Judul Buku: Filosofi Teras
Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Kompas, Jakarta, Oktober 2021, XXVII + 298 halaman
Jika Anda sedang berjalan-jalan ke kota Roma, Itali, akan mendapati rumah-rumah di pinggir jalan banyak yang berteras. Jamak juga dijadikan kedai kopi. Di teras-teras rumah yang difungsikan sebagai kedai itulah, sambil menyeruput kopi, dua-tiga orang duduk sambil berbincang-bincang, tetang berbagai hal . Dari yang ringan sampai urusan negara maupun globalisasi.
Di sekitar 300 tahun sebelum Masehi, Zeno, seorang saudagar yang beralih profesi jadi filosof asal Siprus (pulau di Selatan Turki), mengajarkan filsafat kehidupan (di dalamnya termasuk etika) di teras—teras di pinggir jalan kota Athena, Yunani. Belakangan, nama filsafatnya disebut Stoisisme atau Stoa dan dikenal sebagai Filosofi Teras. Dalam perkembangannya, Filososofi Teras menjadi acuan untuk menghadapi gelombang kehidupan, baik individu maupun komunitas atau kelompok.
Stoa cukup luas cakupannya. Dari Retorika ke Dialektika, dari Fisika ke Etika. Di wilayah Etika inilah ajaran Stoa memberi pilihan kepada umat manusia, yakni, menerima kepasrahan atau menyandarkan sepenuhnya kepada si pembuat Kehidupan, Tuhan Semesta Alam.
Di titik itulah, Henry manampiring, penulis Filosofi Teras versi Indonesia, mengelaborasi aliran filsafat tersebut sebagai pedoman untuk menghadapi dunia yang semakin maju, keras, ganas, dan mengglobal, ini. Pertama kali terbit di tahun 2018. sampai dengan bulan Oktober 2021, sudah dicetak sebanyak 25 kali. Di cetakan yang ke-25 itu, Filosofi Teras dicetak dengan edisi terbatas, dengan jaket cover yang berbeda dengan cetakan-cetakan sebelumnya dan ditambah satu bab yang berkisah tentang bagaimana mensikapi Pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia, termasuk Indonesia. Buku yang dicetak 25 kali dalam tempo 3 tahun itu menunjukkan bahwa buku ini, meskipun bertema filsafat, ternyata mampu menghipnotis pembacanya.
Bagi Henry Manampiring, Stoa bukanlah ajaran filsafat yang mengawang-ngawang, tetapi suatu konsep yag bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya, adalah pengalaman pribadi si penulis. Menurut Henry, sebelum dia belajar dan mempraktikkan Stoa, dia adalah seorang yang pemarah, mudah tersinggung, dan selalu stress jika terjebak kemacetan di jalanan Jakarta. Bahkan, Ketika dia jadi penumpang pun bisa ikut-ikutan stress. Setelah memptaktikkan, dia tak lagi merasa terganggu, bisa menikmati keadaan. Bahkan, Ketika menyaksikan ulah para pengemudi lain yang, menurutnya, ajaib dan yang aneh-aneh di jalanan, dia bisa tetap tenang dan tidak emosional.
Buku yang sedang kita perbincangkan ini sejatinya adalah buku yang mengajak pembacanya untuk ber-akrab-akrab dengan kehidupan, sekaligus menikmatinya. Ada tema Selaras Dengan Alam, Memperkuat Mental, Hidup di Antara Orang-orang yang Menyebalkan, Menghadapi Kesusahan dan Musibah, Menjadi Orang Tua, tentang Kematian, dan sebagainya.
Jika kita telusur lebih jauh, Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring ini adalah buku filsafat dengan bahasan yang ringan dan, lebih dari itu, terapan. Ia menjadi genre baru di blantika perbukuan Indonesia. Tiga puluh tahun lalu, tepatnya 5 Desember 1991, sebuah buku fiksi filsafat, Dunia Sophie, yang ditulis oleh Jostein Gaarder, diluncurkan. Aslinya berbahasa Norwegia. Setelah dialih-bahasakan ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 1995, dunia mulai mengenalnya. Buku ini menjadi laris manis dan diterjemahkan ke dalam 50 lebih Bahasa dunia, termasuk dalam Bahasa Indonesia.
Bukan tidak mungkin, jika Filosofi Teras diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, ia akan menjadi buku filsafat praktis yang mendunia.