Ada kebiasaan Pak AR Baswedan, kakek Anies Baswedan, yang jika menulis artikel/opini untuk media cetak, ia selalu meminta sang cucu yang mengetikkannya.
Sekaligus sang cucu yang juga “diperintah” mengantar tulisan yang dibuat itu pada media yang dituju. Jika opini itu untuk HU Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, maka Anies yang saat itu beranjak dewasa, mengantarnya ke sana. Dan bila opini untuk media yang terbit dari Jakarta, maka Anies mengirimnya via jasa Pos dan Giro.
Mengapa mesti Anies yang diperintah mengerjakan itu semua. Suatu waktu Pak AR sambil kelakar memberi alasan mengapa ia meminta sang cucu mengetik naskah yang ditulisnya. Katanya, biar jika ada salah ketik, maka saya bisa beralasan bahwa yang ketik itu cucu, yang karenanya jika ada salah di sana-sini mesti dimaklumi. Ia menyampaikan itu sambil terkekeh. Sepertinya bukan itu alasan Pak AR yang sebenarnya. Bisa jadi itu cara ia melatih sang cucu untuk terbiasa dalam hal tulis-menulis pada saatnya kelak.
Bahkan ada kebiasaan lain yang menarik diungkap. Saat sang cucu yang masih duduk di SMA melakukan perjalanan ke Jakarta untuk pertemuan dengan aktivis OSIS tingkat SMA–saat itu Anies terpilih sebagai Ketua OSIS SMA se-Indonesia–Pak AR nitip buku karyanya untuk kawan sang kakek, kawan seperjuangan dulu. Sekembali dari Jakarta, Anies juga bawa oleh-oleh buku dari kawan sang kakek tadi. Jadi saling berbalas buku di antara mereka. Keren, gak? Soal ini, Pak AR pernah sampaikan, bahwa itu cara ia untuk silaturahim dengan mengirim sang cucu untuk saling kenal mengenal di antara cucu-cucu mereka. Agar hubungan persahabatan di antara mereka tidak terputus, tetap terus berlanjut.

Sejarah Pak AR adalah sejarah kepahlawanan. Ia salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pak AR juga dikenal sebagai diplomat. Ia menjalankan misi diplomatik bersama H. Agus Salim ke negara-negara Timur Tengah untuk meminta pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Misi yang dimainkannya amat berisiko. Ia membawa surat pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Mesir, yang disimpannya dalam kaus kaki sepatunya agar lolos dari sergapan petugas negara yang disinggahinya. Negara-negara yang disinggahi, saat balik ke tanah air itu banyak yang pro Belanda. Jika ia tertangkap, tidak mustahil nyawa jadi taruhannya.
Pak AR juga pernah didapuk jadi Menteri Muda Penerangan, pada Kabinet Sjahrir. Ia juga dikenal sebagai jurnalis dan sastrawan. Satu karya bukunya, buku tipis tapi punya bobot berat, tentang rumah tangga Nabi Muhammad, berjudul Bilik Kecil Muhammad. Bahasanya sastrawi, amat indah. Dan, Pak AR Baswedan, yang menguasai bahasa Arab, Inggris dan Belanda aktif, itu juga dikenal sebagai mubaligh.
Pak AR bisa disebut kutu buku. Di rumahnya yang sederhana, di kamar bagian depan, sekaligus tempat kerjanya, tertata rapi koleksi bukunya lebih kurang 5.000 judul buku. Para mahasiswa boleh membaca buku-buku koleksinya itu untuk keperluan studi mereka. Di antara mahasiswa yang aktif membaca koleksinya saat itu adalah Anhar Gonggong, Sejarawan; Syu’bah Asa, jurnalis dan sastrawan; bahkan Ahmad Wahib, penulis buku Pergolakan Pemikiran Islam, yang wafat di usia muda; dan masih banyak yang lainnya. Saat ini koleksi buku-buku Pak AR “dipelihara” dengan rapi sang cucu, Anies Baswedan. Diletakkan dalam rak buku, di rumah joglo Anies. Rumah pribadi tempat tinggal Anies saat ini.
Pak AR seorang nasionalis tulen. Dan terbilang salah seorang yang ikut merajut Indonesia merdeka. Bahkan bersama-sama 67 anggota BPUPKI (60 anggota orang Indonesia, dan 7 orang Jepang yang bertugas sebagai pengawas), ia terlibat dalam pembuatan naskah UUD 1945. Ia adalah salah satu _founding father_ negeri ini. Karenanya, negara di tahun 2018 memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Pak AR Baswedan. Gelar yang pantas didapatnya.

Pada sang cucu, Anies, jejak darah kepahlawanan itu mengalir. Dan masing-masing dari cucu keturunannya, termasuk Novel Baswedan (mantan senior penyidik KPK), berkiprah dalam dunianya masing-masing dengan prestasi membanggakan.
Merenda Bagian Pengabdian
Siapa pula yang mengira, bahwa sang cucu “tukang ketik”, itu kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Gubernur sarat prestasi. Bahkan digadang-gadang akan menapak menuju RI-1. Elektabilitas keterpilihan Anies sebagai Presiden RI, ada di posisi teratas. Setidaknya ada di tiga besar, rilis dari berbagai lembaga survei politik. Anies, sang cucu Pahlawan Nasional ini, jalan hidupnya akan ditentukan takdir pada masanya.
Anies Baswedan terus menggelinding, seolah tanpa di- _create_, ia berjalan dengan apa yang dihadapinya. Ia mengerjakan apa yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Maka, yang hadir adalah kerja serius, kerja terukur yang terlihat nyata hasilnya. Meski berbagai pihak mencoba menutupi dengan berita penuh iri, dengki dan fitnah. Itu seolah tak terpengaruh. Anies terus merenda apa yang ingin direndanya dengan baik, dengan indah menjadi sebuah karya yang amazing.
Di mana saja Anies berkiprah, di situ keberhasilan bisa dilihat. Sebut apa saja yang pernah dikerjakan Anies, semuanya berakhir dengan penghargaan kebaikan. Anies terus menapak mengikuti jalan takdirnya. Anies terus merenda apa yang dikerjakan bagian dari pengabdian. Selanjutnya, biar pihak-pihak lain yang menilainya. Maka, elektabilitasnya yang tinggi, itu buah dari karyanya yang diapresiasi publik.
Publik sudah pandai menilai, setidaknya lebih pandai menilai, belajar dari munculnya pemimpin yang cuma bermodal pansos atau pencitraan. Yang kehadirannya jauh dari ekspektasi sebagaimana harapan. Pemimpin yang tampil seolah merakyat, tapi bekerja untuk kepentingan bohir yang mendanai kemunculannya.
Tentu tidak senacam Anies Baswedan, yang takdirnya dikitari orang-orang hebat. Di samping kakeknya yang Pahlawan Nasional. Ayahnya, Rasyid Baswedan (alm), adalah dosen pada Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta. Dan sang ibu, Aliyah Rasyid Baswedan, adalah Guru Besar Fisip Universitas Negeri Jakarta. Dalam kehidupan alam kejuangan dan intelektualitas itulah seorang Anies Baswedan dihadirkan.
Pantaslah jika panggung besar disediakan untuknya. Untuk ia bisa merenda negeri lebih luas lagi. Itu jika kita ingin memanen kebaikan, kesejahteraan, keadilan, dan seterusnya. (*)