Harus disepakati terlebih dahulu, siapa yang disebut santri? Begitu banyaknya klasifikasi tentang santri, namun saya batasi bahwa yang layak disebut santri adalah mereka yang belajar dengan ciri khas tertentu.
Oleh: Dr IlhamKadir, MA
Belajar dengan ciri khas tertentu, yakni; ada kiai sebagai sentral figur, belajar materi keagamaan yang didahului dengan ilmu alat berupa bahasa Arab dan segala jenis subjek turunannya, belajar ilmu-ilmu agama yang merupakan materi wajib, duduk atau menetap di dalam asrama atau tinggal di sekitar kediaman kiai dan mengikuti sistem pembelajaran di bawah arahan kiai, dan ada masjid sebagai sentra aktivitas. Selain itu, ada durasi belajar yang ditentukan oleh kiai. Sistem inilah yang kita kenal dengan nama pondok pesantren, dan mereka yang belajar di dalamnya disebut dengan nama: santri. Walaupun secara umum, santri tidak dibatasi usianya, namun mayoritas mereka berumur dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Tidak diragukan lagi jika santri memiliki peran sentral dalam perjuangan maupun pembangunan bangsa Indonesia. Namun banyaknya sumbangan para santri untuk bangsa ini tidak bisa dihitung, maka salah satu peran penting kaum santri adalah literasi.
Para santri merupakan penuntut ilmu yang diikat dengan budaya dan ciri khas khusus. Para santri yang berada di bawah sistem pesantren modern akan diatur hidupnya selama 24 jam. Sejak bangun tidur dini hari hingga kembali tidur di malam hari. Materi ajar tidak hanya dihitung yang ada dalam kelas, bahkan di luar kelas jauh lebih susah. Mereka diatur sedemikian rupa untuk hidup mandiri dan beradab. Sepintar apa pun seorang santri jika dua ghaeru mu’ddab, atau kurang ajar akan dianggap gagal, jika tidak bisa diatur, maka akan dipecat lalu diusir.
Di antara materi belajar yang penulis sangat senang adalah subjek insya dan muthala’ah. Apa itu? Yang bertama sesuai namanya, insya adalah mengarang, pada materi ini setiap santri diwajibkan mengarang semacam esay dalam bahasa Arab. Namanya al-insya’ al yaumiyah alias ‘karangan harian’. Jumlah kata setiap karangan dalam bentuk bahasa Arab tersebut ditetapkan, sesuai tingkatan. Kelas satu minimal seratus katas, naik di kelas dua menjadi duaratus kata, sampai kelas enam harus menulis minimal 600 kata. Ada pun pelajaran muthala’h secara bahasa adalah mengulang-ulang, tapi isinya berupa bacaan yang memberi petunjuk disebut juga qira’ah al-rasyidah. Isinya berupa bacaan-bacaan dari kisah-kisah berbagai zaman dan bangsa dalam bentuk bahasa Arab yang wajib dimengerti lalu diterangkan dalam bentuk lisan di depan teman-teman, dan dilakukan tanya jawab. Untuk kelas SMA umumnya diambil dari prosa dan puisi untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Dari dua materi di atas setidaknya telah mencerminkan suasana literasi santri di pondok pesantren, sejatinya telah dibangun sejak dini, maka sangat wajar jika banyak santri yang menjadi penulis ulung dan produktif, termasuk banyak yang menjadi sastrawan dan novelis contohnya, Emha Ainunnajib, Habiburrahman El-Syirazi, A. Fuadi dan banyak lagi. Ada pula yang menjadi pejabat seperti mentri agama, namun tetap produktif menulis, salahsatunya KH Saefuddin Zuhri yang anaknya juga pernah menjadi mentri serupa, Lukman Hakim Saefuddin. Dan banyak sekali yang menjadi intelektual, guru bangsa yang sangat produktif, sebut saja intelektual masa kini, KH Ali Yafie, Prof Din Syamsuddin, Prof Didin Hafidhuddin, Prof. Hamid Fahmi Zarkasyi, KH. Bachtiar Nasir, Dr Adian Husaini, Dr Syamsuddin Arif, dan terlalu panjang daftarnya.
Selain jadi ulama, intelektual, sekaligus penulis, banyak juga yang menjadi politisi, mendirikan partai, menjadi ketua, legislator atau menduduki jabatan politik, termasuk saat ini yang yang menjadi Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin, Mentri Pohukam, Prof Mahfud MD, mantan ketua MPR RI, Hidayat Nurwahid, Ketua Partai, Muhaemin Iskandar, Anis Matta, dan yang selevel dengan mereka.
Para santri adalah motor penggerak literasi di negeri ini, dan hasil dari literasi itu yang melahirkan karya-karya besar, baik yang diaplikasikan oleh pemerintah lewat kebijakan, maupun melalui pendekatan kultural. Terlihat jelas, dengan literasi para alumni pesantren, pemerintah makin memberikan kesempatan yang besar bagi para santri untuk berkiprah lebih jauh di berbagai sektor lapangan kerja, tidak lagi diskriminatif bahwa santri itu hanya mengurus urusan agama, tetapi santri bisa menjadi ulama, politisi, penulis, dosen, dokter, insiyur, tentara, pilot, birokrat, dan sebagainya. Sebab kita sadari, setiap kerja yang kita kerjakan hakikatnya adalah bagian dari menegakkan agama.
Terakhir, sejujurnya, saya ketika menjadi santri di Majelisul Qurra Wal-Huffadh yang kini berubah menjadi Pondok Pesantren Darul Huffadh yang bertapak di Tuju-tuju, Kajuara, Bone, Sulsel itu, bukanlah sebagai santri yang taat seperti sebagian besar teman-teman lainnya. Saya sering melanggar peraturan pondok, seperti bolos salat jamaah, berkunjung ke rumah penduduk menonton filem kungfu atau berbahasa Bugis dan Indonesia sesama teman. Pelanggaran-pelanggaran itu cukup berat kalau ketahuan, selain disebat bisa berujung pengusiran. Untuk bahasa, hanya ada dua di dalam pondok: Inggris dan Arab.
Tapi mungkin ada juga kelebihan saya, rajin membantu istri kiai di dapur: mengangkat air dari sumur (mallempa wae) untuk keperluan masak-memasak di dapur, memarut kelapa, belanja sayur, menanam padi di sawah tuk makanan santri, panen padi (massangki), menabur benih ikan di empang, merawat empang, menangkat ikan untuk dimakan para santri, bahkan sangat suka dan paling rajin jika disuruh beli rokok sama kiai. Sebab, kiai saya itu perokok berat, dan tidak sedikit para santri yang kelak menjadi alumni, mewarisi rokoknya kiai, tapi belum mewarisi ilmunya.
Terlalu panjang cerita saya di pondok, sebagian sudah saya tuangkan dalam buku saya: Negeriku di Atas Awan: novel pemantik inspirasi, (MJA, Bandung: 2020). Selamat Hari Santri Nasional. (Aza)
* Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Enrekang; Peneliti MIUMI.