Gelagat gagasan amandemen ini kenyataannya terus menggelinding cepat. Ia memiliki alasan yang kuat dalam menyampaikan ikhwal amandemen terbatas UUD NRI 1945 tentang penambahan kewenangan MPR menerapkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN).
Menghadirkan PPHN ini dianggap sangat urgen (penting) agar arah pembangunan bangsa tidak sepenuhnya diserahkan kepada presiden. Akan tetapi, setiap presdiden yang nantinya terpilih setiap lima tahun memiliki program kerja yang berkesinambungan.
Saat ini, kita menyaksikan dari forum ke forum aktualisasi wacana amandemen ke 5 terus dikembangkan dan dimatangkan. Termasuk membersihkan kecurigaan yang muncul, seperti sinyalemen bahwa gagasan ini diangkat kepermukaan agar Presiden Joko Widodo dapat dipilih kembali untuk ketiga kalinya. Embrionya dimulai dengan mengembangkan isu soal perlunya Indonesia memiliki lagi Garis-garis Besar Haluan Negara.
Hal ini dimaksudkan supaya program pembangunan berkesinambungan. Skenarionya melalui amandemen UUD 1945, presiden dipilih kembali oleh MPR dan bertanggung jawab kepada MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Bola isu yang sangat jelas mengancam demokrasi dengan mengabaikan ketaatan kepada konstitusi. Presiden Joko Widodo memberikan atensi dengan merespon cepat isu tersebut. Ia menolak, bahkan menuduh para penghasut ingin menampar muka, cari muka, dan menjerumuskan.
Penegasan presiden tentu saja memberi konfirmasi kepublik yang sangat jelas dan tegas. Bahwa ketentuan pembatasan jabatan presiden sangat penting untuk mencegah kembalinya sistem otoriter yang lalim. Sekali lagi, ketegasan Presiden Jokowi sangat sahih sehingga dampak isu itu dapat padam lebih cepat.
Di Amerika Serikat sebagai “kiblat” demokrasi modern, pembatasan dua kali masa jabatan (priode) memerlukan sekitar 200 kali usulan mulai 1706 sampai 1940. Akibatnya, tahun 1950 amandemen ke 22 konstitusi membatasi jabatan presiden hanya dua kali kepemimpinan. Dengan demikian, pernyataan Presiden RI ke -7 bahwa cukup hanya dua priode adalah merupakan wujud tegak lurus dengan garis aturan yang sudah ditetapkan. Tentu saja, hal yang melegakan dan yang tak kalah pentingnya adalah menunjukkan sikap yang tertib/taat konstitusi.
Terlepas dari wacana pelaksanaan amandemen ke 5 UUD NRI 1945, dalam ranhka memperbaiki sistem ketatanegaraan yang diatur dalam undang-undang dasar, idealnya mampu menampung berbagai dimensi strategis dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Aspirasi masyarakat menghendaki adanya kejelasan, kepastian, ketertiban dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari melalui sistem ketatanegaraan yang presisi, akuntabel, dan terukur demi terciptanya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sistem ketatanegaraan Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 adalah produk politik sebagai resultante dari berbagai kepentingan politik masyarakat dan daerah, yang niscaya akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, perubahan merupakan sesuatu yang pasti untuk sebuah produk peraturan, termasuk undang-undang dasar.
Yang terpenting saat ini, bagaimana negara secara riil memberikan perlindungan kepada rakyatnya (responsibility to protect), termasuk negara wajib memberikan setiap warga tanah hak milik untuk dikelolanya (digarap), serta menciptakan kesempatan kerja setiap angkatan kerja. Hal itu, demi membuktikan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya benar-benar dinikmatinya selaku pemilik republik dan menjadi tuan negerinya sendiri.
Namun, celakanya saat ini penguasaan tanah masih sangat timpang dan distribusi yang sangat tidak adil terhadap kepemilikan lahan. Ada kelompok yang memiliki tingkat kepemilikan areal yang sampai 100 atau 1000-an hektar. Di sisi lain ada rakyat (petani) yang turun-temurun tidak memiliki sejengkal pun areal tanah. Ketimpangan dan diskrimansi itu haruslah dirumuskan dalam konstitusi, yang mampu mengakomodasi kepentingan hajat hidup rakyat Indonesia. Akhirnya, ke depan norma konstitusi yang menyoal perekonomian yang termaktub dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 akan sarat dengan tambahan materi muatan terutama berkaitan kesejahteraan, apalagi di tengah perekonomian rakyat Indonesia yang masih dalam kondisi karut-marut. (Aza/Habis)