Akidi Tio yang semasa hidupnya tidak dikenal, dan setelah di alam sana sekian lama, tiba-tiba namanya lebih terkenal dari konglomerat Liem Sioe Liong
Akidi Tio, yang sudah meninggal 12 tahun lalu, itu namanya jadi terkenal. Dalam hampir sepekan puja-puji atasnya dikerek tinggi-tinggi, dan itu pantas diberikan mengingat sumbangan berupa hibah dengan nilai fantastis Rp 2 T untuk penanggulangan Covid-19 di Sumatera Selatan (Sumsel).
Akidi Tio yang semasa hidupnya tidak dikenal, dan setelah di alam sana sekian lama, tiba-tiba namanya lebih terkenal dari konglomerat Liem Sioe Liong, yang hidup di Indonesia tapi memilih dikubur di Singapura.
Sumatera Selatan dipilih oleh keluarga Akidi Tio, karena ia hidup dan di kubur di sana, di Palembang. Meski Akidi Tio lahir di Langsa, Aceh. Tapi Palembang (Sumsel) dianggapnya sebagai “rumahnya”. Wajar-wajar saja pilihannya itu. Tidak ada yang perlu diperdebatkan atas pilihannya.
Suka cita bangsa ini menyambut berita menggembirakan itu, dan tidak cuma di Sumsel tapi di seluruh pelosok negeri. Dan nama Akidi Tio dalam sekejap menjadi simbol kedermawanan tingkat dewa. Apalagi muncul narasi-narasi kehidupannya yang sederhana. Tiap saat hanya memakai pakaian dengan baju putih dan celana putih, seolah melambangkan manusia yang sudah selesai dengan hidup duniawinya.
Prof Dr. dr. Hardi Darmawan, yang merupakan dokter keluarga, menggambarkan sifat Akidi Tio dengan begitu apiknya. Prof Hardi jadi orang pertama yang diminta keluarga untuk mewakili penyerahan uang Rp 2 T itu. Ia terkaget-kaget dengan nilai yang disampaikan Heriyanti, anak bungsu Akidi Tio itu. Maka pada tanggal 26 Juli terjadilah seremonial penyerahan simbolis uang itu, yang diserahkan pada Irjen Pol Prof Dr. Eko Indri Heri, MM, yang menjabat sebagai Kapolda Sumsel.
Meski penyerahan uang itu hanya simbolis, belum jelas uangnya benar-benar ada, tapi jagat pemberitaan memberitakan dengan suka cita. Semua euforia dengan berita itu. Berita seperti seseorang yang mimpi di siang hari menemukan gunung emas. Rasa suka cita itu setidaknya bisa meningkatkan imun anak bangsa yang sedang terkuras momok virus corona.
He he hee… Cuma Pepesan Kosong
Kasihan Akidi Tio, meski sudah lama meninggal, dalam sepekan ia jadi seseorang yang paling disanjung setinggi langit dan setelahnya menjadi seseorang yang paling disumpahi dengan sumpah serapah. Padahal itu ulah anak-anaknya yang ngeprank tingkat nasional, yang menyeret namanya.
Ternyata Bilyet Giro Bank Mandiri saat jatuh tempo atas nama Heriyanti pada bank bersangkutan, ternyata tidak ada saldo senilai itu di rekeningnya. Maka putri bungsu Akidi Tio itu dijemput di rumahnya. Kata pak polisi itu untuk konfirmasi, bukan ditangkap.
Ditangkap atau tidak ditangkap, itu informasi yang tidak penting bagi publik. Yang jelas putri Akidi Tio itu dijemput di rumahnya dan dibawa ke Polda Sumsel. Sulit dibantah bahwa pribadi Irjen Pol Eko Indri Heri dan Prof dr. Hardi Darmawan, setidaknya pihak-pihak yang dikerjai telak keluarga Akidi Tio.
Motifnya apa belum jelas. Bisa jadi itu hanya halu saja dari keluarga Akidi Tio, yang menyebabkan berita sumbangan hibah mulia itu jadi berita nasional. Harusnya Irjen Pol Eko Indri Heri itu mengecek kebenarannya, bisa dengan investigasi atas kebenaran uang Rp 2 T. Bukan main percaya begitu. Masa sekelasnya itu bisa dikecoh, dan buat seremoni penyerahan uang segala. Hasilnya cuma pepesan kosong. Itu kelalaian yang mestinya tidak boleh terjadi.
Kalau saja yang lalai manusia tengil yang biasa memilih nyinyir dalam narasi-narasinya, semacam Ade Armando dan cs nya, itu sih passion-nya, memang kerjaannya.
Begitu dengar ada keluarga Akidi Tio dengan bantuan hibah Rp 2 T, langsung ia muncul lewat Cokro televisi, media para buzzer, ia puji-puji pengusaha keturunan Tionghoa, itu sih tidak masalah. Siapa yang tidak respek pada bantuan dengan nilai fantastis itu. Tetapi yang jahat tambahan narasi, meski tersirat, yang mengecilkan pihak lain. Hal yang tidak semestinya diumbar.
Narasi tambahan itu, adalah “… Rp 2 T itu uang semua, gak pakai pasir.”
Apa hubungan uang semua itu dengan pasir, aneh ya… Gak aneh jika kenal dengan pakar komunikasi dari UI itu, yang memang hobinya “menggaruk”. Kata “pasir” itu dikesankan pada padang pasir. Dan itu etnis dan ideologi tertentu, Arab dan Islam. Kalau ditanya lagi, apa hubungan Arab-Islam dengan Akidi Tio yang Tionghoa-non muslim, tentu untuk gambarkan kedua etnis itu punya sifat kedermawanan yang berbeda. Dan laku Ade ini rasis yang sebenarnya. Rasisme itu faham biadab.
Narasi yang digunakan manusia tengil satu ini berbahaya. Dan cenderung adu domba dengan membesarkan etnis tertentu dan menjatuhkan etnis lainnya. Harusnya manusia satu ini ditangkap sejak dulu-dulu. Tapi ia aman-aman saja, seakan terlindungi. Dan karenanya terus mengumbar narasi jahanam.
Setelah keluarga Akidi Tio yang dibangga-banggakan dengan sumbangan Rp 2 T yang gak pakai pasir itu, cuma pepesan kosong alias tipu-tipu/prank… terus si tengil ini lalu lakunya pasti kelojotan nahan rasa malu. Apa masih punya rasa malu, tampaknya sih sudah digadaikan. Mestinya malu dong, dosen kok lakunya mirip preman pasar, yang koar-koar lalu lari terbirit-birit.
Lagi-lagi kok pengen ya pakai istilah Geisz Chalifah, pegiat sosial media, yang tepat saat mendefinisikan manusia tengil satu ini dengan sebutan, “bajingan beselimut dosen” (*)