Silahkan saja memilih kata sesukanya untuk menjulukinya. Boleh saja jika mau gunakan kata enak, nyaman, asyik, nikmat, dan seterusnya, untuk menggambarkan seorang Anies Baswedan.
Ya, menjadi Anies Baswedan itu nikmat benar. Bahkan bisa dibilang senikmat-nikmatnya manusia.
Bagaimana tidak mau disebut nikmat, jika ia cukup konsentrasi dengan kerja-kerjanya selaku Gubernur DKI Jakarta, yang akan berakhir pada Oktober 2022, tinggal 6 bulan lagi. Sedang urusan selanjutnya banyak tangan membantu mengikhtiarkan Anies memimpin negeri ini.
Mari kita mulai dengan melihat Anies Baswedan saat memimpin Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) pada Kabinet Indonesia Kerja. Di periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Anies menjalankan tugasnya dengan baik. Tidak sampai dua tahun ia menjadi menteri, tepatnya setahun tujuh bulan, meski prestasi ditorehkan–Depdikbud dari penilaian semula berada pada urutan 17 dari departemen yang ada, setelah kurang dari dua tahun lompat ke urutan 7–tapi ia dicopot juga. Tidak ada yang tahu mengapa Anies dicopot, pun yang mencopotnya Presiden Jokowi tidak memberikan alasan yang jelas. Pokoknya diberhentikan. Titik.
Sepertinya Anies tidak boleh berlama ada dalam kabinet, agar tidak menjadi matahari kembar bagi Jokowi, dan itu ancaman untuk Pilpres 2019. Itu setidaknya spekulasi yang berkembang. Anies mengganggur, tentu itu peristiwa tidak nikmat, tapi tentu tidak sampai menyengsarakan. Nganggur sebentar, lalu dipinang Partai Gerindra dan PKS untuk mengikuti Pilkada DKI Jakarta (2017).
Takdir memutar balik meletakkannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Memenangi Pilkada bersama Sandiaga Salahuddin Uno, sebagai Wakil Gubernur. Mengalahkan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Syaiful Hidayat.
Tampak nyaman perjalanan hidup Anies itu. Serasa mudah ia meraih jabatan itu, bagai roda menggelinding yang sampai pada tujuannya. Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan seabrek prestasi dibuatnya. Karenanya, tak henti provinsi DKI Jakarta diganjar berpuluh penghargaan. Tidak saja penghargaan dalam negeri tapi juga internasional. Mantap benar Anies itu.
Selanjutnya, panggung-panggung besar di seantero negeri mulai dipersiapkan guna menyambut kedatangannya.
Menjadi nikmat senikmat-nikmatnya karena perjalanan Anies selanjutnya –setelah nantinya tidak menjadi Gubernur– diurus mereka yang menyebut diri relawan, yang tumbuh di seluruh penjuru nusantara. Relawan Anies Baswedan muncul dari bawah, tidak disodorkan dari atas. Relawan muncul dengan nama bervariasi. Masing-masing bekerja dengan tujuan sama, berharap Anies Baswedan memimpin negeri ini.
Mereka bertumbuh, tanpa Anies perlu bersusah payah mengeluarkan kocek serupiah dua rupiah, guna menghadirkan relawan yang bekerja untuk Anies. Bekerja dengan tanpa merasa lelah. Penuh semangat. Meski tabuhan belum ditabuh Anies tak jadi masalah buatnya. Mereka muncul atas kesadaran sendiri tanpa diminta, dan tentu tanpa diupah. Apa gak nikmat Anies itu?
Relawan itu membuat jaringan yang lebih mengenalkan Anies sampai ke pelosok negeri. Bahkan mereka rela mengeluarkan kocek sendiri yang tidak sedikit. Kerja ikhlas jadi andalan hadirnya pemimpin negeri. Sudah sekitar enam bulanan Relawan Anies itu bergerak. Bergerak tanpa lelah dengan kreativitasnya masing-masing. Di Ramadhan ini aktivitas bagi-bagi ta’jil di jalanan menjelang buka puasa mereka ikhtiarkan di hampir setiap kota/kabupaten di mana tim relawan Anies ada di situ. Sekali lagi, biaya yang dikeluarkan itu patungan dari kocek sendiri. Apa gak nikmat jadi Anies Baswedan itu?
Anies memang belum secara terang-terangan menyatakan diri maju di Pilpres 2024. Anies tentu tahu diri, dan tetap memegang amanah menyelesaikan tugasnya selaku Gubernur sampai waktunya berakhir. Lagian belum ada partai politik Senayan yang terang-terangan meminangnya. Semua perlu waktu. Tapi munculnya relawan itu sedikit banyak pastilah mengangkat elektabilitas seorang Anies Baswedan untuk dilirik partai-partai politik.
Setelah Oktober 2022, tugas selaku Gubernur DKI Jakarta berakhir, Anies pastilah akan aktif mendatangi panggung-panggung yang sudah disiapkan jauh hari untuknya. Anies akan berselancar lincah tanpa ada halangan menempel jabatan selaku Gubernur.
Nikmat benar menjadi Anies Baswedan itu, yang meski tanpa memiliki atau bahkan tidak bernaung pada partai politik tertentu, ia bisa diterima dengan baik. Tidak semua partai politik, tapi setidaknya beberapa partai politik sudah tampak siap untuk mengusungnya.
Mengusung Anies tentu tanpa mahar politik–suatu kebiasaan ditampilkan partai politik belakangan dengan “memeras” calon yang akan diusungnya–itu sudah pasti. Memangnya Anies punya uang dari mana untuk bisa bayar mahar politik yang nilainya fantastis itu. Dan itu hal mustahil dilakukan Anies. Jika saja partai-partai politik itu akan mengusungnya, tidak mungkin bicara masalah mahar. Melihat Anies pastilah bukan soal itu. Tapi elektabilitas Anies yang meski belum di-create sudah mentereng di posisi atas. Tingkat keterpilihan Anies menjadi Presiden itu tinggi. Dan, itu pastilah berdampak pula pada kelanjutan keberadaan partai politik pengusungnya di Senayan.
Tanpa punya partai politik, dan juga tanpa harus mengeluarkan mahar, Anies dihadirkan partai politik pengusungnya hanya bermodalkan nama baik yang disandangnya selama ini. Baik selama menjabat selaku Gubernur DKI Jakarta maupun jabatan-jabatan sebelumnya, yang selalu ditutup dengan kesan manis penuh prestasi. Itulah modal utama Anies.
Nikmat benar jadi Anies Baswedan itu. Sepertinya belum ada sebelumnya di negeri ini manusia senyaman sepertinya. Nasibnya melenggang tidak perlu menawarkan diri untuk dipinang, tapi justru sebaliknya pada waktunya ia akan dipinang. Coba tanya pada para relawan yang tumbuh beribu bahkan puluh ribu, siapa yang menggerakkan mereka mau bersusah payah untuk Anies Baswedan. Jawabnya hampir seragam: ingin munculnya pemimpin negeri yang bisa mengubah nasib mereka lebih baik. Dan, Anies Baswedan jadi harapannya.
Sungguh nikmat jadi Anies Baswedan itu… Subhanallah. (Aza)