“Dan ceritakanlah, Wahai Muhammad kisah Ibrahim dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia seorang yang sangat mencintai kebenaran, dan seorang nabi,” (QS. Maryam [19]: 41).
Secara etimologis, hijrah dapat ditelusuri asal katanya dari bahasa Arab, hajara-yahjuru-hijran, atau berpindahnya seseorang dari satu wilayah ke wilayah lain, lawan kata dari ‘al-washal’ atau ‘sampai dan tersambung’. Dari segi istilah syariat, makna hijrah, menurut Ibnul Arabi, ada empat jenis, yaitu:
- Meninggalkan negeri yang sedang diperangi ke negeri aman yang dihuni oleh orang Islam;
- Meninggalkan negeri yang dihuni oleh ahli bid’ah;
- Meninggalkan negeri di mana makanan, pekerjaan penuh dengan hal-hal yang haram;
- Menyelamatkan diri demi keselamatan jiwa dan harta sebab kehormatan harta bagi orang muslim sama dengan kehormatan jiwanya, khawatir terkena wabah di negeri yang sedang dilanda wabah menular menuju negeri tanpa wabah.
Hijrah adalah ibadah para nabi terdahulu, karena keterbatasan ruang, penulis akan ketengahkan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam’, sebagai teladan sepanjang zaman, sekaligus pelajaran berharga yang penuh inspirasi. Sebab apa yang telah dialami para nabi, juga kerap berlaku pada manusia di zaman modern ini.

Nabi Ibrahim memulai dakwah dengan menyeru kaumnya untuk beribadah kepada Allah, dan meninggalkan sesembahan berhala dan bintang-bintang. Celakanya, pelopor ibadah pada berhala dan produsennya justru ayahnya sendiri, Azar. Kaumnya murka, menolak ajakan Ibrahim, lalu mereka mengibarkan bendera permusuhan.
Sampai pada titik nadir, Ibrahim diadili lalu dihukum dengan cara dilempar ke dalam api unggun yang menyala-nyala. Dia dibakar. Namun Allah jadikan api yang seharusnya panas menjadi dingin.
Peristiwa ini terjadi di Babilonia yang kala itu rajanya adalah Namruz bin Kan’an bin Kausy bin Sam bin Nuh atau Namruz bin Falikh bin Habid bin Syalikh bin Irfikhad bin Sam bin Nuh, ini adalah pendapat Mujahid. Ibnu Katsir menulis bahwa kala itu ada empat raja penguasa Timur dan Barat, dua mukmin dan dua lainnya kafir, yang mukmin adalah Nabi Sulaiman bin Daud dan Raja Zulkarnain, lainnya adalah Namruz dan Yuhtanshor, (Ibnu Katsir, ‘Tafsir Ibnu Katsir’, 1: 271).
Untuk menenangkan dirinya sesaat, Ibrahim hijrah dari Babilonia menuju Hauron, sebuah tempat yang luas di wilayah Syam. Di sana, ia leluasa dan merdeka, namun tidak lama kemudian Ibrahim kembali hijrah menuju Yaman karena kala itu Syam dilanda paceklik. Harga-harga melambung tak terjangkau.
Musim pun sangat gersang, biaya hidup sangat tinggi sehingga sulit bertahan dalam menjalani kehidupan. Ibrahim bersama istrinya, Sarah mengayungkan langkah untuk hijrah ke bumi Mesir.
Dalam perjalanan ke Mesir, ada cerita yang menarik sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullah bersabda, “Sesunggunhnya Ibrahim tidak pernah berbohong kecuali hanya tiga kali. Dua di antaranya seperti difirmankan Allah ‘Sesungguhnya aku sakit’, [As-Shaffat:89], dan firman-Nya ‘Bahkan patung yang paling besar itu yang menghancurkan berhala-berhala’, [Al-Anbiya’: 63). Satu lagi tentang keadaan Sarah, ketika datang di negeri kafir dan ia bersama Sarah. Ia sebaik-baik manusia. Ibrahim berkata kepada Sarah, ‘Sesungguhnya orang-orang di sini jika mereka tau engkau istriku, mereka akan membunuhku [untuk mengambilmu]’. Mengakulah bahwa engkau saudara perempuanku dalam Islam. Aku tidak tahu bahwa di muka bumi ini ada orang lain yang memeluk Islam kecuali hanya engkau dan diriku.’

Ketika Ibrahim memasuki Mesir mereka melihat Sarah. Ibrahim berkata, ‘Telah datang di negeri ini seorang perempuan, dan ia tidak boleh tinggal kecuali saudaramu’. Maka pergilah Sarah bersama orang-orang jahat itu, lalu Ibrahim menunaikan salat. Ketika Sarah bersama orang jahat itu, ia tidak dapat menggerakkan tangannya, lalu sarah menggenggam tangan lelaki jahat itu dengan kuat. Berkata orang jahat itu, ‘Berdoalah kepada Allah agar Ia melepaskan tanganku dan aku tidak akan mencelakaimu’. Hal ini dilakukan dua kali, dan kali kedua genggaman Sarah lebih keras. Dan lelaki jahat itu meminta Sarah berdoa kepada Allah, lalu Sarah berdoa. Lalu lelaki jahat itu datang menghadap Ibrahim dan berkata, ‘Sesungguhnya engkau memberiku sosok setan bukan manusia. Aku mengusir dia dari negeri ini dan aku menyuruhnya untuk pergi’.
Ibrahim pun pergi dan tak lama kemudian kembali ketemu istrinya. Lalu bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Sarah menjawab, ‘Baik-baik saja, Allah menahan tangan orang jahat itu, dan Ia membantuku dengan bantuan sempurna”. Abu Hurairah menyampaikan sabda Nabi, ‘Itulah ibu kalian wahai anak-anakku. Seperti air turun dari langit’.” (HR. Al-Baihaqi ‘Sunan Kubra’, 10/199).
Di Mesir, Ibrahim dan Sarah menetap dan hidup damai, dia tipe yang tenang jiwanya, santun akhlaknya, sopan prilakunya, dan pekerja keras. Maka ia memiliki harta melimpah penuh kenikmatan, dikenal luas oleh masyarakat, dan gemar bersedekah.
Setelah sekian lama tinggal di Mesir, ia kembali hijrah menuju Palestina dengan membawa bekal harta yang cukup banyak. Ibrahim tinggal di Palestina bersama sekelompok kecil orang-orang yang beriman kepadanya dan menyambut seruan dakwah. Ia tetap didampingi oleh istrinya Sarah, dan pembantunya yang cantik seorang wanita dari Mesir dan kelak jadi istrinya, Hajar.
Ibnu Katsir dalam “Al-Bidayah Wan-Nihayah, 1:150” menulis, dengan hijrah meninggalkan Mesir ternyata berdampak psikologis sangat besar bagi Nabi Ibrahim. Ia banyak mendapat hikmah dan pelajaran dari perjalanannya, baik itu cobaan-cobaan, bergaul dengan berbagai manusia, ujian-ujan menakutkan, serta berbagai iringan tantangan yang harus dihadapinya. Namun demikianlah sunnatullan yang diberikan kepada nabi bahkan seluruh Nabi dengan begitu sehingga jiwa mereka bersih karena tempaan alam dan bergulirnya waktu, serta berbagai cobaan agar mereka menjadi teladan terbaik.
Di Palestina, Sarah sudah berumur 76 tahun dan Ibrahim 85 tahun, umur yang senja untuk melahirkan. Maka Sarah mengizinkan suaminya untuk menikahi pembantunya dari Mesir itu, Hajar.
Ibrahim dan Hajar terus berdoa agar dikarunia anak. Malaikat lalu menjawab doa Sarah, Aku akan memperbanyak keturunanmu yang tak terhitung jumlahnya, kata Malaikat. “Berbahagialah. Kamu akan dikaruniai seorang anak, namailah Ismail, karena Tuhan telah mendengar permohonanmu,”.
Hajar lalu menemui suaminya, menyampaikan informasi dari Malaikat. Tidak lama kemudian, bayi itu pun lahir. Ibrahim memberinya nama ‘Ismail’ yang bermakna ‘Tuhan telah mendengar’, (Martin Lings, ‘Muhammad: His Life Based on the Earliest Source’, UK. 1991: 9).
Ibrahim mendapat wahyu dari Allah untuk hijrah menuju Hijaz, bersama Hajar dan bayinya yang baru lahir, Ismail. Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam “Fathul Bari, 2: 467”, menulis, Hajar datang bersama suaminya dengan membawa Ismail yang masih disusuinya. Ibrahim menyimpan mereka berdua di sebuah pohon yang besar di sekitar sumur zam-zam. Saat itu di Makkah tidak ada seorang manusia pun dan tidak juga ada air walau setetes. Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya serta sebuah tas berisi kurma dan tempat air yang terisi.
Lalu Ibrahim berdiri dan berbalik menghadap ke Palestina tanpa menghiraukan anak dan istrinya. Isrtinya menyusul dan bertanya, ‘Ibrahim, kemana engkau akan pergi? Engkau tinggalkan kami di sini yang tidak ada seorang manusia pun serta tidak ada yang bisa dimanfaatkan’. Hajar bahkan mengulang-ulang pertanyaan itu, tapi suaminya tidak menghiraukan. Dan akhirnya, Hajar bertanya, ‘Apakah Allah memerintahkan ini semua?’ Ibrahim menjawab, ‘Iya’. Kalau demikian, janganlah engkau merasa berat untuk tinggalkan kami, pinta Hajar. Ibrahim pun kembali ke istri pertamanya di Palestina, Sarah. Meninggalkan Hajar dan Ismail di padang tandus.
Kisah-kisah perjuangan seorang ibu menjadi orang tua tunggal di tengah pandang pasir nan tandus kelak diabadikan dalam ritual haji dan thawaf. Bahkan ketika sang anak tumbuh dewasa, dan ayahnya baru kembali membawa perintah untuk menyembelih anaknya, juga diabadikan dalam ibadah haji dan qurban. (Aza)