Efektivitas baliho itu diragukan mampu mengerek elektabilitas Puan Maharani. Suara yang muncul, “rakyat gak butuh baliho tapi butuh makan”
Pagi kemarin, Jum’at (13/8), sebuah video singkat dikirim seorang kawan. Dan lalu kawan lain dan lain lagi mengirimnya video yang sama. Tampaknya video itu viral ke mana-mana. Video itu tentang Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang dengan beberapa kawan menyertainya sedang gowes.
Dengan pakaian komplit ala pembalap sepeda profesional, ia benar-benar tampak menikmati pagi harinya dengan berolah raga. Senang melihat video itu di detik-detik awal, sebelum terkaget dengan ulah yang dilakukannya. Tidak ada yang salah sih, meski itu lagi-lagi pansos yang dimunculkan.
Ia hampiri becak demi becak yang dijumpainya di rute ia bersepeda. Saat pengemudi becak itu duduk tepekur, yang bisa jadi sedang berpikir akan sarapan apa pagi ini. Lalu seperti mimpi, datanglah rombongan pesepeda tadi, dan Ganjar lalu memberi uang. Sepertinya Rp 100 ribu nilainya, dan para pengemudi becak tampak sumringah menerimanya. Mimpi apa semalam pikirnya.
Dalam adegan video singkat itu, sesekali Ganjar menoleh pada kawan di belakangnya yang tengah mengambil gambar, entah ingin menampakkan wajahnya agar dikenali, atau memberi instruksi yang entah apa maksudnya. Tampaknya ia ingin pastikan pengambilan gambarnya sempurna.
Ada lagi adegan Ganjar yang mengulurkan uang pada pengemudi becak yang tengah mengais becaknya. Tampak wajah pengemudi becak itu senang bukan alang kepalang. Entah pagi itu berapa ratus ribu atau mungkin juta, bagi-bagi uang itu disebar Ganjar.
Kasihan juga sebenarnya para pengemudi becak lainnya yang tidak kecipratan rezeki bagi-bagi uang ala Ganjar Pranowo. Entah berapa banyak pengemudi becak, misal di Semarang saja, tentu tak terhitung jumlahnya. Jika lalu yang tidak kebagian itu nekat ngeluruk Kantor Gubernur Jawa Tengah, meminta juga bagian saweran ala Ganjar, apa gak puyeng.
Apa yang dilakukan Ganjar Pranowo bagi-bagi uang pada pengemudi becak dengan divideokan, itu laku pansos. Sama juga dengan pansos lainnya. Misal, Tri Rismaharani (Risma), Mensos, yang ketemu gelandangan di jalanan elit Jakarta. Lalu terjadi dialog, dan menjanjikan pekerjaan terhormat pada gelandangan tadi…
Bu Risma pansosnya agak kasar. Skenarionya lemah dan kedodoran. Mana ada gelandangan di Jalan MH Thamrin dan Sudirman, Jakarta. Sedang Ganjar pansosnya berkualitas dan efektif, maka ia pilih bagi-bagi fulus pada si miskin. Modal yang dikeluarkan Ganjar tidak besar, tapi tampaknya cukup efektif “mengelabui” mereka yang tidak mampu melihat, bahwa itu sekadar pansos alias pencitraan.
Melawan Partai dengan Senyap
Baliho Puan Maharani yang bertebaran seantero negeri, khususnya di Jawa, tentu menghabiskan biaya tidak kecil. Satu baliho yang dipasang di kota dan pada jalan strategis, harga pemasangan dan kontrak iklannya bisa ratusan juta. Entah berapa ratus baliho yang dipasangnya, dan entah berapa besar biaya yang dikeluarkan.
Efektivitas baliho itu diragukan mampu mengerek elektabilitas Puan Maharani. Suara yang muncul, “rakyat gak butuh baliho tapi butuh makan.” Maka baliho-baliho Puan itu, juga baliho-baliho tokoh partai lainnya, disikapi masyarakat dengan negatif, “di tengah-tengah masa pandemi lha kok ada yang buang-buang uang buat baliho.”
Rakyat butuh makan, itu yang ditangkap Ganjar dengan baik. Dan bagi-bagi uang itu yang dikemas dengan gowes, lalu diviralkan. Tidak butuh banyak uang, tapi cukup mujarab untuk melawan baliho-baliho bertebaran, termasuk baliho Mbak Puan yang membesarkannya. Langkah Ganjar itu jelas langkah yang tidak ingin dihentikan oleh partainya sendiri, PDI-P.
Ganjar jalan terus menebar pesona, dan itu memang yang diandalkannya. Ganjar tahu persis bagaimana cara mengaduk-aduk emosi publik dengan cara yang dimainkannya. Sesekali ia tampak makan sendirian di emperan dekat parkiran mobil tanpa ditemani stafnya, tentu makan dengan makanan sederhana. Foto saat ia makan ditemani kesunyian itu disebar, itu juga bagian dari pansosnya. Ia ingin tunjukkan kesederhanaan pejabat tanpa birokrasi.
Pansos model demikian akan terus diproduksi untuk dijejalkan pada masyarakat yang cuma mampu melihat pemimpin secara artifisial, tanpa mampu menukik melihatnya lebih dalam lagi pada prestasi yang dibuatnya. Dan kelebihan Ganjar di antaranya, ia mampu memainkan emosi publik dengan begitu baiknya. Apa yang dilakukan Ganjar itu bukan hal yang salah, tentu tidak ada yang dilanggar.
Ganjar hanya melakukan pola efektif yang pernah dilakukan calon pemimpin sebelumnya, yang lalu berhasil. Meski pola yang dipakai Ganjar itu tidak harus sampai masuk ke gorong-gorong segala. Ganjar memakai polanya sendiri, tidak mencontoh peristiwa semacam sebelumnya.
Laku Ganjar memang tampak meninggalkan partainya, meski kata “meninggalkan” itu tidak dalam makna leksikal. Meninggalkan itu lebih pada tidak mau dengar arahan partainya, PDI-P, yang “sayup-sayup” memberi warning agar ia mampu menekan ambisi untuk jabatan lebih tinggi lagi. Ganjar tidak membantah, atau apalagi melawan partainya. Ia tetap santun sebagaimana tampilannya, tapi tetap jalan terus merebut ambisinya.
Ganjar “berani” melawan partainya, melawan dengan senyap, itu tentu tidak berdiri sendiri. Tampak ia didukung, setidaknya Presiden Joko Widodo. Ganjar sepertinya diikhtiarkan sebagai penggantinya. Itu tampak terang benderang. Sebagai ilustrasi, bagaimana para relawan Presiden Jokowi berani mengancam PDI-P, dengan akan meninggalkan partai itu pada 2024, jika tidak mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden.
Tanpa didukung kekuatan besar, bahkan bisa jadi lebih besar dari PDI-P, mustahil Ganjar berani nekat. Sebagai politisi matang, Ganjar sudah berhitung dengan cermat, bahkan jika harus meninggalkan PDI-P, partai yang membesarkannya. Setidaknya jika itu yang terjadi, maka Ganjar ingin menguatkan kebenaran adagium, bahwa dalam politik tidak ada yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. (*)