjadi makin matang, jika intelektualitas dan emosional itu disandarkan pada spirutualitas. Semuanya akan berjalan pada dua dimensi yang seharusnya. Maka, nilai kepasrahan itu ada melalui ikhtiar yang kuat.
Musuh itu nyata, tapi pandangan manusia (di negeri ini) terpecah-pecah menjadi keping-keping, yang tampaknya sulit untuk disatukan, sebagaimana musuh (Covid-19) itu bersatu. Apakah ada agenda busuk di balik itu semua, pastilah ada. Meski itu sulit untuk dijelaskan kepada mereka yang memilih dalam barisan teori konspirasi-konspirasian.
Sehingga pikiran yang mengerucut dari para dokter dengan kepakaran khusus dan atau para epidemolog, bagaimana menghadapi Covid-19, itu coba dimentahkan oleh mereka yang asal bicara dengan teori absurditas. Awam lalu mengikuti, itu hal biasa. Menjadi aneh jika intelektual dan bahkan pegiat dakwah yang ikut-ikutan pola kerja mereka tanpa tahu kesudahan akan berakhir seperti apa. Dan lalu ikut berkoar-koar seolah itu kepakarannya.
Ada pula pakar ekonomi yang _outside_ saat berbicara pada hal yang tidak dikuasainya. Berbicara seolah ia lebih pandai dari mereka yang memang menguasai bidangnya. Jenis manusia macam ini sebenarnya yang buat kebingungan tersendiri di tengah masyarakat.
*Pola Akal Terbalik Jadi Pilihan*
Akal terbalik itu tentu bukan akal yang posisinya terbalik, atau posisi akal tidak pada tempatnya. Bukan demikian. Akal terbalik adalah lebih pada pola penggunaannya. Dengan akal mestinya kita bisa berpikir lurus, itu yang membedakan manusia dengan binatang.
Pola akal terbalik saat-saat ini justru laku dan dielu-elukan masyarakat. Dianggap pikiran _out of the box_, pikiran di luar _mainstream_, pikiran yang berani melawan arus besar yang sudah baku, dan seterusnya… seterusnya…
Dielu-elukan pendapatnya, meski tanpa diuji secara sains selayaknya. Pola akal terbalik itu lalu di viralkan dengan semangat agar publik mengikuti pikiran yang diyakininya. Dan bahkan “memaksa” agar orang lain bisa terpengaruh. Terus menerus potongan video “junjungannya”, itu disebar dianggap sesuatu yang benar. Menjadi aneh jika ada da’i dan pegiat dakwah yang ikut-ikutan latah dan meyakini lalu menyebarkannya.
Lebih miris lagi, muncul pendapat seorang dokter umum dan jauh dari kepakarannya, dan bahkan kolega sesama almamater seangkatannya mengatakan bahwa ia orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), diyakini sebagai dokter yang berani bicara apa adanya dan lalu dijadikan rujukan. Inilah mungkin yang disebut akal terbalik sempurna.
Saya dan mungkin Anda juga mengalami hal yang sama, mendapat potongan postingan video dokter bersangkutan, dan si pengirim mengelu-elukan layaknya team Italia yang disanjung-sanjung fansnya saat memenangkan perhelatan Euro 2020. Awalnya saya mencoba memberi pendapat sebenarnya, tapi si pengirim itu bukannya tersadar tapi justru makin “liar” mengirim dan mengirim lagi potongan video sejenis. Menghadapi yang demikian, maka pilihan membiarkan saja jadi model yang pantas dilakukan.
Zaman fitnah memang dipenuhi oleh eksentrikisme pemikiran–jika boleh disebut–yang sulit dinalar tapi coba dipaksakan seolah itu pikiran benar. Tampaknya kita ada di zaman itu, zaman yang ditakutkan _Hujjatul Islam_ al-Ghazali, dengan pernyataannya, _”Yang paling aku takutkan pada suatu waktu kelak adalah kerancuan berpikir para pemikir.”_ Itu dikatakannya lebih dari sepuluh abad silam.
Saat ini kita bahkan menghadapi zaman bukan lagi sebagaimana ditakutkan al-Ghazali itu, “kerancuan berpikir para pemikir”, tapi “kerancuan berpikir para pandir yang sok merasa pandai”, yang lalu pikiran rancunya itu diikuti para bebal, ngotot membela junjungan yang sebenarnya tidak dikenalnya. Tapi dibelanya habis-habisan, meski harus menyakiti kawan yang tidak sependapat dengan pikiran bebalnya. Benar-benar zaman fitnah, sayang tidak banyak yang menyadari. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya