Setiap kali Indonesia memperingati hari Kemerdekaan, 17 Agustus, maka ingatan kolektif bangsa ini tertuju pada saat menjelang kemerdekaan. Terhimpunnya semua kekuatan anak bangsa untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan tersebut. Salah satu andil yang tidak kecil nilainya adalah peran dari keturunan Arab. Mereka bukan “orang lain”, tetapi sudah beranak pinak di negeri ini dan berkontribusi nyata terhadap perjuangan bangsa Indonesia.
Tengoklah, Alhabib Muhamad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad bin al-Muthahar yang lebih popular dengan panggilan H Muthahar (5 Agustus 1916 – 9 Juni 2004) yang menggubah lagu Syukur (1945), Mars Hari Merdeka (1946), dan Dirgahayu Indonesia yang menjadi lagu resmi ulang tahun ke-56 Kemerdekaan Indonesia. Lagu Syukur selalu dikumandangkan setiap upacara Kemerdekaan 17 Agustus, termasuk upacara 17 Agustus hari ini di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Selain Munthahar, kita juga mengenal Alhabib Ali Habsyi (Kwitang) yang memberikan masukan tentang hari dan waktu dibacakannya teks Proklamasi. Ada Alhabib Idrus Al Jufri yang menggagas Bendera Merah Putih. Ada Alhabib Syarif Sultan Abdul Hamid II sebagai perancang Lambang Garuda. Dan juga ada Abdurrahman Baswedan (kakek Gubernur DKI Anies R Baswedan), dikenal sebagai motor kaum keturunan Arab yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Baswedan juga aktif mencari dukungan ke negara-negara Timur Tengah atas kemerdekaan RI.
Sekitar 2 pekan menjelang proklamasi, Soekarno alias Bung Karno terserang penyakit beri-beri dan malaria. Badannya panas-dingin, lemas, dan kerap menggigil. Adalah seorang pengusaha asl Yaman , Farej Said Martak, salah seorang sahabat Bung Karno, memberikan madu Arab yang sangat terkenal, Sidr Bahiyah, yang khusus didatangkan dari Hadramaut, Yaman. Bahkan, Bung Karno sempat dirawat oleh keluarga Martak sampai ia pulih kembali dan siap memproklamirkan kemerdekaan RI pad 17 Agustus 1945 di halaman rumah jalan Pegangsaan Timir no 56, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.
Yang menarik, rumah di jalan Pegangsaan Timur no 56 itu adalah rumah keluarga Farej yang dihibahkan kepada Bung Karno. Di rumah inilah Ibu Fatmawati, isteri Bung Karno, menjahit bendera Merah-Putih pada malam sebelum teks proklamasi dibacakan oleh Bung Karno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Pada tahun 1962, atas permintaan Bung Karno, rumah di jalan Pegangsaan Timur no 56 itu dirobohkan. Lalu, diatas bangunan rumah yang dirobohkan itu didirikan Gedung Pola. Adapun tempat Bung Karno dan Bung Hatta berdiri saat membacakan teks Proklamasi, dibangun monumen Tugu Proklamasi. Dan jalan Pegangsaan Timur diubah menjadi jalan Proklamasi.
Farej bin Said bin Awadh Martak adalah putra ketiga dari empat bersaudara. Kakak-kakaknya farej adalah Djusman Martak dan Muhammad Martak, sedangkan adiknya bernama Ahmad Martak. Keluarga besar Martak dan keluarga Badjered (sesame keturunan Arab) pernh mendirikan N.V. Alegemeene Import-Export en Handel Martak Badjened yang lebih dikenal dengan Marba. Jejak Marba sampai saat ini masih bisa dilihat peninggalannya. Hotel Garuda di Jogyakarta dan di Semarang berupa Gedung Marba.
Dari Kakaknya Farej, Muhammad Martak, lahirlah Yusuf Muhammad Martak yang saat ini juga dkenal sebagai Ketua Umum GNPF-Ulama. Nama besar Martak kini dilanjutkan oleh Yusuf Muhammad Martak. Di jalan Tebet Dalam Raya, Jakarta Selatan, ada Gedung Marba yang didirkan oleh Yusuf Muhammad Martak. Dari Gedung Marba yang ada di Tebet inilah Yusuf Muhammad Martak mengendalikan berbagi bisnisnya, dari restoran, travel, tambang, dan sebagainya.
Dari sebagian fakta-fakta tersebut, adalah a-historis jika ada orang yang nyinyir terhadap kaum keturunan Arab di Indonesia. Kontribusi kaum keturunan Arab tidaklah kecil. Dan itu adalah fakta sejarah yang tidak bisa dan tidak boleh ditutup-tutupi. Wallahu A’lam.