Sebelum kita mulai prosesi peresmian santri baru, saya persilahkan kepada para calon santri untuk masing-masing berniat, sebab setiap amal tergantung pada niatnya. Silahkan berniat! Demikian kata-kata yang selalu keluar dari KH. Lanre Said ketika melakukan prosesi peresmian santri baru.
Para calon santri wajib berniat sebelum diresmikan sebagai santri Pondok Pesantren Darul Huffadh yang berlokasi di Dusun Tuju-tuju. Pentingnya niat bagi KH. Lanre Said juga dapat ditelaah dengan slogan sekaligus jadi motto Pondok, yaitu: Belajar, Bekerja, Beramal.
Sempainya memperingati ke-47 tahun berdirinya Pondok Pesantren Darul Huffadh, maka saya turunkan tulisan ini yang akan mengulas dan menganalisa secara spesifik kedudukan niat menurut KH. Lanre Said (mahallun-niyaat ‘inda Lanre Sa’id‘). Apa keutamaan niat dan keagungannya? Sejauhmana relasi antara niat dan amal? Amma ba’du!
Ditlik dari sudut bahasa, niat berakar dari bahasa Arab yaitu ‘niyyat‘ yang kata aslinya dari nawa-yanwi. Kata ‘niyyat‘ dan ‘an-nawa’ adalah semakna. Kebiasaan orang Arab ketika menggunakan kata niat memiliki arti ‘menuju’ atau ‘alqasd‘. Karena itu, ucapan ‘nawa asy-syai’a’ berarti seseorang telah menuju ke sesuatu. Kata ‘intawa‘ juga dipakai untuk makna tersebut. Nawa al-manzil berarti ‘dia menuju ke rumah’, sama dan semakna dengan ‘intawa al-manzil‘. Orang Arab sering berkata, nawakallah bil-khaer. Semoga Allah memberimu tujuan yang baik dan mengantarkanmu sampai pada kebaikan tersebut. Mereka juga biasa berkata pada anak lelaki yang baru lahir ketika memberi nama, ‘nawatu bihi Ibrahim‘, maksudnya, ‘tujuanku memberi nama Ibrahim karena aku ingin anakku memiliki tujuan, seperti Nabi Ibrahim dan aku inginkan keberkahan dari nama tersebut’.
Dapat dipahami dengan jelas bahwa niat secara bahasa adalah sesuatu yang dijadikan tujuan atau suatu tujuan yang seseorang mengarah ke tempat tersebut. Kadang juga niat diartikan sebagai sesuatu yang mengiringi tujuan atau jatuhnya niat itu bisa mendahului dari suatu tindakan.
Selain itu arti niat biasa juga disebut al-azm atau keinginan. Niat dkhususkan untuk suatu pekerjaan yang didasari dengan ‘keinginan kuat dari hati’ seseorang. Ketika terucap kata, nawaitu, berarti ‘aku memiliki keinginan atau hasrat’.
Ada pun pengertian niat secara istilah syariat menurut Qadhi Al-Baidhawi adalah keinginan dan usaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik demi mendapat ridha Allah dan mengaplikasikan hikmah-hikmahnya. Al-Asyqar dalam “Maqashidul Mukallafin [1]: An-Niyaat fil-Ibadah, Yordania: Darun-Nafais, 1999″ membagi makna niat secara istilah menjadi dua. Pertama. Keinginan untuk melakukan sesuatu yang diikuti dengan perbuatan atau keinginan yang disertai perbuatan untuk mewujudkan keinginan tersebut atau keinginan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang. Karena itu, syariat menetapkan makna niat dengan keinginan disertai perbuatan. Kedua. Niat adalah segala perbuatan yang bertujuan mendapatkan ridha Allah.
Niat juga memiliki hirarki. Niatnya orang awam adalah bagaimana mencapai target dan tujuan dari pekerjaan tersebut dengan melupakan nilai tambah dari target itu. Niat orang yang tidak mengerti adalah untuk menjaga dari hal-hal yang negatif dan menghindari musibah, niat orang munafik adalah untuk menarik perhatian di depan manusia dan Allah, sedang niatnya ulama adalah untuk melakukan sesuatu karena didasari taat kepada Allah semata.
Karena itu, Salim Segaf Al-Jufri menjabarkan hakikat niat dengan mengutif beberapa pandangan ulama. Seperti Ibnul Qayyem yang berkata, Amal tanpa keikhlasan dan niat, laksana musafir yang mengisi bekalnya dengan krikil pasir, memberatkan perjalanan tapi tidak ada manfaatnya. Al-Jauhari berkata, Niat adalah tujuan yang terbesit dalam hatimu dan menuntut darimu. Al-Khathabi berkata, Niat adalah dorongan hati yang dilihatnya sesuai dengan satu tujuan berupa mendatangkan manfaat atau menghindari mudharat dari sisi keadaan maupun harta. Al-Mawardhy berkata, Niat adalah tujuan sesuatu yang disertai pelaksanaannya. Jika hanya sebatas tujuan, itu disebut kemauan yang kuat.
Relasi antara niat, belajar, bekerja, dan beramal adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika salah satunya dicopot akan merusak yang lainnya. Sebab niat yang kita maksud sebagai keinginan merupakan sifat hati yang senantiasa disertai dua perkara yang harus mendahuluinya: ilmu dan amal. Ilmu mustahil didapat tanpa dengan belajar, hanya dengan belajar orang dapat berilmu, beriman, dan bertakwa, sehingga menjadi wasilah datangnya pengetahuan, pada titik akhir akan menjadi amal, dan amal adalah buah dari ilmu. Maka bekerja, adalah sebuah usaha yang dilakukan untuk mewujudkan al-qasdu, dan kehendak atau ‘al-qasdu’ itu bersifat ‘ikhtiari”, pilihan. Kadang pula, kehendak itu muncul akibat dari adanya satu aksi. Artinya sebuah kehendak tidak akan tercapai selain bekerja yang didahului dengan pengetahuan.
Imam Al-Gazali, dalam “Ihya Ulumuddin” juga menerangkan masalah ‘al-qashdu’ atau ‘tujuan’ yang harus berbekal ilmu. Katanya, Manusia membutuhkan sesuatu yang dapat membantu mempermudahnya untuk mewujudkan segala keinginannya yang menghindarkannya dari segala sesuatu yang berbahaya baginya, dan sesuatu itu adalah pengetahuan. Oleh karena itu, manusia harus mengetahui perkara yang berbahaya baginya sehingga dia dapat menghindar dari perkara tersebut dan mengetahui perkara yang bermanfaat baginya sehingga dia dapat mengambil manfaat dari perkara tersebut. Orang yang tidak melihat dan mengetahui bahwa sesuatu itu adalah makanan, dia tidak akan mungkin memakannya, dan orang yang tidak dapat melihat api, dia tidak akan lari darinya. Itulah sebabnya, Allah menciptakan hidayah [petunjuk] dan ma’rifah [pengetahuan] dan menjadikan bagi keduanya perantara lewat indra yang lahir dan batin,”.
Niat dalam pekerjaan dan ibadah yang bersifat pilihan tidak akan dilakukan oleh manusia tanpa didahului dengan keinginan untuk melakukan perbuatan tersebut. Inilah yang dimaksud dalam hadis Nabi, “Asdaqul-asmaa’ haaris wa hammaam. Orang yang paling jujur adalah Haris dan Hammaam”, sebab keduanya senantiasa berkata jujur kepada setiap orang. Dan setiap orang adalah ‘haris’ atau ‘memiliki kemampuan dalam melakukan pekerjaan’, sebagaimana setiap orang adalah ‘hammaam’ yang ‘selalu memiliki keinginan untuk perbuatan-perbuatan tertentu’. Maka, setiap pekerjaan yang bersifat ‘pilihan’ harus dilakukan dengan niat. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Berniat untuk suatu pekerjaan adalah sesuatu yang sangat penting bagi jiwa, seandainya setiap hamba dibebani untuk melaksanakan suatu pekerjaan tanpa niat, sesungguhnya mereka telah dibebani dengan sesuatu yang tidak akan dapat mereka kerjakan,” (Ibnu Taimiyah ‘Majmu’ Fatawa [20]: 359).
Masih terkait relasi niat dan pekerjaan. Berkata Ibnu Hazm, Niat adalah rahasia ruh dan ibadah, kedudukannya seperti posisi roh bagi tubuh, karena sangat mustahil jika ada perbuatan yang tidak memiliki ruh, dan perbuatan yang tidak memiliki niat sama dengan jasad tanpa roh. Jika kita telaah lebih dasar lagi, hakikatnya, zat yang dibebani oleh agama untuk memikul beban syariat adalah jiwa manusia, bukan badannya. Tubuh hanya sebagai alat untuk menunaikan beban tersebut. Maka apabila jiwa telah kehilangan pentunjuk arah dalam melakukan beban syariat berupa keikhlasan dan niat, maka apa pun yang dilakukan oleh raga hanya berupa kesia-siaan.
Niat sangat berpengaruh pada nilai sebuah pekerjaan, niat mampu mengubah mubah jadi haram, atau akan menjadi halal. Seperti menyembelih hewan ternak, jika penyembelihan dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka hukumnya akan halal, akan tetapi jika dilakukan selain untuk Allah maka berubah jadi haram. Ibnul Qayyem dalam “Ar-Ruuh” menulis, “Suatu perkara yang bentuknya sama, kadang dapat terbelah menjadi dua bagian: terpuji dan tercela. Seperti tawakkal dan putus asa; mengharap dan berangan-angan; mencintai karena Allah dan mencintai dengan Allah; mencintai dakwah karena Allah dan mencintai jabatan; meninggikan perintah Allah dan bersikap tinggi hati; memohon maaf dan merendahkan diri; memberi hadian dan memberi suap; membicarakan nikmat-nikmat Allah sebagau wujud syukur dan berbangga-bangga dengan nikmat tersebut; dan seterusnya. Seluruh perbuatan yang pertama kali disebutkan di atas adalah perkara-perkara yang terpuji, sedengkan yang kedua adalah perkara tercela, perberaan keduanya tidak dapat dipisahkan kecuali dengan niat,”.
Niat bukanlah segala yang melitas dalam alam fikiran, bukan pula sekadar bisikan hati, niat merupakan tekad dan terencana. Karena itu, dalam melakukan analisa jika terjadi kriminal, katakanlah perampokan dan pembunuhan, maka pelaku kejahatan akan dicari akar masalahnya, apakah sejak awal memang sudah ada niat untuk melakukan aksi kejahatan. Misalnya, keluar rumah dengan membawa senjata tajam, punya pemetaan lokasi, mengetahui situasi dan suasana tempat akan melakukan aksi, dan seterusnya. Jadi niat akan menjadi penentu, lalu kedua adalah kesempatan. Ada niat tapi tidak ada kesempatan, akan tetap terjadi, begitu pula kadang tidak ada niat, tapi ada kesempatan, kejahatan boleh saja terjadi.
Maka agama kita mengajarkan bahwa bekerja dan apalagi beramal harus didahului dengan niat. Bahkan seseorang yang hanya punya niat yang benar tapi tidak mampu mewujudkan niatnya dia akan mendapat balasan sama persis dengan orang yang melakukan kebaikan tersebut. Contoh, hadis Nabi diriwayatkan Imam Muslim, 13/55-56. “Siapa yang meminta kepada Allah dengan benar agar menjadi orang yang syahid maka Allah akan menyampaikan kepada derajat para syahid, walau dia mati di atas kasurnya,”. Riwayat lain, seorang sahabat meninggal dunia pada zaman Nabi, padahal dia telah bersiap untuk berperang. Putrinya dengan nada sedih berkata, “Aku berharap semoga engkau menjadi seorang syahid, kerena engkau telah mempersiapkannya”. Rasulullah bersabda, “Qad awqa’allahu ajrahu ‘ala qadri niyatihi. Allah telah memberikan balasan kepadanya sesuai dengan kadar niatnya,” (H.R. An-Nasa’i, 4/14).
Tepat sekali, KH. Lanre Said mewajibkan bagi segenap calon santri untuk berniat sebelum diresmikan, sebab di situlah letak landasan pacu bagi setiap santri. Jika landasannya kuat dan kokoh, maka ia akan tetap tegar bertahan walau cobaan sebesar apa pun, ibarat karang yang tetap kokoh walau diterjang gempa tsunami sedahsyat apa pun, inilah yang akan menjadi bibit-bibit unggul, ketika disemai akan tumbuh subur dan berbuah. Awalnya memang hanya satu biji, tetap akan bercabang jadi tujuh, dan setiap cabang punya hasil hingga tujuh puluh tujuh dari jumlah itu akan lahir angka yang tidak terbatas. Filosofi peresmian santri pada jam tujuh pagi, di tanggal tujuh, dengan tujuh santri, berlokasi di Tuju-tuju, bukanlah sebuah kebetulan, tapi dengan niat dan tekad yang kuat (al-azmul-muakkad).
Sebaliknya, santri yang sejak awal tidak punya niat untuk belajar dengan baik di pondok, akan rapuh jiwanya, dan lemah keinginannya untuk bersaing dalam kebaikan. Jiwa-jiwa yang lemah inilah yang dimaksud KH. Lanre Said sebagai ‘jatah setan’. Ia sering menyampaika jika ada sepuluh santri yang diresmikan, namun hanya lima yang lolos, sesungguhnya kita sudah kalah sama setan, paling tidak kita dapat ‘jatah enam santri’. Sekali lagi, niat awal sebelum resmi jadi santri Pondok Pesantren Darul Huffadh adalah tonggak kesuksesan seorang santri. Sukses belajar hingga level tertinggi, sukses bekerja dan berkarir dimana pun ia merintis karir dan pekerjaan, dan yang paling penting dari semua itu adalah, menjadikan aktivitas belajar seumur hidup, bekerja untuk diri, keluarga, dan umat yang dilandasi dengan niat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya zat yang berhak diibadahi. Itulah hakikat filosofi “belajar, bekerja, beramal” yang menjadi prinsip para santri di bawah asuhan KH. Lanre Said dan penerusnya. Selamat Hari Jadi Pondok Pesantren Darul Huffadh ke-47. Barakallah fi umrik!
Enrekang, 7 Agustus 2022 M/9 Muharram 1444 H.