Ibnu Sina seorang genius yang orisinil [mukhtara’], satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri yang bukan pinjaman di langit kebudayaan~Mohammad Natsir.
Ibnu Sina, adalah tokoh yang saat ini cukup hangat diperbincangkan kembali, bukan mendiskusikan sumbangannya kepada peradaban dunia, sebagaimana para intelektual secara umum, baik para oreintalis maupun pemikir Islam. Melainkan yang dibahas panjang lebar adalah hal remeh dan receh serta tidak substansial.
Bukan ulama dan, atau intelektual yang mendiskusikan akan kepeloporan Ibnu Sina dalam pelbagai ilmu pengetahuan, melainkan golongan supaha’, mereka mengampanyekan agar Ibnu Sina dinegasikan sebagai ulama dan intelektual dalam sejarah peradaban Islam. Alasannya cukup dangkal, karena konon katanya (qiila wa qaala) Ibnu Sina itu penganut paham Syia’ah, Zindiq, bahkan telah kafir, karena itu seluruh aksesories yang menggunakan namanya supaya dilenyappkan.
Nama sebenarnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn Abdullah Ibn Sina. Penyebutan namanya saja sudah menimbulkan kontroversi di kalangan ahli sejarah. Sebagian mengatakan nama tersebut diambil dari nama latin “Avin Sina”, dan sebagian lainnya mengatakan bahwa nama itu diambil dari kata, Al-Shin, yang dalam bahasa Arab berarti Cina, artinya Ibnu Sina lahir di Cina. Pendapat lain mengatakan bahwa ia lahir di Afshana sehingga disebut Sina, sebuah kota kecil dekat Charmitan, kawasan Asia Tengah, (Imam Mumawwir, “Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa”, Surabaya, 1985: 325).
Ibnu Sina lahir pada 370 H, bertepatan dengan 980 M. Ketika lahir, ayahnya yang bernama Abdullah adalah seorang Gubernur di wilayah Afganistan. Walaupun ayahnya penganut Syiah Isma’ilyah dan dilahirkan dalam lingkungan masyarakat yang menganut paham Syi’ah Isma’iliyah, akan tetapi beliau mengembangkan pemikiran dengan caranya sendiri untuk mencari kebenaran, dan tidak ada satu buktipun menunjukkan kalau ia menganut paham Syiah. Dengan sangat rasional Ibnu Sina juga mampu menghadirkan inovasi yang cemerlang dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu tentang pendidikan. Sebelum berumur 10 tahun, Ibnu Sina telah menghafal al-Qur’an, sekaligus sebagai ahli puisi Persia, (Kurniawan & Mahrus, “Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam”, Jogjakarta, 2011: 76).
Karya tulis ulama kesohor itu cukup banyak, dan hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra Arab, ia adalah ulama yang memiliki kepakaran terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan atau polimatch. Ibnu Sina menulis sebanyak 450 risalah. Dari sekian banyak karya itu, karya Ibnu Sina yang paling terkenal adalah kitab al-Syifa’ (Kitab Penyembuhan) yang terdiri dari 18 jilid, dan buku Qanun fi al-Thibb (Undang-undang Kedokteran), diterjemahkan dalam bahasa Latin, dijadikan mata pelajaran fakultas kedokteran di Universitas Montpellier Francis, dan Universitas Lourain Belgia.
Jika ditelaah secara historis, memang suasana dan kondisi sosial pada zamannya sangat kacau, ketika itu fitnah antarsesama kaum muslimin berbagai negeri berkecamuk tanpa jeda, ditambah dengan kekacauan politik terus meningkat, pertentangan antar madzhab fikih dan aliran teologi tak pernah surut, umat Islam benar-benar berada dalam titik nadir. Kondisi itu menunjukkan berapa akut dan bobroknya akhlak kaum muslimin, namun kondisi sedemikian rupa baik secara langsung maupun tidak, memberikan pengaruh besar dalam perkembangan intelektual Ibnu Sina, dari sana pula ia menyusun formasi cara menangani generasinya, (Ramayulis & Syamsul Nizar, “Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Nasional”, Ciputat, 2005:31).
Fokus tulisan ini akan mengangkat sisi lain dari Ibnu Sina. Jelas, tidak ada yang mengingkari keilmuannya, terutama dalam dunia kedokteran dan filsafat. Namun, bagaimana sumbangsihnya dalam dunia pendidikan? Tulisan singkat ini akan memaparkan konsep pendidikan Ibnu Sina yang meliputi tujuan, kurikulum, dan konsep guru.
Menuurt pemilik nama latin Evicenna itu, tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan segenap potensi yang dimiliki seorang ke arah perkembangan yang sempurna, baik fisik, intelektual, hingga adab. Kecuali itu, pendidikan juga harus diarahkan untuk mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di tengah masyarakat secara berkomunitas, dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecendrungan, dan potensi yang dimiliki.
Dalam pengembangan jasmani, seorang anak didik harus diperhatikan asupan gizinya, disertai dengan olahraga yang teratur, istirahat yang cukup serta menjaga kebersihan. Ibnu Sina berpendapat bahwa inti dari pendidikan adalah yang bisa menjadikan seseorang hidup bahagia. Dengan pendidikan olah raga maka anak akan tumbuh fisiknya, dan cerdas otaknya. Sedangkan pendidikan adab diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan santun dalam pergaulannya sehari-hari. Dengan pendidikan keseniaan, seorang anak diarahkan untuk mempertajam perasaan dan meningkatkan daya imajinasinya.
Pendidikan yang bersifat vokasional juga menjadi perhatian khusus Ibnu Sina, agar peserta didik yang terbatas secara kemampuan intelektual untuk tidak belajar materi yang bersifat filosofis namun seharusnya diarahkan untuk belajar dalam bentuk praktis, seperti pendidikan di bidang pertukangan, penyablonan, dan semisalnya. Dari program tersebut akan lahir tenaga dan pekerja terampil profesional. Secara umum, Ibnu Sina menginginkan agar penddikan mampu menjadi wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik secara seimbang dan menyeluruh, dan pada akhirnya, ia mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah di tengah masyarakat.
Ada pun kurikulum, Ibnu Sina melakukan klasifikasi berdasarkan umur peserta didik. Untuk anak usia 3 sampai 5 tahun, maka anak-anak perlu diberikan mata pelajaran olah raga, adab-adab, kebersihan, seni suara, dan kesenian, (Ibnu Sina, “Kitab As-Syiasah fi At-Tarbiyah”, Kairo, 1906: 1076). Pada usia 6 sampai 14 tahum, menurut Ibnu Sina, pelajaran yang tepat adalah membaca, menghafal al-Qur’an, pelajaran agama, syair dan olah raga. Ia menjelaskan kenapa pelajaran membaca dan menghafal begitu penting di usia emas ini. Menurut Ibnu Sina, kedua pelajaran itu sangat penting karena anak-anak akan beribadah sepanjang hayatnya, dan memerlukan hafalan dari ayat-ayat al-Qur’an, sekaligus sebagai pendukung jika kelak ia belajar agama seperti pelajaran tafsir, fikih, tauhid, adab, dan seluruh mata pelajaran yang bersumber dari al-Qur’an. Di usia ini, Ibnu Sina memberikan penekanan bahwa pendidikan itu hakikatnya adalah menelaah materi ajar secara berulang-ulang dengan waktu yang cukup lama, secara berturut-turut, jika demikian maka yang paling cocok untuk pendidikan semacam ini adalah penanaman adab kepada peserta didik yang memang sangat membutuhkan pengulangan, contoh dan pembiasaan, serta waktu yang lama, (Said Ismai’il ‘Ali, “Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah”, Mesir, 2007: 11; Said Ismail ‘Ali, “Fiqh at-Tarbiyah”, Kairo, 2001: 13).
Memghafal al-Qur’an juga menjadi jalan licin untuk mempelajari kosa kata Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an. Pada usia 14 tahun ke atas, anak-anak harus dijejali dengan materi ajar yang padat, dengan catatan, pelajaran tersebut harus diberikan sesuai minat dan kemampuan seorang anak yang pada akhirnya membuat yang bersangkutan menerima pelajaran dengan baik dan penuh semangat. Ia menyarankan agar dalam pemilihan materi ajar supaya diberi penjasan secara rinci supaya anak didik memahami secara komprehensif manfaat mata pelajaran yang ia peroleh. Karena itu, ia menawarkan pemikiran bersifat pragmatis fungsional, melihat kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari sesuai tuntutan masyarakat atau berorientasi pasar. Maka, setiap lulusan pendidikan akan siap diterjunkan dan digunapakai oleh masyarakat, kita kenal dengan istilah “link and match” atau pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Selain kurikulum, guru menjadi faktor penting dalam suksesnya pendidikan. Ibnu Sina berpendapat bahwa guru yang baik harus berakal cerdas, beriman, mengetahui cara mendidik dengan mengedepankan adab, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan senda gurau di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, dan suci murni. Seorang guru selayaknya dari kaum pria yang terhormat, menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, dan semisalnya, (Kurniawan & Mahrus, “Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam”, Jogjakarta, 2011: 85).
Melihat konsep guru yang diharapkan Ibnu Sina, sepertinya untuk zaman sekarang terlalu sempurna. Ia tidak sekadar menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, tapi harus memiliki kepribadian yang baik, dari situ maka seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didik dan kehidupan bangsa dengan pelbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan, dengan adab dan ilmu seorang guru pada akhirnya akan membangun mental dan keilmuan seorang murid. Inilah yang disitir dari selogan kaum santri, Metode lebih penting dari kurikulum, tapi guru lebih penting dari metode, dan jiwa seorang guru lebih penting dari guru itu sendiri. At-Thoriqah ahammu minal-maadah, wa al-mudarris ahammu min at-thariqah, wa ruuh al-mudarris ahammu min al-mudarris nafsuhu.
Dapat ditarik benang merah, bahwa Ibnu Sina menawarkan konsep pendidikan berdasarkan setting ruang dan waktu dimana ia berada, sekaligus sebagai refleksi atas pengalaman hidupnya. Jika ditelusuri secara mendalam, apa yang pernah ia alami dalam proses belajar semasa kecil hingga remaja dan dewasa sampai menjadi seorang ulama dan ilmuan, itu pula yang menjadi landasan teorinya dalam merumuskan konsep pendidikan. Untuk saat ini, dimana generasi muda terlalu banyak membuang-buang waktu untuk belajar di sekolah dan perguruan tinggi tapi tidak match dengan kebutuhan masyarakat, akhirnya tumbuhlah pengangguran. Karena itu, saatnya melahirkan alumni yang beradab, cakap, punya skil dan mampu bersaing secara global. Ijazah tetap dibutuhkan, tapi bukan segalanya, sebab skil dan kompetensi yang akan menjadi dasar dalam bekerja, itu yang dibutuhkan pasar di era disrupsi saat ini.
Ibnu Sina memiliki sumbangsih begitu besar dalam memaparkan konsep-konsep pendidikan yang pernah ia terapkan. Bahkan, ketika ia dalam keadaan sakit parah karena terkena penyakit maag akut, tetap saja bersikeras mengajar murid-muridnya, pada akhinya ia wafat diusianya yang ke-57 tahun yang bertepatan pada tahun 428 Hijriah atau 1037 Masehi, (Muhammad Kamil Al-Hur, “Ibn Sina”, Beirut, 1991:10).
Apa yang saya paparkan hanya bagian kecil dari sumbangsih sang tokoh dalam membangun peradaban. Sungguh naif, dan konyol, jika ada manusia-manusia supaha’ yang justru menghabiskan umur untuk mengaburkan bahkan menegasi sumbangsih Ibnu Sina pada umat manusia secara umum, dan kaum muslimin secara khusus. Bagi kita, dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah tetap memilih dan memilah apa yang baik dan bermanfaat dari Ibnu Sina, lalu memasarkan ke khalayak ramai, dan begitu pula, apa yang kita anggap kurang tepat bahkan keliru, maka tinggalkan. Begitulah murid yang baik, Aristoteles telah mengajari kita, katanya, Amicus Plato, sed magis amica veritas. Aku mencintai Plato, tetapi aku lebih mencintai kebenaran. Plato adalah teman terbaik sekaligus guru dari Aristoteles, namun kebenaran melebihi segalanya. Begitulah orang bijak, menempatkan seorang ulama pada tempatnya, membesarkan apa yang harus diwariskan dan mengubur dalam-dalam kesalahan dan kekurangan mereka. Wallahu A’lam! (Aza)