Kita bayangkan lagi, kita muslim, lalu hidup di lingkungan nonmuslim, lalu rumah ibadah saudara kita nonmuslim bunyikan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang secara bersamaan itu rasanya bagaimana.
Yang paling sederhana lagi, tetangga kita ini dalam satu kompleks, misalnya, kanan kiri depan belakang pelihara anjing semuanya, misalnya, menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu enggak? Apa pun suara itu kita atur agar tak jadi gangguan. Speaker di musala masjid monggo silakan dipakai, tapi diatur agar tak ada merasa terganggu. Agar niat penggunaan toa dan speaker sebagai sarana dan wasilah lakukan syiar bisa dilaksanakan tanpa mengganggu mereka yang tak sama dengan keyakinan kita.
***
Demikian petikan pernyataan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qaumas ketika melakukan kunjungan kerja di Riau (23/2/2022). Pernyataan di atas hingga detik ini masih menjadi tema hangat perdebatan di berbagai kalangan, terutama di media social atau medsos, lebih khusus lagi di grup-grup whasupp. Degan itu maka, perlu penjelasan lebih komprehensif agar masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra bisa lebih arif dan bijaksana menyikapi pernyataan menteri agama tersebut.
Dengan demikian ada beberapa poin yang bisa menjadi pelajaran dalam pernyataan Menteri Agama di atas, antara lain:
Pertama. Kedudukan seorang menteri merupakan pejabat dan lambang negara, karena itu ia adalah milik bangsa. Bukan lagi milik golongan, organisasi, dan aliran tertentu. Konsekuensinya, negara harus membiayai segala kebutuhannya, mulai dari fasilitas tempat tinggal, kendaraan, hingga pakaian. Karena itu seorang pejabat sejatinya adalah pelayan, inilah yang kita kenal dalam sebuah riwayat, bahwa ra’is al-qaum khadimuhum, seorang pejabat adalah pelayan rakyat. Makanya, jangan heran kalau ada pejabat yang berbuat dan berkata salah langsung dikoreksi oleh rakyatnya, dan itulah di antara ciri negara demokrasi. Dibutuhkan rakyat yang kritis atas kebijakan dan perkataan pemerintah agar pemerintah dan atau pejabat menyadari bahwa tidak semua yang mereka ucapkan dan perbuat adalah benar, sebagai manusia kadang juga keliru dan salah.
Kedua. Pernyataan Menteri Agama di atas, tidak pernah menyebut kata ‘azan’ tetapi suara yang keluar dari pengeras suara. Maka salah paham dan pahamnya salah jika menuduh Menteri Agama melarang masjid mengumandangkan azan. Lebih konyol dan kurang ajar lagi jika melakukan aksi demo dengan memasang gambar menteri dengan kepala anjing dikarenakan salah paham dari penyataan di atas. Saya sangat sepakat kalau bunyi-bunyian apa pun itu, terutama dari toa atau pengeras suara masjid diatur. Pengalaman saya, bertahun-tahun mengajar dan juga pernah jadi imam di Malaysia tidak mendengar bunyi-bunyian selain azan, kecuali suara murattal beberapa menit sebelum berbuka di bulan puasa. Demikian pula di Indonesia, masjid-masjid yang pengurusnya berasal dari organisasi tertentu sebut saja antara lain, Muhammadiyah, Hidayatullah, Wahdah Islamiya, PERSIS, Dewan Da’wah Islamiyah, umumnya, tidak mengeluarkan suara dan bunyi-bunyian kecuali azan dan pengumumam.
Memang sering kali suara-suara yang keluar dari pengeras suara di masjid atau menara menjadi tidak nyaman. Apalagi jika dibunyikan terlalu lama, ada yang satu jam sebelum azan sudah nyanyi-nyanyi shalawatan biasa juga disebut tarhim di daerah Jawa. Bahkan di lingkungan masyarakat Betawi, khususnya ibu-ibu pengajian, mereka menggunakan toa sejak jam 08.00 pagi dikala orang sibuk bekerja hingga jelang salat zuhur. Ibu-ibu ini bahkan menggunakan fasilitas toa untuk mengabsen jamaahnya, menyebut nama setiap anggotanya, agar bergegas datang ke masjid untuk pengajian. Nah, bunyi-bunyian seperti ini saya sangat setuju jika diatur dengan baik agar tidak mengganggu masyarakat sekitar masjid.
Ketiga. Ada tiga hal yang harus diatur: durasi suara toa sebelum azan, besar volume suara, dan jenis suara. Sebaiknya, sebelum azan jika harus menyetel murattal atau tarannum cukup lima menit saja, ditambah shalawat lima menit, lalu masuk waktu azan. Setelah azan dan iqamah diberi jeda sepuluh menit, maka durasi akumulasi antara suara pertama toa di masjid hingga iqamah selama 20 menit, itu merupakan waktu yang cukup untuk siap-siap ke masjid. Para petani di kampung memiliki persiapan sebelum salat berjamaah, demikian para pedagang dan pembeli, pekerja kantoran, atau mereka yang sedang seminar, rapat, dan seterusnya. Volume juga demikian, Menteri Agama menetapkan agar bunyi-bunyian yang keluar dari toa tidak melebihi 100 db. Saya bahkan usul agar tidak usah semua masjid berlomba menghidupkan suara-suara selain azan, cukup satu dua masjid saja, diutamakan di sebuah daerah yang masjidnya berdekatan untuk menyetel tartil, shalawatan, dan atau tarhim adalah masjid agung dan masjid raya. Jenis suara juga sangat penting diatur, suara-suara pengajian, khsusnya majelis taklim ibu-ibu sebaiknya tidak usah pakai toa, cukup speaker dalam saja. Demikian pula pengajian bapak-bapak, kecual tablig akbar. Tarhim dan dzikir-dzikir serta doa-doa selesai shalat yang selama ini jadi kebiasaan umum masjid-masjid di Pulau Jawa memang layak ditiadakan karena mengganggu kekhusyuan jamaah.
Keempat. Secara metotodologis, pernyataan Menteri Agama yang menyebut kata ‘menggonggong’, tidak memiliki tujuan membandingkan antara azan dan suara anjing. Hanya saja, pernyataan ini sudah terlanjur terlontar dan menjadi milik publik sehingga menimbulkan masalah. Sekelas menteri sebaiknya tidak usah terlalu banyak memberikan keterangan yang melebihi kebutuhan pewarta. Tidak usah pula membandingkan suara toa dengan apa pun itu, apalagi gonggongan anjing, pasti bermasalah. Selain itu, suara anjing tidak bisa atau susah diatur kecuali kalau ada surat keputusan bersama beberapa menteri, termasuk menteri pertanian dan lingkungan hidup selain menteri agama untuk mengatur suara anjing an pemeliharanya. Dan sebaiknya, para menteri tidak usah terlalu sibuk mengurus bunyi-bunyian, fokus bantu presiden menangani masalah kebangsaan yang makin rumit. Wallahu A’lam! (Aza)