Membicarakan Anies Baswedan serasa tak habis-habis. Jika dibicarakan dengan fair, maka hanya kebaikan yang muncul dihadirkan. Jika coba ditutup-tutupi apalagi dibicarakan dengan tidak sebenarnya, maka yang muncul adalah pembelaan pada karya-karyanya yang terus bertumbuh tak habis-habis.
Semacam serial kebaikan yang dimunculkan saat-saat tertentu, dan dilanjut dengan kebaikan-kebaikan berikutnya susul menyusul. Sepertinya tidak ada waktu jeda mengikhtiarkan kebaikan. Anies Baswedan semacam dirigen mengorkestrasi pemerintahan di DKI Jakarta berjalan dinamis kreatif dengan tidak meninggalkan partitur mengikat berupa peraturan yang ada.
Maka yang tampak adalah serial indah dipandang, dan suara merdu mendengung tidak cuma pada regional terbatas. Setidaknya itu yang terkesan dihadirkan warga diluar Jakarta melihat sosoknya. Jika ia disambut dan dielukan, itu hal sewajarnya layak diterima. Ke mana kaki melangkah bumi dipijak pun menyambut dengan suka cita.
Anies terus merangkai cerita tidak sekadar dongeng pengantar tidur. Tapi pada realita karya yang dihadirkan susul menyusul saban waktu, yang itu bisa dilihat penduduk seantero negeri. Maka wajar jika kehadiran Anies ke daerah dielukan dengan penghormatan berlebihan, tentu itu dalam pandangan mereka yang tidak terbiasa mengapresiasi pemberian Tuhan berupa akal agar bisa digunakan pada hal kebaikan.
Mereka tidak mampu melihat keberhasilan terang benderang, lalu bawaan buruk menyertai, itu perkara lain. Bisa sebab akal yang dipunya tidak difungsikan mampu melihat dan merasakan kebaikan dengan sebenarnya. Bawaan iri dan dengki menyertai, lalu dengan segala daya membicarakan Anies dengan tidak sebenarnya. Membicarakan Anies berkebalikan. Bahkan tak merasa malu saat klaim pada karya prestisius, yang jelas itu dibuat di masa Anies selaku gubernurnya, diakui buah karya pendahulunya. Anies disebut hanya pihak yang kebagian menggunting pita peresmian saja.
Hari-hari ini suasana klaim keberhasilan Anies mempersembahkan Jakarta International Stadium (JIS), itu coba dilakukan. Nalar sehat publik ingin dikacaukan seolah klaim itu benar adanya. Publik dianggap pihak dengan latar bodoh akut menahun. Tapi upaya sia-sia didapat atas klaim itu. Yang muncul justru sebaliknya, perlawanan akal sehat mampu menampakkan begitu jahatnya pihak-pihak tertentu menggoreng isu pemutarbalikkan fakta sesungguhnya.
Anies Sebuah Harapan
Kehadiran Anies ke beberapa kota belahan nusantara, saat memenuhi berbagai undangan pribadi, itu dipakai pecintanya yang bertumbuh di daerah untuk bisa menyapanya dari dekat. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan. Membuat panggung “menanggap” Anies. Tentu peran partai politik yang sudah merasa tidak segan menampakkan diri tanda awal “meminangnya”. Meski partai bersangkutan ada di kubu koalisi pemerintah. Di Makassar, Sulawesi Selatan, misal. Tampak Partai Nasdem memberi Anies panggung untuk berkisah tentang membangun Jakarta. Anies pun menebar energi positif, sikap optimis untuk Indonesia yang lebih baik.

Anies menjadi harapan baru. Harapan akan munculnya pemimpin yang bisa merubah wajah Indonesia, yang mulai kusut dengan berbagai persoalan: penegakkan hukum suka-suka, garis kemiskinan menganga lebar, demokrasi menuju terpasung, dan bahkan aroma menakutkan disintegrasi bangsa, itu jika tidak disikapi selayaknya.
Begitu pula saat memenuhi undangan Muskerwil DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DI Yogyakarta. Anies disambut dielukan. Setelahnya dinaikkan andong ke JEC menemui kader PPP yang sudah menunggunya. Teriakan Anies presiden muncul di sana-sini. Anies menjadi figur yang diharapkan mampu merubah Indonesia lebih baik.
Jika kemudian muncul suara nyinyir berhembus, itu hal biasa. Protes dengan menyebut, urusan apa sampai Anies repot-repot mau datang ke Yogyakarta menghadiri kegiatan partai politik di luar wilayah tugasnya. Menjadi seolah itu salah jika menyangkut Anies Baswedan. Tidak pada pemimpin daerah lain, meski yang dilakukan di luar wilayah kerjanya hanya sekadar kegiatan gowes penuh pansos.
Anies Baswedan menjadi salah satu kandidat dengan elektabilitas tinggi. Elektabilitas tidak kaleng-kaleng hasil “perselingkuhan” dengan berbagai lembaga survei. Elektabilitas Anies terbentuk oleh kerja-kerja nyata, yang hasilnya bisa dirasakan, khususnya oleh warga Jakarta. Yang itu juga setidaknya bisa terlihat ke seantero negeri. Tidak salah jika seorang kawan dari Aceh berharap agar Anies bisa hadir di bumi Serambi Mekkah. Menyapa warga Aceh dari dekat. Lanjut harapnya, “Agar Anies bisa memimpin jangan hanya Jakarta”. Maknanya, Anies Baswedan diharap bisa memimpin negeri ini di 2024 nanti. Sebuah harapan wajar, yang patut diikhtiarkan. Jika ingin hadirnya pemimpin yang membangun negeri dengan gagasan, narasi dan kerja serba terukur. (*)