Jangan Sentuh Ka’bah dan Tak Boleh Berhenti di Sofa-Marwa.
Saudi Arabia akhirnya merilis syarat perjalanan haji, diantaranya sudah tak memakai tes PCR dan karantina lagi. Ini sangat berbeda saat pandemi. Inilah cerita umroh saat pandemi, sungguh perjalanan yang membutuhkan tekad luar biasa.
Setelah berada di Madinah, mulai dari proses karantina di hotel selama 4 hari hingga pelaksanaan ibadah selama 3 hari, baik di Masjid Nabawi, berkunjung ke Raudhah atau Taman Surga serta ziarah ke Makam Nabi Muhammad SAW dengan segala pembatasan, kami akhirnya bisa berangkat ke Mekah untuk melaksanakan ibadah umroh.
Jika pembatasan di Madinah terbilang cukup ketat, maka di Mekah jauh lebih ketat bahkan cenderung sangat ketat. Ada tiga ‘senjata’ yang wajib dimiliki para jamaah umroh yakni aplikasi Tawakalna, gelang yang diberikan oleh Muasasah dan Tasrih bagi rombongan jamaah umroh.
Sebelum masuk Mekah, kami melafalkan niat umroh di miqot makaniyah Bir ‘Ali dengan berpakaian ihram. Menurut protokol kesehatan yang diperbarui, mengenakan masker dan menjaga jarak sosial diperlukan di dalam Dua Masjid Suci. Hanya mereka yang memiliki status kesehatan baik, berdasarkan aplikasi Tawakkalna, yang diizinkan masuk ke tanah suci.
Kami merasakan betapa sangat ketat penjagaan di Masjidil Haram. Bahkan proses pemeriksaan dilakukan 1 km sebelum masuk Masjidil Haram dengan menunjukkan aplikasi tawakalna, gelang dan Tasrih. Selanjutnya kita menuju ke masjid dan di depan pintu masuk masjid ada pemeriksaan lagi.
Selama pandemi, pintu masuk masjid dipecah jadi dua jalur. Jalur pertama, lantai 1, diperuntukkan bagi orang yang akan menjalankan ibadah umroh, yakni Thawaf. Jamaah wajib menunjukkan aplikasi tawakalna, gelang dan tasrih. Bahkan petugas dari Muasasah harus hadir untuk menyatakan bahwa benar itu adalah rombongan jamaahnya. Sedangkan jalur kedua menuju lantai 3 diperuntukkan untuk mereka yang hanya sekedar sholat.
Yang menarik, ketika berada di lantai 1 untuk Thawaf, ternyata tidak ada pemeriksaan. Petugas tidak ada. Hanya saja begitu selesai Thawaf, jika kita terlalu lama berdiam diri, petugas akan mengingatkan agar kita bergerak atau keluar menuju lantai 3.
Saya melihat pelaksanaan Thawaf ini berjalan normal, hanya saja kita tidak boleh mendekati Ka’bah karena ada pembatasnya. Kita pun tidak bisa lagi berhenti lama untuk membaca niat Thawaf. Saat itu harus dilakukan sambil berjalan.
Kemudian untuk ibadah Sa’i dari Sofa ke Marwa, saya melihatnya sudah normal. Jika sebelum pandemi, para jamaah bisa berdoa berlama-lama di Bukit Sofa dan Bukit Marwa, maka selama pandemi ada pembatasan. Kita tidak boleh berhenti lama di Bukit Sofa dan Bukit Marwa untuk berdoa, biasanya langsung diperintahkan untuk segera berjalan. Intinya, kalau kita dalam kondisi terus bergerak, masih ada toleransi. Namun, kalau diam berdoa terlalu lama, itu dianggap kerumunan. Jadi, kerumunan yang bergerak itu dianggap tidak berbahaya dibandingkan orang yang diam terlalu lama.
Terakhir, Tahalul dimana kalau sebelumnya bisa dilakukan di atas bukit, sekarang disuruh keluar oleh polisi karena Bukit Marwa-nya ditutup.
Setelah pelaksanaan ibadah umroh selesai, ada dua kali Thawaf yang dilakukan oleh jamaah, termasuk Thawaf wada’, Thawaf perpisahaan sebelum kembali ke Tanah Air. Praktis, setelah selesai umroh, jamaah bisa melakukan sholat lima waktu di lantai 3 Masjidil Haram yang memang diperuntukkan untuk umum. Jamaah juga bisa melakukan Thawaf sewaktu-waktu tanpa memakai pakaian ihram di lantai 3.
Sebagai catatan, secara keseluruhan, meski ada berbagai pembatasan, baik di Mekah maupun Madinah sama sekali tidak terasa suasana mencekam akibat adanya Covid-19 termasuk Omicron. Semua berjalan apa adanya, meski harus tetap memakai masker. Banyak jamaah yang berbelanja, nongkrong di kafe-kafe atau hanya sekedar jalan-jalan.
Yang mencolok, Masjid Nabawi dan Masjidil Haram selama pandemi diberlakukan pembatasan. Tidak boleh I’tikaf, tidak boleh duduk-duduk di masjid yang menimbulkan kerumunan. Yang sangat berubah itu, tidak boleh berdiam lama, berkerumun, itu pasti, itu akan didekati oleh Askar.
Sebagaimana pernah saya sampaikan bahwa kunci utama keberhasilan pelaksanaan ibadah umroh dalam suasana pandemi terletak pada pemahaman para jamaah itu sendiri. Mereka harus memahami bahwa mereka tengah menjalankan umroh di tengah pandemi. Dibandingkan umroh secara normal, umroh pandemi ini tentu ada bedanya. Dibutuhkan keikhlasan dan kesabaran tingkat tinggi di samping kesiapan fisik dan mental.
Kunci sukses lainnya adalah ketaatan para jamaah terutama ketaatan pada Allah SWT dan ulil amri (pemerintah). Harus selalu ditekankan bahwa ini semua merupakan bagian dari proses ketaatan yang sedang dijalani oleh para jamaah. Alhamdulillah, jamaah yang saya dampingi semuanya happy dan ikhlas menjalani semua tahapan pelaksanaan ibadah umroh. (Yusniar/Habis)